Orang Jambi rasanya amat sulit untuk jadi artis. Pertama, mereka kelewat kaku, kedua, ya mau tak mau harus pindah ke Jawa.
Ada satu cita-cita yang saya pendam dan malu untuk saya jawab ketika guru saya tanya cita-cita saya mau jadi apa, yaitu jadi pesohor. Saya rasa jadi artis, main sinetron Cinta Fitri, punya hape besar, naik mobil dan berperan sebagai bos muda yang diperebutkan oleh dua perempuan adalah sebuah kenikmatan yang haqiqi.
Tapi saya malu untuk menyebutkan cita-cita saya itu secara terang-terangan, karena di antara cita-cita menjadi dokter, polisi, presiden dan guru, punya cita-cita jadi artis di sebuah kampung terpelosok di Provinsi Jambi sama anehnya dengan bercita-cita menjadi Ultraman dalam arti yang sebenarnya.
Jambi sendiri sebenarnya tidak kekurangan sosok pesohor. Di antaranya publik mungkin mengenal sosok Christine Hakim. Aktris yang sempat bermain di serial The Last of Us ini ternyata lahir di Kuala Tungkal, Kabupaten Tanjung Jabung Barat pada 26 Desember 1956. Setelah itu kita mengenal Sarwenda Tan, mantan penyanyi Cherrybelle yang juga istrinya Ruben Onsu. Selebihnya kita juga mengenal Zumi Zola, mantan gubernur provinsi Jambi yang juga sempat mencicipi bui hasil korupsi ini sempat beberapa saat terlibat di industri hiburan tanah air, salah satunya sekuel Merah Putih.
Sekilas orang Jambi boleh bangga dengan sosok-sosok yang saya sebutkan barusan. Tapi saya rasa kebanggaan itu bakal menguap mengingat ketiga sosok tersebut mesti pindah ke Jawa dulu untuk bisa setenar sekarang. Seolah-olah situasinya mengharuskan kita pergi ke Jawa untuk menjadi artis.
Daftar Isi
Kenapa harus ke Jawa?
Saya sendiri mengenal beberapa sosok orang yang hampir terkenal di kancah nasional. Khairul Azhar adalah salah satu peserta yang pernah tampil di televisi nasional dalam acara Liga Dangdut Indosiar pada 2018 silam. Tapi setelah itu sosok abang senior di kampus saya ini seolah-olah redup dari dunia hiburan, meskipun sebenarnya dia sibuk menjadi MC di tampil di berbagai acara korporasi dan pernikahan.
Mulanya saya pikir untuk menjadi artis orang-orang harus memiliki akses dan privilese yang tinggi. Jadi artis mestilah harus berasal dari keluarga kaya dulu. Tapi setelah saya sudah besar, dengan segala macam akses sosial media yang memungkinkan semua orang bisa bikin karya, kenapa berkarier di dunia hiburan di Jambi masih sulit? Mengapa industri hiburan masih berpusat di Jakarta dan Jawa?
Atau pertanyaan radikalnya, kenapa sulit sekali berkarier di kancah regional tanpa harus ke Jakarta?
Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan itu, barangkali kita bisa melihat dari dua hal besar di bawah ini.
Jambi penuh pekerja keras
Pertama, orang Jambi itu ternyata pekerja keras. Tanda bahwa orang Jambi pekerja kelas bisa dibuktikan dengan laporan BPS per Februari 2023, bahwa Provinsi Jambi tidak termasuk dalam sepuluh provinsi dengan pengangguran tertinggi di Indonesia. Melansir dari databoks.katadata.co.id, angka pengangguran di provinsi Jambi berada di peringkat ke-18, dengan angka 4,5%.
Jika dibandingkan dengan kota di mana pusat industri kreatif paling hidup, yaitu Jakarta, angka ini sangat jauh. Jakarta menempati peringkat ke empat dengan angka pengangguran tertinggi di 7,57%.
Dibanding tahun-tahun sebelumnya, tingkat kerja keras masyarakat jambi dibuktikan dengan menaiknya pekerja di sektor pertambangan sebanyak 35,12 ribu orang dari tahun-tahun sebelumnya. Peningkatan ini didukung oleh jumlah pertambangan batu bara di Provinsi Jambi tercatat sebanyak 51 perusahaan. Ini baru tercatat. Kita belum tahu kemungkinan ada banyak lagi yang tak tercatat di luar sana.
Angka pengangguran yang rendah dan banyaknya lapangan pekerjaan yang ada membuat orang-orang Jambi bukan main sibuknya. Berdasarkan laporan BPS, jam kerja untuk pekerja penuh waktu sebanyak 54,20%, paruh waktu sebanyak 37,10%, selebihnya diisi oleh setengah pengangguran
Bukan rahasia lagi, dengan angka pengangguran yang rendah secara nasional dan potensi sumber daya alam yang bisa dijadikan ladang cuan, membuat masyarakat setempat lebih memilih aktivitas fisik ketimbang memikirkan bagaimana caranya menghibur orang.
Situasi di mana pekerjaan fisik lebih dominan membuat pekerjaan kreatif itu cenderung aneh dan dianggap tak menghasilkan apa-apa. Di desa saya, banyak orang tua yang masih menuntut anaknya untuk mencari uang dengan cara keluar rumah, entah itu jadi PNS, atau karyawan batu bara. Maka jangan heran, seperti pada tempat-tempat lainnya, mayoritas masyarakat Jambi masih menuntut anaknya buat jadi PNS setamat sekolah.
Tidak ada tantangan
Situasi yang sedemikian ini bikin orang-orang Jambi gemar bekerja di sektor yang minim tantangan. Apa yang menantang dari memanaskan motor di pagi hari terus pulang sore tapi dengan jaminan pendapatan yang sama? Ini senada dengan yang disampaikan oleh Carol Dweck di dalam bukunya, Mindset: The New Psychology of Success. Bahwa minimnya tantangan dan hambatan dalam melakukan sesuatu adalah gejala dari orang dengan pola pikir tetap.
Pola pikir tetap cenderung menghindari seseorang untuk menghadapi tantangan dan hambatan. Apalagi kebanggaan status sebagai pekerja dengan gaji yang besar tunjangan di hari tua membuat seseorang sulit berinovasi. Apalagi sekedar berpikir bagaimana caranya membuat lawakan yang lucu, lagu yang enak didengar dan video podcast yang bisa mengalahkan Close The Door. Situasi dan kondisi psikologi sosial seperti itu tidak memungkinkan orang-orang untuk menaruh uang di industri kreatif.
Tapi bukan berarti orang-orang Jambi tak senang bernyanyi dan bersenang-senang. Menurut data BPS, dari 2019 hingga 2021, 67,32% masyarakat Jambi memiliki ponsel. Artinya lebih dari separuh orang-orang Jambi menghabiskan waktu senggang mereka bermain sosial media selain bernyanyi hiburan organ tunggal di acara nikahan.
Kesenian tradisional yang (kelewat) disucikan
Alasan ke dua orang jambi sangat mensucikan kesenian tradisional. Rasa takut terhadap invasi kebudayaan baru yang dinilai akan menghapus kebudayaan lama juga dirasakan oleh orang-orang Jambi.
Menurut Sendjaja di dalam bukunya, Teori Komunikasi (1994:286) ada dua cara untuk melestarikan budaya lokal, yaitu Culture Experience dan Culture Knowledge.
Culture Experience, sesuai dengan namanya, mengupayakan masyarakat untuk mengalami kebudayaan itu secara langsung. Misalnya dengan cara berlatih lalu kemudian menampilkan kesenian dalam acara-acara dan festival. Ini terbukti dengan banyaknya orang-orang Jambi yang senang melakukan “Latihan Dadakan”. Latihan Dadakan ini kerap diadakan ketika ada agenda musiman, seperti lomba, kunjungan pejabat dan festival budaya lainnya. Kalaupun ada yang memang mahir, biasanya hanya segelintir orang yang seolah-olah memang disengaja dibiarkan memiliki hak paten.
Layaknya mensucikan sesuatu, kesenian budaya memang betul-betul dijaga keasliannya. Oleh sebab itu, generasi muda cenderung takut untuk mengkreasikan kesenian tersebut, karena akan dianggap menghancurkan kemurnian budaya.
Peran pemerintah juga membantu pengkultusan ini, seperti yang dikatakan oleh seorang pengamat sekaligus pelaku seni di Jambi, Jafar Rasuh di dalam wawancara ANTARA News Jambi (04/06/13), bahwa aktifitas seni dan budaya Jambi masih terpaku pada sebatas apresiasi. Artinya upaya peningkatan minat terhadap seni dan industri kreatif masih bersifat kolektif dan komunitas.
Jawa Timur jauh lebih luwes ketimbang Jambi
Ini berbeda misalnya dengan pelestarian kesenian di Jawa Timur, mereka lebih luwes terhadap kreasi seni. Jaipongan dan musik jaranan, misalnya, yang pada mulanya hanya sebatas perayaan seni tradisional, dikreasikan dengan dangdut dan musik pop. Dari sanalah kita mengenal musik “koplo” yang mulanya selera mas-mas kuli bangunan, sekarang menjadi hiburan orang-orang di Istana Kepresidenan.
Culture Knowledge mengupayakan masyarakat memahami dan memiliki rasa bangga terhadap seni budaya mereka. Hal ini terbukti dengan cara generasi tua yang selalu menceritakan romantisme masa lalu. Walaupun di sisi lain, akses mereka untuk memahami dan mengalami langsung kesenian itu mesti menunggu ada festival dan lomba dulu.
Lihatlah betapa sucinya kesenian di Jambi. Saking sucinya orang-orang segan mengkreasikan kesenian itu hingga jadi genre baru di kancah nasional.
Jadi, buat siapa pun generasi muda, khususnya anak muda yang pengin jadi artis dan terkenal, barangkali dua alasan ini bisa dijadikan pertimbangan sebelum teman sekelasmu menganggapmu halu. Selama masyarakat Jambi masih jadi pekerja keras dan menjaga kemurnian budaya mereka, sebaiknya tahan dulu niat baikmu itu. Kalau kamu benar-benar ingin berkarier di dunia entertainment, “Jawa” masih menjadi “koentji”.
Penulis: Rinaldi
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA 5 Hal tentang Provinsi Jambi yang Nggak Bikin Kalian Terkejut