Manusia itu makhluk naratif. Makhluk pencerita: pembuat dan pewaris cerita. Kekuatan cerita terletak pada bagaimana kita menenunnya ke dalam rangkaian bahasa sehari-hari agar mudah diingat dan diwarisi.
Bahasa adalah alat komunikasi. Bahasa sesungguhnya lahir dari teori pikiran. Teori pikiran adalah keadaan untuk menghubungkan keadaan mental, kepercayaan dan pengetahuan kepada diri sendiri dan orang lain dan untuk memahami bahwa orang lain memiliki kepercayaan, keinginan dan intensi yang berbeda antara satu dengan yang lain. Setiap orang hanya dapat mengintuisi keberadaan dari pikirannya sendiri lewat introspeksi dan tidak ada orang lain yang memiliki akses langsung terhadap pikiran orang lain. Karena pikiran tidak dapat diobservasi maka dibutuhkan media untuk mengungkapkan pikiran sehingga lahirlah bahasa sebagai alat komunikasi dan media untuk bercerita.
Bahasa itu sendiri adalah sebuah rentetan cerita atau tutur yang merupakan pencapaian tertinggi evolusi kesadaran manusia yang digunakan dalam berpikir, berkisah, bercakap tentang dirinya juga tentang apa pun di sekitarnya. Bercerita akan melahirkan nilai keindahan spiritual bagi peradaban manusia. Bercerita itu berbicara mengenai bahasa tetapi juga berbicara mengenai aktivitas bahasa. Dengan kata lain, bahasa yang sebenarnya sebagai alat komunikasi, ternyata juga harus dikomunikasikan. Dan mengkomunikasikan bahasa itu tentu saja harus lewat bahasa pula.
Ketika bahasa tidak lagi mampu membangun dirinya sendiri menjadi mandiri ia tidak pula mampu mengatur dan mengendalikan manusia, mengurung manusia dan pikiran atau juga perasaan manusia ke dalam kerangka maknanya.
Setiap cerita atau narasi yang disampaikan memiliki makna. Untuk itulah hadirnya semantik sebagai salah satu cabang ilmu dari ilmu linguistik, memberikan definisi atau pemaknaan dari struktur kalimat bahasa Indonesia, sehingga tidak menghadirkan kesalahan persepsi atau bedah pendapat dalam menafsirkan suatu kalimat bahasa Indonesia dari pencerita atau informan. Manusia sebagai makhluk naratif atau makhluk pencerita. Kekuatan cerita terletak pada bahasa. Kekuatan bahasa ada pada otak.
Menurut teori otak, yang hakiki pada diri Anda adalah otak Anda. Tentu saja manusia bukan sekadar otak tetapi juga memiliki tubuh. Dengan kata lain semua bagian tubuh Anda yang lain pada dasarnya bersifat aksidental- aksidental- dalam arti yang dimaksudkan oleh Aristoteles. Artinya, Anda akan tetap bisa bertahan sekalipun semua bagian tubuh tersebut hilang, tetapi Anda tak bisa kehilangan otak. Bahkan, kita sudah membayangkan situasi sekitarnya Anda kehilangan semua bagian tubuh dan tetap bisa bertahan karena otak Anda tetap bertahan.
Maka, menurut teori otak, Anda adalah orang yang sama hari ini sebagaimana kemarin atau sepuluh tahun yang lalu karena otak Anda masih tetap sama—dan hilangnya sebagian besar sel otak dalam tahun-tahun di antaranya dapat dianggap sebagai perubahan accidental, bukan perubahan esensial. Dan hal yang membuat Anda tetap sebagai Anda pada saat sekarang dan bukannya orang lain adalah fakta bahwa tidak ada orang lain yang memiliki otak Anda.
Nah, didukung dengan kemampuan otak setiap orang yang berbedah-bedah maka akan mempengaruhi gaya dan cara orang bercerita. Otak akan mempengaruhi kemampuan berpikir setiap orang dalam bercerita. Pikiran yang bersumber pada otak akan memberikan gambaran dalam bertutur dan bercerita. Melalui otak menunjukkan bahwa setiap orang memiliki gaya dan cara bercerita yang berbeda. Cerita yang sama boleh diceritakan oleh siapa saja dan kapan saja.
Namun, setiap orang memiliki kemampuan untuk mempengaruhi pendengar cerita tidak sama untuk semua pencerita. Ada pencerita yang membuat orang penasaran, ada juga pencerita yang dengan gaya ceritanya orang selalu mengenangnya. Hal ini di pengaruhi oleh otak. Kemampuan bercerita setiap orang tidak sama hal ini dipengaruhi oleh banyak sedikitnya penguasaan kosakata si pencerita dalam bercerita. Ada orang yang berbicara singkat, padat, dan jelas, tetapi juga ada yang suka akan pembicaraan yang panjang lebar. Ada orang yang berbicara apa adanya, namun ada juga yang senang menggunakan gaya bahasa atau majas.
Ini menunjukkan bahwa manusia sebagai makhluk naratif yang selalu berpikir untuk terus bercerita. Bercerita entah secara verbal atau tutur dan atau cerita yang dituangkan dalam tulisan. Semua usaha manusia sebagai makhluk pencerita sesungguhnya memiliki maksud agar manusia tidak hilang dari sejarah. Sejarah dan budaya manusia yang akan diwariskan secara turun-temurun dari generasi ke generasi.
Mari kita sebagai generasi muda bangsa Indonesia bercerita kepada dunia agar sejarah bangsa Indonesia tidak terkikis oleh pengaruh negatif dari globalisasi dunia zaman ini.