6 Makanan Khas dari Daerah yang Rasanya Berubah ketika Dijual di Jakarta

6 Makanan Khas dari Daerah yang Rasanya Berubah ketika Dijual di Jakarta

6 Makanan Khas dari Daerah yang Rasanya Berubah ketika Dijual di Jakarta (unsplash.com)

Meski Jakarta bukan lagi ibu kota negara Indonesia, tapi pesonanya masih ada. Ribuan orang dari daerah merantau ke Jakarta untuk mengadu nasib. Ada yang menjadi artis, pengusaha, tukang pijat, buruh, hingga pedagang makanan kaki lima. Jakarta adalah miniatur Indonesia, orang dari berbagai macam suku bisa kita temui di Jakarta. Oleh karena itu, makanan di sini pun beragam. Hampir semua makanan khas daerah dari Sabang sampai Merauke bisa kita temukan di Jakarta.

Sayangnya, banyak sekali makanan khas dari daerah lain yang justru berubah rasa ketika dijual di Jakarta. Berikut adalah daftar makanan yang sudah pernah saya makan di daerah asalnya, tapi keluar dari pakem aslinya begitu sampai di Jakarta.

#1 Rawon, makanan khas daerah dari Jawa Timur yang berubah warna kuahnya jadi kuning di Jakarta

Rawon baru saja dinobatkan sebagai salah satu sup terlezat di dunia versi TasteAtlas 2023. Rawon adalah makanan khas dari daerah Jawa Timur. Di Surabaya, rawon sangat populer, ada lebih dari 500 warung yang menjual rawon di Kota Pahlawan. Beberapa di antaranya sangat terkenal, sebut saja rawon setan yang menjadi favorit Megawati Soekarno Putri, rawon Pak Pangat yang disukai Sujiwo Tejo, hingga rawon kalkulator yang viral di media sosial.

Kuah rawon di Surabaya atau di Jawa Timur pada umumnya memiliki rasa yang gurih dan pedas. Kadang ada yang sedikit manis seperti kuah rawon Pak Pangat. Namun semuanya memiliki kesamaan, yaitu kuahnya berwarna hitam karena terbuat dari campuran rempah dan kluwek.

Celakanya, begitu sampai di Jakarta, kuah makanan khas daerah Jawa Timur ini berubah menjadi kuning dengan rasa yang nggak mirip rawon, melainkan lebih mirip semur daging di Surabaya. Bahkan saya pernah makan di warung yang berlokasi di Jakarta Selatan, penjualnya bertanya mau rawon daging atau rawon ayam. Astaga, nggak ada rawon ayam, Rek. Kalau yang berwarna kuning dengan suwiran ayam namanya bukan rawon, tapi soto. Tobatlah kalian penjual rawon di Jakarta, jangan menzalimi rawon kami!

Sekalipun di Surabaya dan Banyuwangi ada rawon pecel (nasi pecel dicampur rawaon), tapi tetap saja kuah rawonnya berwarna hitam. Nggak ada rawon berwarna kuning!

#2 Mendoan Banyumas tak luput dari perubahan

Mendoan adalah camilan dari Banyumas yang terbuat dari tempe yang diberi tepung bumbu, kemudian digoreng setengah matang. Dalam bahasa Jawa Banyumasan, mendo artinya setengah matang. Oleh karena itu, syarat wajib makanan khas daerah Banyumas ini harus digoreng madium rare (setengah matang).

Akan tetapi sangat sulit menemukan mendoan yang benar-benar mendoan di Jakarta. Sebab, mayoritas warung yang mengaku menjual mendoan, tempenya memang diberi bumbu berwarna agak kekuningan, tapi cara menggorengnya sampai kering. Kalau digoreng sampai kering begitu namanya gorengan atau tempe goreng, bukan lagi mendoan.

#3 Makanan khas daerah Manado, rica-rica, bumbunya jadi sedikit kental di Jakarta

Rica-rica adalah bumbu khas dari Sulawesi Utara yang memiliki rasa gurih dan pedas. Makanan khas ini sangat mudah ditemukan di daerah Manado dan sekitarnya. Rica-rica dimasak dengan ayam, bumbunya memiliki tekstur berminyak dengan warna kemerahan dan selalu ada biji cabai pada bumbunya. Akan tetapi, begitu di Jakarta, rica-rica berubah bentuk dan rasa.

Rica-rica di Jakarta malah dibuat dengan bumbu yang sedikit kental, seperti diberi kanji dengan rasa yang lebih mirip saus padang ketimbang rica-rica. Pernah juga saya melihat restoran di Jakarta yang menjual rica-rica berwarna kuning dan diberi daun kemangi. Aduh, kalau olahan ayam dengan kunyit dan daun kemangi di Manado namanya bukan rica-rica, tapi ayam woku.

#4 Jakarta mengubah segalanya, termasuk pecel lele Lamongan

Pecel lele adalah makanan yang terkenal dari Lamongan. Namun sebenarnya nggak bernama pecel lele melainkan pecek lele. Pecak adalah sebutan untuk sambal yang biasa digunakan untuk menemani olahan ikan. Di Surabaya, atau di Lamongan pada umumnya, jarang sekali ada orang yang menyebut pecel lele, kami biasa mengatakannya lalapan.

Warung yang menjual lalapan lele biasanya juga menjual lauk selain lele seperti tempe, telur, ayam, ikan air tawar, dan pe goreng. Jarang sekali, bahkan hampir mustahil, menemukan warung hanya menjual lalapan lele. Oleh karena itu saat pertama kali ke Jakarta, sekitar 15 tahun lalu, saya cukup syok ketika membeli makan pecel lele, tapi yang datang lalapan sambal dan lele.

Dalam bayangan saya, pecel lele adalah ikan lele yang diberi bumbu pecel. Sebab, di Jawa Timur yang namanya pecel itu bukan sambal cabai dikasih tomat dan terasi, tapi sambal kacang (pecel). Namun seiring waktu, hampir semua orang sekarang menyebut pecel lele.

Dulu, saya nggak pernah melihat ada warung dengan tulisan pecel lele di Surabaya, tapi sekarang malah banyak. Semua ini karena makanan ini merantau ke Jakarta, diberi nama yang keliru, lalu menjadi terkenal dengan sebutan yang membesarkan namanya. Begitulah, Jakarta memang mengubah segalanya, nggak hanya mengubah manusia, tapi juga makanan.

#5 Di Jogja, ayam geprek beneran digeprek. Begitu sampai di Jakarta, ayam geprek dioles sambal saja

Ayam geprek adalah makanan khas yang cukup populer di daerah Jogja. Makanan satu ini terbuat dari ayam goreng tepung yang digoreng, diberi sambal pedas, kemudian digeprek. Biasanya dimakan dengan nasi hangat, atau kalau mau digado juga boleh, terserah kalian. Namun, syarat utama disebut ayam geprek ya kudu digeprek atau dihancurkan.

Di Jakarta, saya beberapa kali menemukan warung ayam geprek yang menjual ayam tepung diberi sambal pedas bawang, tapi nggak digeprek. Duh, kalau seperti itu penyajiannya namanya bukan ayam geprek, tapi ayam goreng McD.

#6 Nasi goreng Surabaya, makanan khas daerah lainnya yang berubah begitu sampai Jakarta

Nasi goreng adalah makanan sejuta umat yang ada di seluruh Indonesia. Saya bisa menemukan penjual nasi goreng di Papua hingga Sumatra. Cara pembuatannya semuanya sama, yang berbeda adalah bumbu dan tampilannya atau warnanya. Ada nasi goreng yang warnanya cokelat karena diberi kecap, ada yang warnanya putih seperti yang umum kita temukan di restoran Cina, dan ada juga yang berwarna merah.

Untuk nasi goreng Surabaya warnanya harus merah. Kami membuat nasi goreng dengan saus tomat yang dicampur dengan bumbu lainnya. Selain itu, rasa nasi goreng Surabaya harus pedas dan gurih, bukan manis. Kalau warga Jakarta mau menjual nasi goreng khas Surabaya boleh saja, tapi warnanya harus merah. Jangan menulis di buku menu nasi goreng Surabaya, begitu diorder yang datang malah sepiring nasi goreng berwarna cokelat, dong. Sebagai warga Surabaya, kami akan kecewa.

Selain keenam makanan khas daerah di atas, saya juga sering melihat penjual papeda di Jakarta yang membuat papeda dari tepung kanji. Padahal yang namanya papeda seharusnya tebuat dari sagu dan biasanya dimakan dengan ikan kuah kuning. Namun, papeda dari kanji nggak hanya terdapat di Jakarta, di Surabaya dan banyak kota lain di Jawa, papeda kanji jamak ditemukan di depan sekolahan dan dijual dengan bentuk mirip sempol.

Itulah daftar makanan khas daerah yang berubah dari kebiasaanya di daerah ketika merantau ke Jakarta. Sebenarnya modifikasi makanan sah-sah saja, tapi akan lebih baik jika makanan khas daerah lain dibiarkan sesuai dengan nama dan rasa aslinya saja untuk menjaga kelestarian makanan tersebut.

Penulis: Tiara Uci
Editor: Intan Ekapratiwi

BACA JUGA Sahoun Ayam, Makanan Khas Purwokerto yang Jarang Dilirik Orang karena Nggak Menarik.

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Exit mobile version