Tiap hari saya harus naik perahu dari Tuban menuju Stasiun Sumberrejo Bojonegoro, menembus banjir, hanya untuk berangkat kuliah.
Kita tidak bisa memungkiri satu hal: dunia memang menyebalkan, tapi kehidupan hari ini jauh lebih mudah karena kemajuan yang ada. Contoh paling sederhana adalah jalan yang makin baik kualitasnya. Tapi, bagi saya, penduduk Seberang Bengawan Tuban yang sering ke Surabaya, beda ceritanya.
Betul, jalan dan jembatan sudah banyak di daerah ini. Tetapi saya malah memilih naik perahu tradisional untuk menuju ke Bojonegoro, tepatnya ke Stasiun Sumberrejo. Ada alasan tersendiri mengapa saya masih memilih naik perahu saat hendak pergi ke Stasiun Sumberrejo Bojonegoro.
Sebelum memberi tahu alasannya, saya akan bercerita terlebih dahulu lika-liku ke Stasiun naik perahu.
Daftar Isi
Harus berangkat jam 4 pagi
Jarak yang tidak dekat antara Tuban dan Bojonegoro, membuat saya harus berangkat jam 4 pagi. Hal ini saya lakukan agar saya bisa mengantisipasi ketertinggalan kereta api yang dijadwalkan pada pukul 05.13 WIB. Jam 4 pagi, saat adzan shubuh belum berkumandang, saya yang diantar Ayah kala itu berangkat menyusuri jalan menuju ke dermaga agar saya bisa naik perahu. Saya masih ingat betul di tengah-tengah semak belukar sepeda roda dua itu membawa saya yang tengah menggendong tas ransel dan menenteng tas berisi laptop.
Setelah naik perahu, Ayah naik ke permukaan untuk mengakses jalan raya. Pada saat itu barulah masyarakat sekitar berbondong-bondong menuju ke masjid atau musala untuk melaksanakan salat subuh. Biasanya saya dan Ayah akan sampai ke Stasiun Sumberrejo Bojonegoro pukul 5 dini hari, bisa jadi kurang, jika lebih cepat.
Salat subuh di Stasiun Sumberrejo Bojonegoro
Kami harus melaksanakan salat di Stasiun Sumberrejo Bojonegoro dengan peralatan seadanya. Yang saya tahu, hanya kami yang melaksanakan salat subuh di Stasiun waktu. Barang kali orang-orang sudah salat, husnuzan saja. Oh ya, biasanya kami wudhu terlebih dahulu dari rumah untuk melaksanakan salat di Stasiun. Meski dengan segala keterbatasan, Ayah selalu mengingatkan kewajiban itu.
Harus melepas sepatu saat banjir
Banjir bukan hal yang asing lagi bagi saya dan masyarakat sekitar Bengawan Bojonegoro saat air sedang pasang. Saat air menjadi pasang, air tersebut akan membanjiri sekitar bengawan termasuk daratan yang dulunya tidak ada genangan airnya. Tidak terkecuali juga jalanan permukaan daratan yang digunakan untuk lewat penumpang setelah sampai di tujuan.
Saya harus melewati jalan yang dipenuhi genangan air karena jalan tersebut adalah satu-satunya jalan yang harus saya tempuh untuk sampai ke daratan. Waktu itu saya memakai sepatu, karena takut basah akhirnya saya melepas sepatu. Hingga sampai di Stasiun, dengan keadaan menenteng sepatu hitam bercorak cokelat itu, saya dengan percaya diri menyapa calon penumpang kereta api lainnya.
Hampir gagal meninggalkan Bojonegoro
Seperti biasa, saya dan Ayah selalu mengantisipasi keterlambatan sampai di Stasiun Sumberrejo Bojonegoro sehingga berangkat lebih awal, tetapi kadang sesuatu yang terjadi di luar kendali kami. Pada pukul 04.20 WIB, saya sudah sampai di Dermaga. Di Dermaga terlihat ada dua Ibu-ibu hendak pergi ke pasar. Sama seperti kami, Ibu-ibu tersebut juga menunggu pengemudi perahu yang akan menyeberangkan kami.
Hingga 15 menit berlalu, pengemudi belum juga menampakan batang hidungnya. Akhirnya salah satu Ibu yang hendak pergi ke pasar tadi menjemput Bapak pengemudi ke rumahnya, yang tidak jauh dari dermaga.
Saya rutin mengecek jam tangan yang melingkar di lengan, memastikan bahwa jam kereta masih lama atau tidak. Pukul 04.47 kami belum juga menyeberang, sedangkan kereta saya berangkat pukul 05.13 WIB, 26 menit lagi. Belum lagi nanti perjalanan ke Stasiun Sumberrejo Bojonegoro setelah menyeberang hampir 20 menit. Saya semakin gugup, jantung berdegup kencang, karena takut tertinggal kereta. Apalagi waktu itu saya sudah ada janji dengan Dosen Pembimbing skripsi. Maklumlah, saya adalah mahasiswa semester akhir.
Benar saja, sesampainya di Stasiun jam sudah menunjukan pukul 05.10 dan 3 menit lagi kereta akan diberangkatkan. Saya lari terbirit-birit menuju tempat boarding tiket dan sesudahnya langsung naik kereta api. Sedikit lagi saya tertinggal dan hangus sudah tiket yang saya pesan tiga hari lalu tersebut. Tidak hanya itu, janji dengan Dosen Pembimbing juga hampir batal, tetapi akhirnya tidak sampai batal.
Saya sering berbagi cerita perihal lika-liku perjalanan saya ke Stasiun Sumberrejo Bojonegoro ini kepada kawan-kawan di kampus dan kebanyakan dari mereka bertanya, apakah tidak ada alternatif lain?
Jawabannya adalah ada. Lantas apa yang membuat saya naik perahu dari Tuban hanya untuk menuju stasiun, padahal banyak opsi yang lain
Jarak yang tak masuk akal
Jarak dari rumah saya, Tuban, ke Stasiun Sumberrejo Bojonegoro lumayan jauh dan butuh waktu 1 jam untuk sampai ke sana. Oleh karena itu saya dan Ayah selalu mencari alternatif akses yang lebih dekat dan cepat. Ya, satu-satunya lewat perahu tadi.
Jika dibandingkan jarak jembatan dengan dermaga perahu dari rumah lebih dekat ke dermaga perahu. Selain itu jarak tempuh setelah naik perahu dan setelah turun jembatan juga lebih dekat setelah naik perahu ke Stasiun Sumberrejo Bojonegoro. Hal ini karena akses jalan setelah naik perahu berada di tengah-tengah perjalanan menuju Stasiun.
Orang tua zaman dulu sering cerita kalau mereka harus naik gunung, membelah hutan untuk berangkat sekolah. Meski terdengar begitu berlebihan, tapi bisa jadi itu semua nyata. Sebab, saya sendiri, orang Bojonegoro, masih mengalami itu semua.
Penulis: Sugiati
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA Kabupaten Bojonegoro, Kabupaten yang Sering Dilupakan