“Saya tipikal orang yang nggak pernah ngarep sesuatu dari sebuah pertemanan.”
Kira-kira adakah teman kalian yang pernah berkata demikian? Lalu, apakah perkataannya dapat dibuktikan?
Tak jarang ungkapan klise seperti itu, tiba-tiba keluar dari manusia yang menamai dirinya seekor teman, dengan logat disegar-segarkan penuh kemantapan. Ada juga dengan tindakan yang tak sewajarnya, perhatian sekali melebihi ibu bapak pada anaknya, tanpa adanya alasan yang jelas—biasanya sering berlaku pada senior yang ngincer juniornya. Bukannya saya ingin menafikan kebaikan-kebaikan mereka. Namun, karena kita manusia, dan sejak jaman SD kita sudah akrab dengan larik lagu, ada udang di balik batu!
Saya berani mengatakannya, karena meyakini cah-cah sekarang yang berlagak menggaungkan istilah khoirunnas anfa’uhum linnas, sejatinya tak lain bukti nyata dari peribahasa di atas tadi. Pokoknya nggak nemu dah, orang yang berangkat dari hati.
Memang tak ada yang salah dari istilah di atas. Tapi di era sekarang, istilah itu sudah ada penambahan yang tak tertulis, sebaik-baiknya manusia adalah manusia yang bermanfaat bagi orang lain, wabil khusus bagi saya.
Nah, secara tidak langsung, kita yang menempatkan diri sebagai manusia bermanfaat, ternyata tidak memberlakukannya pada semua manusia. Hanya pada yang mendatangkan manfaat saja. Hidup enak dengan manfaatin orang.
Hal itu sangat tampak dan sangat terasa bagi saya yang kemarin berstatus sebagai mahasiswa baru. Jangan heran jika kalian nanti ada di posisi yang sama. Persiapkan diri aja untuk ditarik sana sini, soalnya maba cenderung dianggap polos dan akan menjadi target utama untuk melancarkan kepentingan oknum berkedok organisasi.
Saya agak risi jika ada senior yang dengan penuh kemantapan bicara, ditambah sugesti yang kurang ngena. Bilang kalo kita di sini itu keluarga, tidak ada kesenioritasan dalam keluarga kita. Atau apa aja yang sekiranya masih bisa dimanis-maniskan. Yang beginian emang andalan manusia utopis, kan?
Jika masih belum puas, dan masih ada yang ngotot bilang, “Pasti ada orang yang nggak berkepentingan,” izinkan saya memberikan contoh, sosok yang paling dekat dengan kita. Orang tua. Kita nggak bakal kepikiran yang tidak-tidak kalo sudah berkaitan dengan orang tua, atau lebih tepatnya menghindari pemikiran tersebut. Tapi kenyataannya orang tua itu juga mempunyai kepentingan pada diri kita.
Sekolah itu beban, men. Soalnya terlampau banyak harapan orang tua yang dipikulkan ke pundak kita. Apalagi orang seperti saya, statusnya anak petani. Wong sugih pun yang kayaknya udah nggak bakal kekurangan, banyak juga kok, yang masih menaruh harap berlebihan sama anaknya. Bedanya, cuma kalo wong sugih itu nggak sesuai espektasi, mungkin masih tenang. Lah duit banyak, kok. Kalo orang tani kayak saya ini, mungkin bisa cepet mati, karena mikirin kekecewaan orang tua. “Udah ngeluarin banyak duit, nggak jadi apa-apa juga!
Nah, sadar atau tidak, harapan-harapan seperti itu adalah kepentingan pribadi. Jika anaknya si A sukses, otomatis si A akan sangat membanggakannya, dan pamor sebagai orang tua bakal naik daun. Ini sekadar contoh, tak ada niatan untuk mengkritik orang tua siapa pun. Karena emang sewajarnya kita sebagai anak bisa membanggakan mereka. Dan kalimat ini, contoh menghindari pikiran tidak-tidak ke mereka.
Bisa dibayangkan, orang terdekat kita pun masih mempunyai kepentingan. Apa lagi cuma seorang teman yang tak jarang nusuk dari belakang.
Emang, mana ada makhluk sosial seperti kita yang tak mempunyai kepentingan. Lah, wong sering kita elu-elukan itu tentang simbiosis mutualisme, mengharap, mengharap dan mengkhayal–“nanti kalo saya berteman dengan dia bakal tajir dah, nanti kalo anak saya sukses bakal tenang keluar rumah.”
Kita kenal seseorang itu pasti ada penyebabnya. “Nggak kok, cuma nambah relasi, tok.” Hei, lagu lama itu. Sekarang udah 2023 loh! Nggak bakal laku. Karena relasi jaman ini, udah penuh makna tersirat, dan itu pasti! Entah relasi biar nantinya kita mudah dapet lowongan kerja, atau karena seseorang yang kita kenal itu memiliki peran strategis dalam hal yang kita incer. Kan, punya orang dalam itu, enak!
Intinya hidup ini penuh dengan kepentingan-kepentingan. Adakah manusia yang tanpa kepentingan? Saya jamin nggak bakal nemu! Atau kalau nemu, paling seribu banding setengah. Saya nggak bilang satu, soalnya setengahnya dari yang satu ini pasti sudah diisi dengan segala kepentingannya.
Penulis: Faris Al Farisi
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA Sebelum Bacot, Mari Pahami Hakikat Konflik Kepentingan