Makan Soto, tapi Nasinya Dipisah: Manner dari Mana, sih?

Makan Soto tapi Nasinya Dipisah Itu Manner dari Mana?

Saya selalu percaya bahwa makanan adalah hal yang mempersatukan manusia. Segala perbedaan, baik itu ras, kepercayaan, pandangan politik, akan luntur jika sudah berhadapan dengan sepiring makanan. Semuanya akan berbaur menjadi satu, akrab, dan damai. Namun, saya kira masalah sudah selesai. Nyatanya belum. Di dalam makanan ternyata mampu membuat orang terpecah belah lagi. Perdebatan panjang mengenai bubur diaduk atau tidak menjadi bukti bahwa setelah masuk dunia makanan yang katanya mendamaikan, kita harus berhadapan lagi dengan perdebatan di dalamnya yang punya potensi memecah belah.

Tapi ya sudah, perdebatan bubur diaduk atau tidak itu bukan perdebatan yang prinsipil. Perdebatan ini juga tidak dekat dengan kultur saya sebagai orang Jawa Timur, yang kalau sarapan sering kali makan nasi, bukan makan bubur. Nah, kita harusnya beralih pada perdebatan yang lebih prinsipil, yaitu persoalan makan soto (atau rawon biasanya) tetapi nasinya dipisah. Ini merupakan kesalahan yang sudah mendarah daging dan tidak seharusnya termaklumi.

Saya sebenarnya sudah lama menyimpan kegelisahan ini: kok bisa-bisanya orang makan soto tapi nasinya dipisah? Itu sudah kelewat batas salahnya. Tidak ada aturan mana pun yang mengajarkan bahwa makan soto, atau makan rawon lantas nasinya dipisah. Sebuah budaya makan yang keliru sebenarnya. Lebih ironis lagi bahwa banyak sekali warung soto yang menyajikan sotonya dengan nasi yang terpisah. Ini manner-nya sudah jelas salah, tidak ada manner yang mengajarkan bahwa semangkuk soto, lengkap dengan bihun, kol, daging ayam, harus terpisah dengan nasinya.

Memang, secara porsi soto dengan nasi dipisah bisa dibilang lebih banyak. Namun, bukan itu esensi sebuah makanan. Buat apa makanan yang secara kuantitas banyak, tetapi melestarikan kesalahan cara makan dan cara penyajian. Makan soto dengan nasi dipisah juga ribet, harus berpindah-pindah dari mangkuk soto ke piring nasi. Rasanya pasti juga tidak enak. Berbeda dengan yang nasinya dicampur, tidak ribet, efisien, benar secara manner, dan sudah jelas rasanya lebih nikmat.

Ada satu hal lagi yang perlu diperhatikan baik-baik. Bahwa memisahkan nasi dari semangkuk soto itu perbuatan yang sok elitis dan diskriminatif terhadap makanan. Elitis, karena ada unsur-unsur utama yang terpisah, yaitu soto dan nasi. Soto ini makanan rakyat, yang fitrahnya tercampur sempurna dengan nasi dalam satu mangkuk. Sebagai makanan rakyat, tidak seyogyanya memisahkan unsur-unsur utama dalam makanan.

Silakan berdebat soal bagaimana cara makan kerupuk atau tentang kecap dan sambal karena itu unsur pendamping. Akan tetapi, kalau nasi dan sotonya, itu harus dicampur karena itu unsur utama. Itu jelas sudah prinsip, menyalahi prinsip itu jelas sebuah kesalahan yang susah untuk ditolerir.

Diskriminatif? Iya, diskriminatif terhadap makanan. Nasi, kuah soto, bihun, daging ayam, kol, dan lain-lain memang berasal dari tempat yang berbeda-beda. Lalu, mereka semua dihadirkan dalam satu mangkuk soto yang masih panas dan nikmat. Itu merupakan wujud dari peleburan perbedaan yang ada sebelumnya.

Lantas, muncul kebiasaan untuk memisahkan nasi dari semangkuk soto, dan ini jelas wujud pemecah belah persatuan makanan. Nasi yang harusnya berendam hangat, manja, dan menjadi satu di semagkuk soto, kini hanya disiram basah tanggung saja, itu pun kadang tidak merata. Nasi dan semangkuk soto jelas sudah didiskriminasi dalam kasus ini.

Saya bahkan berani bilang bahwa pemisahan semangkuk soto dengan nasinya itu merupakan bentuk penghinaan terhadap makanan. Jangan mentang-mentang kita (kalian sih sebenarnya, saya tidak kok) superior atas segalanya. Lalu, dengan seenak jidat menyalahi prinsip dan aturan luhur memakan semangkuk soto, dengan memisahkan nasi dengan sotonya. Itu jelas sebuah penghinaan yang paling hina dalam dunia makanan. Susah untuk ditolerir dan susah untuk dimaafkan.

Mungkin itu terdengar berlebihan, atau lebay dalam menanggapi sebuah makanan dan cara makannya. Namun, memisahkan soto dari nasinya itu perbuatan yang sudah sangat kelewatan. Harus ada yang mengingatkan bahwa cara makan soto yang baik, benar, sesuai, dan nikmat adalah dicampur menjadi satu dengan nasinya, bukan dipisah.

Silakan juga untuk tidak peduli dengan pendapat saya ini. Akan tetapi, ingat satu hal: sekali Anda merasakan kenikmatan makan soto dicampur dengan nasinya, Anda akan sadar. Lalu, Anda berdiri di samping saya, di barisan saya, untuk melawan mereka-mereka yang makan soto tapi nasinya dipisah.

BACA JUGA Rawon, Makanan Primadona Ketika Resepsi Pernikahan atau tulisan Iqbal AR lainnya.

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Exit mobile version