Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) sering dijadikan salah satu biang kerok mundur dan bobroknya kualitas pertelevisian nasional. Lembaga yang didirikan pada 2002 ini berfungsi sebagai pengawas sekaligus regulator penyiaran di Indonesia khususnya untuk siaran televisi.
Kelucuan KPI memang sudah tidak perlu dipertanyakan lagi, mulai dari memberangus program berkualitas karena dianggap tidak mendidik, hingga penyensoran yang menggelitik. Ya, saya tahu sensor menyensor bukan wewenang dari KPI, tapi wewenang dari Lembaga Sensor Film (LSF) maupun dari stasiun TV itu sendiri.
Namun, kenapa mereka melakukan sensor yang tak penting itu? Pasalnya, pihak TV takut disemprot oleh KPI. Mereka tahu jika tidak menyensor, KPI akan melayangkan teguran berupa sanksi. Dengan kata lain, penyensoran terjadi secara tidak langsung karena KPI yang terlalu sensitif.
Ketika pertama kali didirikan pada tahun 2002, KPI sebenarnya tidak langsung menerapkan aturan yang seketat sekarang. Pada waktu itu penyensoran di TV tidak terlalu ketat, bahkan ketika TVOne masih bernama Lativi, KPI membiarkan program yang berisikan wanita seksi tayang dengan bebasnya, walaupun ditayangkannya pada tengah malam.
KPI baru beringas sekitar tahun 2010 atau sejak pemberitaan kasus video mantap-mantap Ariel Noah. Sejak itu KPI mulai menggila dengan mengeluarkan kebijakan menyetop semua program anime atau kartun yang memuat kekerasan karena tidak mendidik. Satu per satu tayangan anime hilang dari layar kaca Indonesia dan sensor yang nyeleneh semakin menggila.
Nah, sekarang mari berandai-andai jika KPI tidak pernah ada dan hanya ada LSF. Artinya kebijakan sensor di TV akan sama dengan sensor film yang ada bioskop. Yang berarti tingkat sensor akan disesuaikan dengan klasifikasi sistem rating program TV mulai dari rating Anak-anak, Semua Umur, Bimbingan Orang Tua, hingga 17+.
#1 Film action adegannya akan utuh
Ketika saya menonton Film James Bond di TV nasional, saya merasa menjadi James Blo’on. Kenapa? Lantaran saya seperti menjadi orang yang blo’on, tiba-tiba musuh James Bond mati begitu saja dan saya bingung kenapa bisa begitu.
Ternyata karena adegannya dipotong. Begitu juga dengan senjatanya James Bond yang diblur layaknya alat vital dalam film dewasa Jepang. Itu pistol, bukan alamat kelamin!
Sekali lagi, saya tahu yang menyensor bukan KPI tapi jika tidak ada sensor, pihak TV akan dilayangkan surat cinta yang berisikan teguran dan sanksi karena telah menayangkan adegan kekerasan dan tidak mendidik masyarakat, nusa, dan bangsa.
#2 Baywatch tayang lagi di TV
Dulu di era 90-an, serial barat Baywatch pernah tayang di RCTI, dan gilanya ditayangkan di jam prime time yaitu pada sore hari menjelang petang. Kalau tidak salah waktu itu tayangnya setiap sore hari.
Bagi yang belum tahu, Baywatch adalah serial TV Amerika Serikat yang menceritakan keseharian sekelompok penjaga pantai dengan berbagai permasalahan di setiap episodenya. Ya, dalam serial ini banyak wanita berpakaian renang berseliweran. Jika ditayangkan sekarang, dipastikan TV yang menayangkannya hanya akan mencari mati. Akan tetapi, jika KPI tidak pernah ada, mungkin akan aman-aman saja jika ditayangkan kembali, dengan catatan harus ditempatkan di jam tayang dewasa.
#3 Wibu akan berbahagia
Saya tidak menampik jika sekarang ada beberapa anime yang masih tayang di TV nasional. Namun, tetap saja tidak semuanya bisa tayang karena masalah “mengandung kekerasan dan tidak mendidik”.
Namun, lagi-lagi jika KPI tidak pernah ada, jumlah anime yang tayang di TV Indonesia akan semakin bertambah dan bervariasi. Hal ini secara langsung akan membuat para wibu tanah air akan berbahagia.
Attack on Titan mungkin juga akan ditayangkan. Kalau ada KPI, anime mustahil untuk tayang. Percayalah, bagi KPI, FTV Indosiar jauh lebih mendidik daripada kisah manusia melawan Titan yang mungkin juga menurut mereka lebih tidak masuk akal dari kisah jenazah tertimpa gas elpiji.
#4 Program Netflix akan masuk TV Indonesia
Masih ingat beberapa waktu yang lalu TVRI atas prakarsa Kementerian Pendidikan menayangkan program serial dokumenter dari Netflix? Saat itu ada pihak yang super kolot yang keberatan karena program tersebut bukan dari dalam negeri. Padahal program tersebut sangat edukatif dan berkualitas.
Nah, kalau KPI tidak pernah ada, mungkin akan ada beberapa lagi program Netflix yang masuk TV Indonesia. Mungkin ini nyaris mustahil karena Netflix sendiri adalah layanan streaming yang bersifat eksklusif. Namun, bisa saja ada TV nasional yang mau membayar mahal Netflix dengan membeli hak siar salah satu serialnya.
Tulisan di atas adalah opini yang murni bersifat subjektif. Sebab, tentu saja akan banyak yang terjadi jika KPI tidak pernah ada. Akan tetapi, biar bagaimanapun lembaga pengawasan siaran memang dibutuhkan.
Ya, sangat dibutuhkan. Namun, lembaga pengawas yang dibutuhkan tersebut sama sekali bukanlah seperti KPI yang sekarang. Melainkan KPI yang mampu mengubah dan memajukan kualitas pertelevisian Indonesia. Kapan KPI mampu berbuat seperti itu? Entahlah.
BACA JUGA Surat Protes SpongeBob SquarePants Kepada KPI dan artikel Hilman Azis lainnya.