Madiun dalam ingatan masa kecil saya adalah kota yang khas dengan nasi pecelnya. Dulu setiap melewati Stasiun Madiun, Bapak saya selalu turun gerbong untuk membeli nasi pecel yang dijual di kios-kios stasiun. Dewasa ini, narasi yang saya terima soal Kota ini tidak hanya lekat dengan nasi pecel yang khas. Namun juga sebagai kota yang banyak diidam-idamkan para milenial, gen Z hingga old money untuk ditinggali di masa tua.
Beberapa waktu lalu tibalah kesempatan saya mengunjungi dan menetap beberapa hari di Kota Madiun. Bersih, sepi dan sudah ada sentuhan kekinian, kira itulah tiga kata yang tepat untuk menggambarkan Madiun bagi saya yang baru menginjakkan kaki di sana.
Kesan tersebut saya dapatkan ketika tiba di terminal kedatangan Purboyo. Bagi saya, terminal adalah gerbang utama dalam memberikan sedikit hint bagaimana kondisi daerah yang saya kunjungi. Bangunan Terminal Purboyo tampak betul seperti bangunan baru yang baru saja direnovasi. Dan betul saja, tampak banyak fasilitas umum di Madiun yang sedang atau baru saja direnovasi.
Daftar Isi
Plot twist
Entah apa yang menyebabkan Madiun jadi kota yang baru di bayangan saya. Kalau boleh berasumsi, banyaknya pekerja seni yang berasal dari Madiun membuat kota ini seketika jadi spotlight. Nama besar di bidang seni yang sedang ramai diperbincangkan beberapa tahun terakhir seperti penyanyi Gilga Sahid dan komika Nopek Novian saya yakini membuat kota ini terus mengalami pembangunan. Seolah sedang mempersiapkan diri menjadi kota yang tepat untuk investasi masa tua.
Bahkan kalau boleh membandingkan, setelah saya berkeliling kota Madiun saya memutuskan untuk lebih memilih Kota Madiun daripada Kota Jogja untuk liburan. Lantaran secara infrastruktur jalan, bangunan dan suasananya mirip Jogja. Bedanya Madiun lebih tenang dan bersih, tidak ada kemacetan dan sampah-sampah yang deprok di pinggir jalan.
Namun, setelah merasa tenang dan senang dengan vibes Kota Madiun. Di hari terakhir saya di Madiun, saya menemukan beberapa hal yang membuat saya bertanya-tanya dan terkejut. Izinkan saya menyebutnya sebagai momen plot-twist, karena hal-hal berikut ini mampu membuat gambaran saya tentang Madiun menjadi campur aduk~
Ada replika Kereta Whoosh di Madiun
Selama ini saya tau bahwa Kereta Whoosh merupakan kereta cepat dengan rute Jakarta-Bandung. Bahkan terakhir yang saya ketahui, kereta Whoosh juga akan membangun rute cepat untuk perjalanan dari Jakarta-Surabaya yang kemungkinannya menurut Menhub akan melewati kota Cirebon, Yogyakarta, Solo, dan Semarang.
Tidak pernah tersebut nama Madiun dalam rencana pembangunan rute tersebut, sehingga membuat saya bingung mengapa ada kereta Whoosh terpampang di area dekat alun-alun Madiun. Harus saya akui mental percaya diri dan cara pandang visioner ala Pemkot ni bukan kaleng-kaleng memang.
Saya tau kalau kota ini memang erat dengan sejarah perkeretaapian di Indonesia, bahkan dikenal sebagai Kota Kereta Api. Namun saya tidak memahami mengapa ada replika kereta Whoosh yang jelas-jelas tidak KAI-able? Bukankah industri kereta api di bawah naungan Kereta Api Indonesia berpusat di Madiun?
Setelah saya cek, replika tersebut niatnya mau dibuat seperti restoran mengingat letak replika tersebut berada di Bogowonto Culinary Center, pusat kuliner baru di dekat alun-alun Kota. Replika tersebut dipasang November 2023 lalu, dan hingga saya kesana di bulan Desember 2024 ini, belum ada kabar-kabari bahwa replika kereta yang menghabiskan anggaran mencapai 1,9 M itu difungsikan sebagai restoran.
Pahlawan Street Center tapi nggak ada bau-bau pahlawannya
Pahlawan Street Center (PSC) merupakan area ikonik yang dianggap oleh Pemkot Madiun sebagai daya tarik untuk para wisatawan. Saya akui banyak hal menarik di daerah yang terletak di Jalan Pahlawan tersebut. Namun, saya menemui kejanggalan dengan tidak adanya vibes pahlawan, perjuangan, sejarah Indonesia di jalan yang namanya sangat patriotik tersebut.
Di area yang sisi kiri kanannya, ada beberapa gedung pusat perbelanjaan, UMKM kuliner, dan franchise itu saya dikagetkan dengan menjulang tingginya patung Liberty. Replika patung ikonik Amerika Serikat itu bahkan lebih tinggi dibanding gedung-gedung sekitarnya. Awalnya saya pikir patung tersebut adalah patung untuk menyambut momen tertentu yang biasa disediakan oleh pihak mall. Tidak dong, patung tersebut berada di PSC, proyek Pemkot Madiun untuk menarik wisatawan.
Saya mencari-cari sisi “pahlawan” dalam area tersebut, lantaran dinamai Pahlawan Street Center. Bahkan membuat saya akhirnya browsing sejarah perihal Jalan Pahlawan, Madiun ini. Saya tidak menyangka bahwa nama jalan Pahlawan diberikan oleh Presiden Bung Karno. Bayangkan tidak ada bau-bau sejarah atau informasi yang berkaitan dengan keyword Pahlawan. Boro-boro informasi sejarah, informasi yang menyangkut masing-masing dari delapan replika yang disediakan di PSC pun tidak ada. Ini memang sengaja mau ngehapus sejarah di Madiun atau gimana neeh, dikira kita nggak tau apa.
Slogan ala Madiun yang Mind Blowing
“Selamat Datang di Kota Madiun Kota Tanpa Paspor dan Visa” begitulah kalimat yang terpampang nyata di baliho jalan menuju Stasiun Madiun. Walaupun kalimat tersebut adalah kalimat sapaan selamat datang, saya yang hendak melepas status turis lokal di hari terakhir itu menganggap kalimat tersebut adalah kalimat selamat tinggal yang terus menghantui.
Saya kebingungan dengan maksud kalimat tersebut dan menyalahkan sang pemilik ide termasuk sang copywriter dengan memberikan tanggapan kepada teman “Itu copywriting-nya gimana sih? Emang Madiun ni negara?” Sayangnya saya malah diketawai oleh sopir ojek online, “Ya itulah hebatnya Madiun, Mbak” ucap pak sopir santai
Saya masih merasa copywriting tersebut nggak ada hebat-hebatnya karena mengandung miskonsepsi. Hingga akhirnya saya pun menemukan artikel Mojok berjudul Madiun Kota dengan Wisata Ala Eropa Bisa Dikunjungi Tanpa Paspor. Dan baru menyadari maksud dari kalimat tersebut. Teruntuk siapapun yang telah membuat copywriting untuk Kota Madiun tersebut. Selamat, Anda benar-benar mind-blowing.
Walaupun menjadi kota ter-mind blowing yang pernah saya kunjungi. Madiun tetap punya kesan berarti bagi saya yang mendambakan kembali suatu hari nanti. Ya moga Madiun walaupun vibes-nya mirip-mirip Jogja tapi tidak bernasib seperti Jogja, lah, ya heheheheheeh.
Penulis: Anisah Meidayanti
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA Madiun, Kota Pendekar, Kota Pecel, Kota dengan Segudang Julukan