Orang-orang yang ikut program magang di Jepang itu kerap disangka banyak uang. Nggak heran kalau akhirnya mereka diutangin atau bahkan dimintain uang buat beli sawah di kampung halaman!
Di suatu pagi selepas kegiatan FMD (Fisik, Mental dan Disiplin) di LPK yang udah kayak latihan militer dan bikin napas megap-megap, sensei (guru) saya pernah nyeletuk begini. “Alasan orang Jepang memilih kalian buat kerja sama mereka tuh bukan karena fisik kalian yang kayak Hulk atau pinter kayak Einstein! Bukan itu! Tapi karena kalian murah dan atas izin Allah!”
Dari kata-katanya tersebut terungkaplah beberapa misteri dalam dunia perekrutan calon pemagang Jepang yang selama ini bikin saya penasaran. Kualitas bahasa Jepang dan kognitif peserta magang memang perlu, tetapi bukan faktor penentu kelulusan wawancara dengan orang Jepang—shachou (pemilik perusahaan). Subjektifitas perekrut dan takdir Tuhan lebih menentukan ketimbang apa pun.
Saat proses perekrutan magang Jepang, orang-orang yang punya potensi sering kali kalah sama orang dalam dan mereka yang punya daya tarik untuk bikin hati perekrut terenyuh. Kemampuan bahasa Jepangnya ya paling baru sampai bisa Hiragana dan cuma bisa jawab, “Hai!” dengan lantang. Skill lainnya paling sebatas senyuman penuh harap dan belas kasihan biar uang transport mereka buat perjalanan antarkota nggak sia-sia.
Sekilas tentang magang Jepang (ginou jisshusei)
Biasanya orang-orang yang ikut program magang Jepang adalah mereka yang baru lulus SMA, mantan buruh pabrik Cikarang yang ingin mencari peruntungan di negeri orang, anak kuliahan yang masih mencari jati diri, hingga ayah yang uangnya nggak cukup buat beli susu anak sehari-hari. Orang-orang ini adalah para pejuang. Mereka bertarung dan berusaha mati-matian jauh dari kampung halaman buat diri sendiri dan orang-orang tersayang.
Sebelum melanjutkan ke inti pembahasan, sebaiknya jamaah Mojok mengetahui dulu program magang Jepang yang saya maksud. Jadi magang di Jepang yang saya maksud ini adalah ginou jisshusei atau program yang difasilitasi pemerintah Jepang guna memberi kesempatan bagi orang asing untuk mempelajari keterampilan pada bidang jasa atau manufaktur di negara mereka. Itu adalah narasi yang beredar luas. Tetapi kalau menurut saya sih program ini nggak jauh beda dari sekadar bekerja.
Belajarnya? Ya ada. Tapi lebih banyak belajar buat sabar, melatih mental, dan soft skill buat menghadapi kehidupan yang absurd.
Orang-orang yang kerja di luar negeri butuh uang
Bagi orang-orang yang ikut program magang Jepang, program tersebut menjadi sarana baru bagi mereka mengeksplorasi minat, mengumpulkan kapital, dan merencanakan masa depan gemilang. Kebanyakan tujuan mereka waktu diwawancara kerja hampir sama. “Nihon ni hataraite, okane wo chokin shite .…” (Kerja di Jepang, menabung, dan …). Nah, kalimat terakhir ini biasanya beda-beda tuh. Ada yang bilang mau nikah, bangun rumah, beli sawah, bikin pabrik, dll. Dengan kata lain, sebenernya mereka butuh duit.
Akan tetapi paradigma yang beredar di masyarakat kerap kali nggak sinkron perihal orang-orang yang kerja ke luar negeri, tak terkecuali magang di Jepang ini. Masyarakat menganggap para pemagang ini hidup makmur di negeri orang, gajinya banyak, dan masa depannya terjamin. Padahal itu nggak sepenuhnya benar. Itu semua adalah variabel yang bersifat untung-untungan.
Betul kalau gaji para pemagang ini bisa buat membayar tiga atau empat buruh pabrik di Jakarta. Tapi, Bro, harga beras di Jepang tuh bisa Rp300-Rp500 ribu per 5 kilonya! Bayangin!
Rata-rata gaji magang di Jepang itu antara 100 ribu hingga 180 ribu yen tanpa lembur. Kalau dirupiahin sekitar Rp10 juta sampai Rp18 juta. Tetapi gajinya bisa lebih dari itu juga.
Dari gaji tersebut, harus dipotong untuk biaya sewa apato (tempat tinggal), listrik, gas, internet, air, buat healing, buat kebutuhan keluarga, tabungan, dan mungkin ada juga yang dimasukkan ke instrumen investasi. Tak jarang dari pembagian-pembagian tersebut, yang tersisa cuma tinggal duit buat makan sebulan dan buat beli onigiri atau famichiki kalau pengin jajan di konbini (minimarket).
Dipalak orang terdekat
Soal duit yang sudah ketat dibagi-bagi untuk masa depan itu, kadang ada bencana yang tiba-tiba datang. Seringnya orang-orang yang magang Jepang ini dipalak orang terdekat. Kadang, bukan dimintain untuk hal urgent kayak buat makan atau beli susu anak. Misalnya, tiba-tiba disuruh bayarin mobil atau sawah di kampung halaman. Buset, dikira kita investor apa?
Pelit atau apa pun label yang bakal melekat, nggak ngurusin, deh. Kami yang magang di Jepang ini udah capek mengurus sentimen negatif kayak gitu. Mending kami mengembangkan skill dan fokus menabung biar bisa beli sapi kurban buat Lebaran Haji.
Kalau kalian punya teman yang magang di Jepang dan update story penuh ingar bingar kemewahan, percayalah itu kedok doang biasanya. Paling habis itu setelah mereka sadar uang di dompet hanya tersisa beberapa lembar yen, mereka bakal hiatus posting-posting gituan. Lanjut lagi bulan depan kalau sudah gajian.
Sebenarnya mereka rapuh kayak kayu dimakan rayap, tapi mencoba tetap kuat dengan membagikan kebahagiaan palsu. Di antara mereka ada yang harus berhadapan dengan bos galak, senpai (senior) yang brengsek, dan teman yang suka minjem duit tiap bulan di tanggal tua.
Magang Jepang ibarat batu loncatan
Seandainya kami ditanya, “Tapi enak kan banyak duit?” Mau nggak mau saya harus jawab, enak. Tapi, kami nggak banyak duit, kok. Suer. Duitnya sudah habis dipotong dan dibagi-bagi buat biaya kebutuhan dan menghidupkan impian.
Kami bukan ATM berjalan dan mesin mekanis yang dengan senang hati melakukan kegiatan monoton ini. Apalagi buat jadi malaikat. Ada kebebasan yang terkurung dan mau segera berontak biar bebas. Kalau sudah dapat banyak modal dari sini, ada impian yang ingin kami jalankan seperti waktu disebutkan di awal wawancara kerja dulu. Kami mau bikin sesuatu yang bermakna dan menjadi manusia yang berguna buat sekitar.
Dengan kata lain, program magang Jepang itu kayak batu loncatan, dan kaki yang buat melompat adalah uangnya. Kalau uangnya nggak ada karena dipalak melulu, gimana kami mau lompat, jalan saja nggak bisa. Coba bayangkan, mau lompat tapi kakinya lagi dipinjam sama orang lain dan nggak tahu balik kapan. Kalau mengirim uang mungkin sulit, tapi kalau mengirim istighfar, kami punya banyak buat dibagikan.
Penulis: Imam Kukuh Pradana
Editor: Intan Ekapratiwi
BACA JUGA 5 Sisi Gelap Magang di Jepang yang Jarang Diketahui.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
