Mahasiswa Jurusan Sastra Adalah Sengenes-ngenesnya Mahasiswa, Kerap Direndahkan hingga Disuruh Pindah Jurusan

Mahasiswa Jurusan Sastra Adalah Sengenes-ngenesnya Mahasiswa, Kerap Direndahkan hingga Disuruh Pindah Jurusan

Mahasiswa Jurusan Sastra Adalah Sengenes-ngenesnya Mahasiswa, Kerap Direndahkan hingga Disuruh Pindah Jurusan (unsplash.com)

Mau itu Sastra Inggris, Sastra Indonesia, Sastra Cina, bahkan Sastra Rusia sekalipun, kayaknya mahasiswa jurusan sastra nggak ada bagus-bagusnya di mata orang.

Kalau ngomongin soal jurusan kuliah yang bagus, pasti orang-orang bakal langsung kepikiran jurusan pendidikan, kedokteran, atau teknik. Mana ada orang waras yang kepikiran buat menyebutkan jurusan sastra sebagai jurusan yang bagus. Mau itu jurusan Sastra Inggris, Sastra Indonesia, Sastra Cina, Sastra Rusia, semuanya pasti dipandang sebelah mata.

Buat orang-orang, mahasiswa jurusan sastra itu hina banget kali, ya? Mereka nggak mikirin perasaan kami sebagai mahasiswa sastra yang hatinya selalu hancur mendengar pertanyaan, ocehan, dan gibahan soal jurusan ini.

Tolong jangan bertanya yang aneh-aneh ke mahasiswa jurusan sastra

Ngaku saja, kalau kalian mahasiswa sastra—sastra apa pun—pasti suka ditanya yang aneh-aneh sampai kesannya merendahkan.

“Berarti nanti lulus jadi apa?”
“Coba kasih tahu aku bahasa Cinanya lagi boker terus dimakan singa”
“Jurusan apa tuh? Baru denger aku”
“Lah ngapain masuk sastra? Kan tinggal kursus aja juga bisa”
“Bahasa sendiri kok dikuliahin, kayak nggak ada kerjaan aja!”

Sebagian orang memang bertanya karena murni penasaran. Tapi nggak sedikit juga yang melontarkan pertanyaan karena tujuannya merendahkan. Nggak jarang sampai ada yang membanding-bandingkan mahasiswa sastra sama mahasiswa dari jurusan lain.

Membandingkannya juga nggak ngotak. Masa kadang dibandingin sama mahasiswa kedokteran? Aduh, jelas-jelas udah beda jauh. Yakali mahasiswa lulusan sastra harus bisa membedah orang yang kena tumor otak.

Sekali dua kali, sih oke. Lah, kalau setiap hari? Mahasiswa jurusan sastra juga manusia, om, tante, mas, mbak. Kami punya hati. Kalau ditanya gitu-gitu terus siapa yang nggak down?

Saking ngenesnya, pada suatu waktu di semester 2 saya pernah dibilangin begini sama salah satu saudara, “Ngapain masuk sastra? Lulus mau jadi apa? Mending semester depan keluar terus cari jurusan lain. Baru setahun kuliah, kan? Mumpung belum lama kuliahnya.”

Setelah itu, saya hampir nggak pernah ngobrol sama beliau karena sakit hati. Dikira masuk kuliah segampang itu, nggak mikirin duit? Daftar, nunggu dua minggu, terus auto keterima? Kan nggak.

Sebenernya masa depan lulusan sastra nggak sesuram itu

Dosen-dosen saya berkali-kali bilang kalau lulusan sastra masa depannya nggak sesuram itu. Sebenarnya yang bikin suram itu ketidakmauan mahasiswa buat terus belajar, eksplorasi, dan mencari hal baru.

Selayaknya ilmu murni lain, mahasiswa sastra itu sebenarnya nggak dilatih buat langsung terjun ke dunia kerja. Beda sama teknik atau pendidikan yang ilmunya banyak terapan. Banyak praktik jadi bisa langsung dipakai.

Sementara sastra itu ilmu yang dipelajari harus bener-bener dikembangin. Jangan stuck pada materi yang diajarin di kelas. Nanti dari ilmu yang dikembangkan itulah mahasiswa jurusan sastra bisa memilih mau fokus dan kerja jadi apa.

Contohnya, nih, kamu diajarin cara menulis di kelas. Nah, dari pelajaran itu bisa kamu perluas. Kamu bisa jadi penulis di Mojok misalnya, atau bisa juga jadi penulis berita. Jangan malah stuck. Ilmu murni itu cuma dasarnya, sisanya ya kita sendiri yang mengembangkannya. Jangan manja.

Pilihan karier buat mahasiswa jurusan sastra juga banyak. Pikiran kalian jangan sempit dan menganggap kalau kerja itu harus jadi guru, kerja di kantor, atau jadi dokter. Padahal anak sastra mau jadi wartawan bisa, jadi penulis bisa, jadi penerjemah bisa, jadi tutor bisa, jadi guru bisa, banyak pokoknya. Bahkan dikutip dari Detik, lulusan Sastra Indonesia juga bisa jadi leksikografer. Kalian tahu nggak kalau pekerjaan ini ada kaitannya dengan leksikografi, yakni ilmu penyusunan kamus.

Bahkan sebenarnya nggak cuma sastra, jurusan apa pun kalau mahasiswanya nggak mau berusaha ya nggak bakal sukses. Kalau cuma diam menunggu ada yang bantu ya nggak bakal jadi apa-apa. Jangan bisanya menyalahkan pemerintah, tapi coba lihat kalian sudah bisa melakukan apa.

Sebagai mahasiswa sastra saya cuma bisa sabar

Apa daya ocehan, pertanyaan, dan stigma jelek itu kayaknya nggak bakal bisa ilang. Sebagai mahasiswa jurusan sastra saya cuma bisa sabar. Sabar walau sering direndahin, sabar menghadapi pertanyaan nyeleneh, dan sabar sama stigma jelek yang ada.

Lagian buat mengubah nasib kan memang susah. Kalau stigma jelek ke mahasiswa sastra mau diubah ya mahasiswanya juga harus gerak. Kami harus membuktikan kepada orang-orang kalau mahasiswa jurusan sastra nggak sehina itu. Kami juga bisa disandingkan dengan anak jurusan pendidikan, bahkan kedokteran.

Ayolah jadi lebih aktif, ilmu yang kita dapatkan di kelas harus dikembangkan. Kalian juga nggak mau kan diremehkan terus?

Penulis: Arzha Ali Rahmat
Editor: Intan Ekapratiwi

BACA JUGA Lulusan Sastra Indonesia Dianggap Susah Dapat Kerja? Ah, Nggak Juga, kok.

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Exit mobile version