Betapa tercengang Kang Salim ketika mendapati tempat nongkrong favoritnya selama nyantri sekarang berubah menjadi padang tandus, panas, dan berdebu. Tidak ada lagi pohon-pohon rindang yang bikin teduh. Tidak ada semilir angin yang bikin ngantuk. Di sekitar lokasi tersebut kini hanya ada kendaraan alat berat lalu-lalang mengeruk pasir dan bebatuan tebing.
Yang masih bertahan di sana adalah bapak-bapak penjual es dawet yang kini pun lokasinya bergeser jauh dari markas awalnya.
“Sudah sejak kapan ada penambangan batu ini, Pak?” tanya Kang Salim kepada bapak penjual es dawet sambil memesan dua gelas untuk dia dan Misbah.
“Seingat saya, akhir tahun lalu.”
Hari itu Kang Salim dan Misbah bermaksud menghadiri acara haul di pesantren. Setelah menempuh kurang lebih empat jam perjalanan, keduanya memutuskan rehat sejenak di tempat nongkrong favorit mereka dulu sambil menikmati semilir angin dan es dawet langganan.
Semula mereka pikir merekalah yang salah tempat karena suasananya berubah total. Tapi, setelah beberapa jenak memperhatikan sekitar, yakinlah mereka bahwa itu bekas tongkrongan mereka dulu, yang kini luluh lantak oleh penambangan.
“Manusia itu nggak bisa apa ya kalau nggak merusak…,” gumam Kang Saling setengah menggerutu.
“Ya, namanya juga kebutuhan hidup, Kang,” celetuk Misbah dengan entengnya.
“Kebutuhan sama keserakahan itu beda tipis,” sahut Kang Salim sambil mengarahkan pandangannya ke Misbah. “Wong ya sudah jelas Gusti Allah pernah bilang, wa la tufsidu fi al-ardhi, jangan berbuat kerusakan di muka bumi. Karena Dia itu la yuhibbu al-mufsidin, nggak suka sama orang-orang yang berbuat kerusakan.”
“Wis, wis, ini monggo diminum dulu,” goda bapak penjual es dawet ketika menyodorkan dua gelas pesanan Kang Salim dan Misbah. “Biar hati dan pikirannya jadi adem.”
“Tapi,” Misbah ternyata masih mau melanjutkan, “dalam Surat al-Jatsiyah ayat 13 disebut bahwa Gusti Allah itu memang menundukkan alam ini buat manusia, Kang. Gimana? Jadi ya alam ini memang sejatinya buat dimanfaatkan oleh manusia.”
“Dimanfaatkan atau dieksploitasi, Mis?”
“Entah apa menurut sampean, tapi pada intinya kan alam itu disediakan buat manusia. Itu yang saya pahami,” sangkal Misbah. “Lagian, kita ini kan memang khalifah fi al-ardhi. Kata beberapa ulama, tugas manusia sebagai khalifah itu ya mengelola bumi. Bahkan ada yang menyebut, seandainya toh Nabi Adam nggak pernah makan buah khuldi, Gusti Allah tetep bakal menurunkan dia ke bumi. Sebab, proyeksi penciptaan Nabi Adam salah satunya kan buat mengelola potensi atau sumber daya yang ada di bumi.”
Hening beberapa saat. Lalu Kang Salim berucap lagi, “Mis, sekarang coba kamu tanya ke tukang es dawet itu. Menurut dia mending mana, cuaca panas terik kayak gini atau hujan angin?”
“Jawabannya ya jelas mending panas terik lah, Kang,” respons Misbah seketika. “Karena dengan panas terik gini orang gampang dahaga, penginnya yang seger-seger. Alhasil es dawetnya pun laris manis.”
“Kalau pertanyaan tersebut kamu ajukan ke tukang bakso?”
“Hmmm, mestinya mendingan hujan saja karena dingin, orang-orang pasti penginnya yang anget-anget. Bakso adalah satu di antaranya.”
“Nah itu kamu tahu jawabannya.”
Misbah terbengong-bengong, masih belum mengerti apa maksud Kang Salim.
“Gini, Mis, ternyata tafsir itu relatif, tergantung kepentingan yang memberi tafsir.” Pelan-pelan Kang Salim mulai menjelaskan. “Tafsir tukang es dawet, cuaca yang baik tentu adalah cuaca panas terik. Sementara bagi tukang bakso, musim hujan justru adalah musim yang paling ideal. Nah, saya kira begitu juga dengan tafsir mengenai Ssurat al-Jatsiyah ayat 13 dan khalifah fi al-ardhi.”
“Maksud sampean, ada kepentingan terselubung dalam penafsiran tentang Gusti Allah menundukkan alam untuk manusia, begitu?” Tanya Misbah penasaran.
“Tepatnya seperti itu. Sebab yang menafsiri ayat tersebut adalah manusia, maka disesuaikan dengan kepentingan manusia. Jadi seolah-olah alam ini memang diciptakan hanya untuk memuaskan hasrat manusia. Tapi, pernahkah kamu berpikir, bagaimana jika ayat tersebut ditafsiri oleh binatang atau tumbuh-tumbuhan? Pasti sangat berbeda tafsirnya.”
Misbah terlihat sangat sangsi dengan penuturan Kang Salim.
“Sik, sik, Kang. Bagaimana bisa hewan dan tumbuhan menafsiri ayat Allah? Secara, yang diberi akal itu hanya manusia.”
“Nah, itu dia kegeeran manusia selama ini,” Kang Salim menimpali dengan senyumnya yang khas. “Kalau dalam istilah di buku yang pernah saya baca itu apa ya, mmm, antro… antroposentrisme. Yah, itu dia. Jadi manusia merasa bahwa dirinya adalah pusat, subjek utama di semesta ini sehingga nggak pernah menganggap eksistensi makhluk lain. Manusia mengira dialah makhluk Tuhan yang paling istimewa dan paling dimanjakan.
“Contohnya, kamu mengira bahwa yang bisa menafsiri ayat Al-Quran hanya manusia. Jangan salah, Gusti Allah bahkan berfirman pada seekor lebah. Gusti Allah bahkan bisa bercakap-cakap dengan api yang hendak membakar Ibrahim.
“Kamu mengira manusialah satu-satunya yang dibekali akal? Faktanya, manusia juga belajar dari kecerdasan semut yang mampu mengarsiteki sarangnya dengan struktur yang mengagumkan. Lebah memiliki kecerdasan dalam hal mengorganisir pembagian kerja koloninya. Atau anjing yang saking cerdasnya, setelah sedikit dilatih, dia bisa jadi anjing pemburu atau anjing pelacak. Pertanyaannya, dari mana kecerdasan-kecerdasan itu kalau bukan berasal dari akal?”
Sebab Misbah masih belum merespons, Kang Salim meneruskan, “Manusia itu hanya merasa lebih unggul dan istimewa dari makhluk lain. Padahal, semua makhluk memiliki keunggulan dan keistimewaan masing-masing. Sebab, menurut saya, semua makhluk itu diciptakan Gusti Allah atas dasar cinta, nggak pilih kasih. Nggak ada yang mengungguli satu sama lain. Semua sama.”
“Lalu bagaimana dengan khalifah di muka bumi itu, Kang?”
“Saya malah berpandangan, khalifah itu kan akar katanya kha-la-fa, yang berarti ‘belakangan’. Atau dalam konteks ini, khalifah berarti ‘yang datangnya belakangan’. Karena manusia itu kan diciptakan belakangan setelah yang lain-lain. Ini malah makin mempertegas bahwa manusia itu hanya satu dari sekian ciptaan Allah yang lain, bukan pusat atau subjek utama, bukan pula yang paling istimewa.”
“Tapi kenapa dalam al-Jatsiyah Gusti Allah menyebut kata sakhkhara? ‘Menundukkan alam kepada manusia’?” sanggah Misbah.
“Kembali, itu soal tafsir kepentingan manusia saja. Tapi, karena saya belum menemukan tafsir yang baru, saya hanya bisa menduga maksud menundukkan di situ bukan Allah membebaskan manusia untuk berbuat semau-maunya terhadap alam. Maksud menundukkan di situ mungkin saja sebagai bentuk rancangan piramida kehidupan. Manusia menempati posisi paling atas dalam rantai makanan bukan karena manusia paling istimewa, tapi semata agar kehidupan terus berlangsung.
“Dalam rantai makanan di sawah misalnya. Padi dimakan tikus, tikus dimakan ular, kemudian ular dimakan elang. Karena elang berada pada puncak rantai makanan, apakah elang disebut sebagai yang paling unggul? Ya tidak. Memang demikianlah alurnya biar terjadi keberlangsungan hidup dalam lingkaran mereka.”
“Ya kalau begitu nggak salah dong, Kang, kalau terjadi penambangan seperti itu?” Misbah belum menyerah. “Kan demi keberlangsungan hidup?”
“Heh, Mis, catet. Kuluu wasyrabuu wa la tusrifuu, makan dan minumlah, tapi jangan berlebihan.”
“Muashoookkk!!!” teriak bapak penjual es dawet dari balik gerobaknya.
Diolah dari penjelasan Syekh M. Nursamad Kamba dan Sujiwo Tejo
BACA JUGA Jangan Kira Aktivitas Agama Hanya Seputar Ritual Syariat dan tulisan Aly Reza lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.