Semakin lama hidup di Jogja, entah kenapa rasanya semakin membosankan. Kuliah-bekerja-pulang. Di kelas belajar kapitalis. Kajian agama di kampus berbau kritis. Di sosial media, yang viral muslim yang aneh-aneh.
Sejak awal Ramadan, saya selalu merindukan satu hal, entah apa. Semacam ada sesuatu yang hilang dan tak tahu ke mana harus mencarinya. Ramadan berasa hari-hari biasanya, bedanya nggak makan siang.
Saya kemudian beranggapan yang penting salat, ngaji, puasa, dan sisanya bertahan hidup saja. Lalu, suatu ketika, entah bagaimana awalnya, saya berkunjung ke Masjid Jogokariyan. Masjid yang menyediakan 3.500 porsi buka puasa gratis itu sering viral. Dan astaga, saya tertegun. Heran, bingung, terharu, semua campur aduk.
Daftar Isi
Hati terenyuh menyaksikan ramainya Masjid Jogokariyan
Benteng ego yang tumbuh tinggi itu melebur. Saya melihat seorang bapak dengan raut lelah, tersenyum teduh mendapat sepiring hidangan untuk berbuka. Ada nenek dan cucunya mengambil satu piring untuk berbuka. Mungkin, harga satu porsi hidangan buka puasa itu tidak sampai Rp20 ribu. Nenek dan cucunya itu duduk dengan binar mata bersyukur.
Para marbot Masjid Jogokariyan sibuk wara-wiri melayani umat. Entah kenapa, wajah mereka terlihat bercahaya. Saya mematung.
Sejak kapan masjid menjadi pengisi perut orang-orang tak mampu di Jogja? Mengapa saya tak pernah menyadari bahwa Masjid Jogokariyan adalah tempat yang indah untuk dikunjungi. Masjid ini seperti memberi ketenangan ibadah pada mereka dengan perut lapar.
Masjid yang memberi kelegaan dan harapan di Jogja
Setelah duduk dan mendapat makanan untuk berbuka, saya melihat media sosial media Masjid Jogokariyan. Ternyata, ada masjid serupa seperti masjid Masjid Pemuda di Surabaya dan Masjid Sejuta Pemuda Sukabumi.
Membaca kisah-kisahnya, mata saya berkaca-kaca. Ada yang minta izin membawa banyak air minum supaya ada yang bisa dibawa untuk anak istri dirumah. Lalu, pihak masjid membekalinya roti sampai dia terisak terharu.
Ada yang membantu jemaah yang kesulitan berjalan. Terlihat pula orang menuntun rombongan bapak-bapak dengan penglihatan kurang. Lalu, ada juga umat yang mempersilahkan non-muslim beristirahat sembari menyuguhkannya kudapan.
Hati saya terasa lega sekali melihat kelegaan dan harapan dari masjid-masjid seperti Masjid Jogokariyan. Masjid ini bukan hanya pusat peribadatan di Jogja, tapi juga pusat kehidupan. Duduk termenung beberapa menit menunggu waktu berbuka menusuk relung hati. Saya ingin bertobat atas banyak hal.
Tradisi yang luar biasa indah
Tradisi berbagi takjil dan makanan untuk buka puasa di Masjid Jogokariyan sudah ada sejak 2017. Awalnya, niat berbagi ini menjadi usaha jemaah untuk memakmurkan masjid. Seiring waktu, semakin banyak yang ingin ikut menyumbang. Tidak hanya orang yang mampu saja yang menyumbang. Semuanya ikut berpartisipasi.
Lalu, mereka yang ikut menyiapkan takjil di Masjid Jogokariyan bukan pengurus saja. Para warga Jogja di sekitar masjid turut serta. Mereka memasak lauk, menanak nasi, menata takjil dan makanan, hingga cuci piring. Kebersamaan ini terjaga hingga sekarang.
Tradisi berbagi ini sukses mengetuk hati saya. Rasanya sangat lain. Maka, bagi saya, Masjid Jogokariyan bisa menjadi tempat yang indah untuk bertobat dari pikiran-pikiran yang tidak perlu di bulan Ramadan. Di sini, kamu bisa melihat kebersamaan yang membentuk manusia menjadi lebih baik lagi.
Penulis: Diha Maulana Yusuf
Editor: Yamadipati Seno
BACA JUGA Cerita di Balik 3.000 Porsi Takjil Masjid Jogokariyan
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.