Dinamika warga Malang dan Kota Batu memang unik. Dua daerah ini memang saudara dekat. Tapi, kalau sudah ngomongin soal wisata, fasilitas, dan harga tiket masuk, mereka menjadi 2 saudara di Jawa Timur yang diam-diam saling nyinyir, tapi tetap akrab.
Keduanya memang saling mengandalkan satu sama lain. Tapi kadang juga seperti berkompetisi diam-diam. Semacam hubungan yang bisa dibilang: “Kita satu rumpun, tapi siapa dulu yang lebih cuan?”
Daftar Isi
- Malang: Warisan kolonial, kota pendidikan, dan tempat nongkrong estetik
- Kota Batu: Kota kecil rasa taman hiburan raksasa
- Dinamika warga lokal: Saling nyindir tapi saling mengandalkan
- Masalah tiket: Mahal vs murah, hiburan vs edukasi
- Warga lokal sering nggak ikut healing
- Peran media dan citra kota
- Persaingan halus di balik kebersamaan
- Malang dan Batu: Saudara dekat yang tak pernah selesai berkompetisi
Malang: Warisan kolonial, kota pendidikan, dan tempat nongkrong estetik
Malang punya citra yang khas: kota dingin dengan nuansa kolonial, deretan universitas ternama, dan suasana urban yang masih santai. Di sini, kamu bisa nemuin bangunan-bangunan kuno, taman kota yang cukup Instagramable, dan tentu saja kuliner murah untuk anak kos.
Malang juga “kota pendidikan”, tapi dalam dunia pariwisata, kota ini juga berusaha tampil atraktif. Ada Museum Brawijaya, Kampung Warna-Warni Jodipan, Kampung Biru Arema, sampai deretan cafe estetik yang bikin mahasiswa betah ngopi sambil pura-pura nugas.
Tapi ya gitu, kalau wisata keluarga? Malang kadang cuma jadi tempat transit sebelum orang-orang cabut ke Kota Batu. Ya karena, ayo jujur, Malang itu lebih ramah kantong, tapi Batu lebih komplet dalam urusan tempat wisata mainstream.
Kota Batu: Kota kecil rasa taman hiburan raksasa
Kalau Malang adalah kakak yang berwibawa dan akademis, maka Batu adalah adiknya yang ceria, rame, dan penuh atraksi wisata. Bayangkan saja, Kota Batu yang kecil itu bisa menjadi jadi pusat wisata besar-besaran.
Dari Jatim Park 1, 2, 3, Museum Angkut, Batu Night Spectacular, Eco Green Park, Predator Fun Park, sampai Taman Langit. Semuanya kayak lomba-lomba bikin orang habis uang tapi senang hati.
Tapi tentu saja, harga tiket masuk jadi perdebatan klasik antara warga Malang dan Batu. Banyak yang bilang, “Batu tuh sekarang nggak kayak dulu. Tiketnya mahal, padahal awalnya tempat wisata rakyat.”
Ya, benar juga. Harga tiket ke Jatim Park bisa bikin dompet pengunjung asal luar kota megap-megap. Tapi ya itu tadi, Batu tahu cara menjual dirinya, dan sektor pariwisatanya sukses besar. Kota ini bahkan hidup karena pariwisata, bahkan warga lokal pun kadang heran sendiri: “Lha ini kita tinggal di kota wisata tapi malah nggak pernah main ke tempat wisata.”
Dinamika warga lokal: Saling nyindir tapi saling mengandalkan
Yang menarik, meskipun saling dukung dalam hal ekonomi dan budaya, ada semacam kompetisi diam-diam antara warga Malang dan Batu. Warga Malang kadang nyeletuk, “Ah, Batu mah cuma jualan tiket mahal doang,” sementara warga Batu membalas, “Kalau Malang mah wisatanya biasa aja, tempat kuliah doang.”
Tapi ya lucunya, banyak pekerja wisata justru dari Malang. Dan sebaliknya, mahasiswa Batu sering kuliah di Malang. Jadi, walau saling sindir, mereka tetap saling membutuhkan.
Bahkan warga luar kota sering nggak bisa bedain, “Loh, Jatim Park itu di Malang ya?”
Padahal warga Batu bakal auto tersinggung. “Itu di Kota Batu, bukan Malang!”
Nah loh. Sensitif juga, ternyata.
Masalah tiket: Mahal vs murah, hiburan vs edukasi
Satu hal yang makin terasa membedakan Malang dan Batu adalah kebijakan harga tiket masuk wisata. Batu memang unggul dalam urusan fasilitas wahana modern, tapi sayangnya, harga tiketnya kadang terasa nggak “merakyat” lagi. Bahkan warga lokal sering merasa harga tiket untuk beberapa tempat sudah tidak sesuai kantong.
Sementara Malang lebih menawarkan wisata low budget. Mulai dari taman kota, kampung tematik, bahkan sekadar ngopi di rooftop cafe sambil liatin Gunung Arjuno. Jadi, kalau dompet sedang tipis, wisata di Malang terasa lebih bersahabat, meski tak semeriah Batu.
Tapi tetap saja, orang-orang yang datang dari luar kota tetap memilih Batu untuk destinasi utama. Padahal, kalau mau lebih chill dan murah, Malang itu surganya healing dengan versi pelan-pelan.
Warga lokal sering nggak ikut healing
Ironisnya, baik di Malang maupun Batu, banyak warga lokal yang malah nggak pernah masuk ke tempat wisata di kotanya sendiri. Ya wajar sih, harga tiketnya kadang nggak logis untuk yang gajinya UMR.
Di Batu, bahkan banyak warga yang kerja di tempat wisata tapi belum pernah liburan ke tempat itu.
“Lha saya yang jaga tiket, masa saya bayar tiket?” Candaan semacam ini sudah jadi lelucon klasik warga.
Sama juga di Malang. Banyak mahasiswa tahu tentang kampung warna-warni dari Instagram, tapi belum tentu pernah ke sana. Kadang healing-nya cukup nongkrong di Alun-alun sambil makan bakso Malang atau cilok bumbu kacang 3 ribu per tusuk.
Peran media dan citra kota
Citra kota juga berperan penting. Malang dikenal dengan kesan adem, edukatif, dan sopan, sedangkan Batu terkenal riuh, ramai, dan penuh warna.
Sayangnya, media luar sering mencampuradukkan keduanya. Banyak yang menyebut “Malang” padahal maksudnya wisata di Batu.
Dan ini bikin warga Batu merasa identitas kota mereka ditelan oleh bayang-bayang Malang, padahal status administrasinya beda. Kota Batu bahkan sudah jadi kota mandiri sejak 2001. Tapi ya gimana, kalau dari luar kota, semua tetap dibilang “jalan-jalan ke Malang”.
Persaingan halus di balik kebersamaan
Meski saling bantu dan saling sok akrab, tetap saja ada kompetisi diam-diam antara dua kota ini. Entah soal jumlah wisatawan, besaran pendapatan daerah, sampai tren kuliner kekinian.
Kalau Batu ramai wisata keluarga, Malang merespons dengan cafe-cafe instagramable buat anak muda. Kalau Batu punya Museum Angkut, Malang langsung nyusul dengan Museum Tempo Doeloe dan perbaikan kawasan heritage.
Semacam balapan yang tidak pernah diumumkan tapi terus berjalan.
Malang dan Batu: Saudara dekat yang tak pernah selesai berkompetisi
Keduanya adalah adik-kakak yang beda karakter, beda gaya, tapi satu darah. Meski sering saling nyindir, mereka tetap butuh satu sama lain.
Tanpa Malang, Batu akan kekurangan tenaga kerja, konsumen, dan akses transportasi. Tanpa Batu, Malang akan kehilangan magnet wisata utamanya. Dan tanpa keduanya, wisatawan dari luar kota akan kehilangan kombinasi healing murah dan mahal dalam satu paket.
Penulis: Ayu Lestari Sipayung
Editor: Yamadipati Seno
BACA JUGA Malang dan Batu: Dua Kota yang Bertetangga, tapi Nyatanya Saling Berlawanan karena Berbeda Karakter
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.