Seniman pun wangun untuk dijadikan mantu.
Beberapa waktu lalu, jagat maya dihebohkan dengan beredarnya video seorang anggota aparat pamer ‘kokang senjata’. Dalam video tersebut terlihat seorang pemuda mengatakan “Pacar kamu ganteng? Kaya? Bisa gini nggak?” sembari mengokang senjata yang ia pegang. Buntut dari viralnya video tersebut, banyak warganet yang geram melihat aksi aparat muda tersebut yang terkesan angkuh.
Pada akhirnya, Bripda GAB yang merupakan aktor utama dalam video viral tersebut melaporkan akun Twitter @kapansarjana_ sebagai penyebar video ke ranah hukum karena tak terima videonya tersebar. Meski demkian, banyak asumsi dan candaan yang beredar di kalangan masyarakat bahwa aparat muda berseragam dan bersenjata merupakan ‘Calon Menantu Idaman’ bagi para calon mertua. Tidak sedikit juga para orang tua yang menjodohkan anak gadis mereka dengan aparat muda berseragam.
Sebagai seorang teman, saya sering mendengarkan curahan hati teman saya (YF) yang dua kali harus merelakan wanita pujaan hatinya bersanding dengan seorang anggota muda aparat berseragam. YF merupakan seorang lulusan kampus seni terbesar di Pulau Sumatera yang bekerja sebagai Content Creator lepas.
Lantas sebuah pertanyaan pun ia tanyakan kepada saya “Memangnya seorang seniman tak bisa kasih makan anak orang ya?”. Lalu pembicaraan tersebut berujung dengan sebuah kalimat darinya “Apalah dayaku yang lulusan dari kampus seni, selalu dikucilkan, dan dibanding-bandingkan dengan aparat”. Benarkah seorang seniman tidak mampu menyaingi kesohoran aparat muda berseragam dan bersenjata dalam dunia percintaan?
Finansial
Dari sisi finansial, mas-mas aparat berseragam memang mempunyai penghasilan yang jelas. Mulai dari gaji pokok bulanan, tunjangan, jabatan, hingga pensiunan. Jika dibandingkan dengan seniman, hanya sedikit yang saya ketahui seorang seniman mempunyai penghasilan bulanan yang jelas.
Namun penghasilan dari seorang seniman bukanlah berasal dari satu sumber tertentu, malah banyak penghasilan masuk dari berbagai sumber yang beragam dan tak menentu. Katakanlah seorang Content Creator, beberapa teman saya yang bergelut dalam industri kreatif ini mendapatkan penghasilan dari berbagai sumber, seperti Youtube, promosi pariwisata, event, media, advertising, hingga artspace. Bahkan tidak sedikit juga yang mampu mendapatkan penghasilan di atas angka Rp.10.000.000,-/bulan.
Kebahagiaan
Kebahagiaan merupakan sebuah sudut pandang yang sangat subjektif dan relatif. Namun bagi saya, seorang seniman mempunyai banyak kreativitas dalam menciptakan sebuah kebahagiaan dalam hubungan. Mulai dari munculnya ide-ide kreatif baru sehingga menciptakan sesuatu yang baru dalam sebuah hubungan, barangkali kebiasaan baru. Bisa saja dalam hal mengubah bentuk tatanan rumah dengan lebih filosofis dan nyeni.
Mengungkapkan kekaguman pasangan lewat sebuah aksara yang indah. Karena pada dasarnya seorang seniman mampu menciptakan sesuatu yang indah (Estetika). Mengadakan sebuah diskusi kecil membahas sebuah topik tertentu seperti politik, sosial, budaya, filsafat, seni, kemanusiaan dan lain sebagainya juga menyenangkan.
Membuat sebuah perpustakaan keluarga sendiri. Bagi seorang seniman, wawasan dan ilmu pengetahuan merupakan suatu hal yang penting diberikan kepada keluarganya, terutama istrinya. Karena biasanya seorang seniman akan menganggap istrinya sebagai teman diskusi yang akan banyak memberikan kritik dan masukan-masukan.
Dengan mencerdaskan seorang istri, maka sama halnya dengan mencerdaskan bangsa. Karena seorang istri yang kelak menjadi ibu merupakan madrasah pertama untuk anaknya. Bayangkan seorang anak lahir dan dibesarkan oleh seorang ibu yang mempunyai kecerdasan ilmu pengetahuan dan berwawasan luas? Tentunya bukan dengan menyita buku.
Waktu Luang
Seorang seniman sangat sedikit sekali sibuknya, bahkan bisa dibilang tidak ada yang harus menjalankan penugasan ke tempat yang jauh dalam jangka waktu lama. Sehingga, seorang seniman akan sangat lebih mempunyai waktu luang bersama keluarga. Waktu luang tersebut dapat digunakan untuk lebih dekat dengan anak dan menjadi penasihat keluarga.
Bayangkan banyak waktu luang dimanfaatkan dengan saling bermain musik dengan keluarga, menikmati pameran lukisan mooi indie, membuat film pendek, bermain teater kecil, hunting foto dan lain-lain. Sang anak tentu akan sangat mempunyai kedekatan emosional dengan bapaknya yang seniman tersebut. Maka peran seorang ayah dalam keluarga akan terpenuhi.
Kebebasan Berpendapat
Beberapa waktu lalu, seorang Komandan Distrik Militer (Dandim) di Kendari, Sulawesi Tenggara dicopot dari jabatannya akibat unggahan opini istrinya di halaman Facebooknya. Artinya, ketika sudah menjadi istri seorang mas-mas berseragam, akan sangat sulit sekali mendapatkan kebebasan untuk beropini atau berpendapat. Salah sedikit, bisa berdampak pada karier suami.
Saya pernah membaca sebuah artikel gubahan Nadya Karima Melati yang berjudul “Mau Jadi PNS atau Pasangan Tentara/Polisi? Pikir Lagi Baik-Baik” dan dimuat di situs magdalene.co. Artikel tersebut mengupas tuntas tentang pengontrolan pemerintah terhadap kebebasan dan kesadaran individu sebagai warga negara, yang pada akhirnya sangat berdampak terhadap keluarga dari aparat berseragam.
Dalam tulisannya, Nadya menyebutkan “Kemudian, bentuk keluarga heteroseksual idaman ini wajib memiliki dua orang anak. Dua anak saja karena tunjangan gaji hanya untuk satu istri dan dua anak. Setelah itu ibu akan ikut program Keluarga Berencana (KB) supaya semakin mendukung program-program pemerintah. Imaji keluarga ideal akan direproduksi terus menerus dalam keluarga abdi negara. Si anak yang lahir dari keluarga seperti itu akan “dipaksa” untuk menjalani hidup yang serupa ayah dan ibunya. Anak kemudian diminta untuk menikah dengan pasangan dari keluarga dengan status lebih tinggi lagi atau setidaknya sama supaya membantu kariernya menanjak, sebab mulusnya karier seseorang sangat ditentukan oleh pasangannya. Dalam imaji keluarga ideal tersebut, secara tidak sadar tiap individu dikontrol. Dia tidak bisa sembarangan beropini karena akan mengganggu karier pasangannya”.
Berbeda halnya dengan seniman yang bebas menyuarakan pendapat. Bahkan pendapat, kritikan, dan opini tersebut bisa diluapkan melalui media seni. Seperti halnya karya-karya pada mural tepi jalan yang penuh kritikan, film “Dua Garis Biru” yang membicarakan tentang pergaulan remaja, sajak “Dongeng Marsinah” karya Sapardi Djoko Damono yang mengkritik tentang pelanggaran HAM yang dialami buruh Marsinah, dan masih banyak lagi contoh-contoh karya seni yang berisi kritikan-kritikan.
Tulisan ini sejatinya bukan untuk menyudutkan atau menjelekkan pihak-pihak tertentu. Hanya berisikan opini dan semangat sebagai sesama pelaku seni yang berkecimpung di industri kreatif. Dari beberapa poin di atas, bagi saya sorang seniman bisa saja ‘bersaing’ dengan mas-mas berseragam dalam ranah asmara.
Kebahagiaan sejatinya bukan perihal materi semata. Memang betul materi salah satu penunjang kebahagiaan, tetapi tidak semua hal dapat diukur dengan materi. Berikut adalah kutipan dari salah satu cuplikan film “The Guys” karya Raditya Dika, “Gue pengen punya kebebasan mengerjakan apa yang gue suka, dapat uang dari sana. Gue percaya, kalau kita hidup dari apa yang kita cintai, kita akan mencintai hidup kita.”
BACA JUGA Sorry yah, Cowok Berseragam, yang Layak Jadi Kekasih Ideal itu 6 Cowok ini, Bukan Kamu dan tulisan Arif Rahman AS lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.