Pengalaman Saya Menjadi Maba UM: Nggak Ada Hukuman Fisik di Universitas Negeri Malang, tapi Tetap Saja Tersiksa Keadaan

Pengalaman Saya Menjadi Maba UM (Universitas Negeri Malang): Nggak Ada Hukuman Fisik, tapi Capek Disuruh Duduk Berjam-jam

Pengalaman Saya Menjadi Maba UM (Universitas Negeri Malang): Nggak Ada Hukuman Fisik, tapi Capek Disuruh Duduk Berjam-jam (Universitas Negeri Malang via Wikimedia Commons)

Sebenernya saya bersyukur di Universitas Negeri Malang nggak ada perpeloncoan dan hukuman fisik ala-ala ospek zaman dulu. Tapi apesnya, waktu jadi maba UM dulu, saya harus menahan pegal gegara duduk berjam-jam.

“Kalau Malang sedang dingin-dinginya, berarti sebentar lagi bakal banyak mahasiswa baru yang datang.”

Warga Malang mungkin sudah akrab dengan kalimat di atas. Kalimat di atas jelas bukan sebuah omong kosong belaka. Kalimat di atas adalah sebuah siklus, sebuah fenomena yang terjadi nyaris setiap tahun. Ketika Kota Malang—yang memang sudah identik dengan hawa dingin—menjadi lebih dingin, itu adalah pertanda tahun ajaran baru dimulai dan akan kedatangan banyak mahasiswa baru.

Sebenarnya ini hal yang wajar mengingat tahun ajaran baru terjadi pada bulan Juli-Agustus di mana merupakan masa perubahan musim dari kemarau ke musim hujan. Cuaca dan hawa dingin ekstrem pasti akan terjadi. Terlepas dari hal itu, dinginnya Malang ini seperti menjadi sebuah sambutan bagi mahasiswa baru yang akan menuntut ilmu dan tinggal di Malang dalam beberapa tahun ke depan. Para maba ini harus siap dengan hawa dingin yang mereka akan rasakan dalam tahun-tahun ke depan.

Omong-omong soal maba, hal yang paling kerap dibicarakan adalah mengenai ospek. Seperti kita tahu, selama ini ospek, apalagi dalam taraf kampus, kerap dikaitkan dengan perpeloncoan. Tak terkecuali yang terjadi di kampus saya, Universitas Negeri Malang (UM). Kultur perpeloncoan juga pernah terjadi di masa lalu, yang untungnya sudah berakhir sejak beberapa tahun sebelum saya masuk menjadi maba UM pada 2016.

Kultur perpeloncoan di Universitas Negeri Malang sudah lama ditiadakan

Sejak perpeloncoan dihilangkan, ospek jelas menjadi lebih menyenangkan. Bahkan kata ospek sudah dihilangkan dan diganti menjadi istilah yang lebih friendly. Di Universitas Negeri Malang, khususnya ketika saya menjadi maba UM, istilah ospek diganti menjadi Pengenalan Kehidupan Kampus Bagi Mahasiswa Baru (PKKMB). Seperti namanya, PKKMB berkisar seputar materi tentang kampus, apa-apa saja yang ada di kampus, dan sebagainya. Satu yang jelas, tidak ada lagi perpeloncoan.

Saat saya masuk UM pada 2016, PKKMB menjadi kegiatan pertama yang saya harus lakukan. Rangkaiannya seperti ini: PKKMB akan berlangsung selama enam hari. Tiga hari pertama, PKKMB dilakukan di Graha Cakrawala dan diikuti oleh seluruh mahasiswa baru UM. Ribuan orang bergabung jadi satu di Graha Cakrawala untuk mengikuti rangkaian PKKMB. Kegiatan berlangsung dari pukul 06.30 WIB sampai sekitar pukul 14.00 WIB. Tiga hari selanjutnya adalah kegiatan fakultas, di mana maba ini akan menjalani PKKMB di fakultas masing-masing.

Para maba UM juga tidak diperintahkan membawa barang-barang yang aneh. Tidak ada juga kostum-kostum aneh seperti ospek pada tahun-tahun sebelumnya. Saya dan maba UM lain hanya diperintahkan memakai kemeja putih, celana hitam, jas almamater, topi, dan pita berwarna sesuai fakultas. Saya memakai pita warna kuning karena saya masuk ke Fakultas Sastra.

Baca halaman selanjutnya: Tidak ada perpeloncoan bukan berarti bisa bernapas lega…

Jadi maba UM harus siap pegel duduk berjam-jam dengerin materi ospek

Tidak ada perpeloncoan bukan berarti saya sebagai maba bisa bernapas lega. Masih ada hal-hal “capek” lain yang harus saya lalui, yaitu duduk berjam-jam. Itulah yang saya alami ketika enam hari menjalani PKKMB.

Bayangkan saja, saya harus duduk dan memperhatikan materi yang disampaikan di Graha Cakrawala dari pagi hingga siang. Benar-benar duduk, dan hanya berdiri dua atau tiga kali saja (untuk beberapa kegiatan).

Sialnya, saya kebagian tempat duduk di bawah, bukan di bagian tribun. Kalau di tribun mungkin masih enak. Tapi duduk di bawah itu agak menyiksa buat saya. Bayangkan saja, tubuh saya ini gendut, harus duduk di lantai yang hanya beralaskan karpet tipis, tidak ada sandarannya. Sudah begitu, space-nya juga agak sempit untuk ukuran saya. Menyiksa sekali. Saya sampai sudah berdamai dengan kesemutan dan njarem-njarem lainnya.

Belum lagi kalau ngantuk, saya akan lebih tersiksa. Ada aturan tidak boleh tidur selama kegiatan PKKMB. Sebagai orang yang bukan “morning-person”, kegiatan PKKMB yang dimulai pada pukul 6.30 pagi itu mimpi buruk. Itu jam tidur saya. Dan ketika melakoni PKKMB, ya saya harus bertahan dalam ngantuk berat yang datang bertubi-tubi. Apalagi kalau pemateri dan materi yang disampaikan itu membosankan, ya jadi tambah ngantuk.

Tapi saya masih bersyukur, setidaknya capek duduk ini tidak ada apa-apanya ketimbang perpeloncoan yang pernah dialami oleh beberapa senior saya dulu. Bersyukur lah.

Tidak ada hukuman fisik bagi maba UM

Ini yang jadi poin plus dalam PKKMB di UM. Selama enam hari menjalani PKKMB sebagai maba, baik itu PKKMB Universitas atau PKKMB Fakultas, tidak ada hukuman fisik yang berlaku. Tidak ada hukuman seperti push up atau lari keliling lapangan. Para senior seolah anti kepada hukuman fisik.

Terus kalau ada yang melakukan pelanggaran apa hukumannya? Ya hukuman non-fisik. Ada yang pernah dihukum disuruh bernyanyi di depan maba lain, dihukum untuk membawa beberapa barang (tapi bukan yang aneh-aneh) esok hari. Intinya, PKKMB di UM, khususnya di Fakultas Sastra, tidak ada hukuman fisik. PKKMB benar-benar menjadi kegiatan yang menyenangkan dan tidak menimbulkan trauma.

Ya memang meskipun tidak ada hukuman fisik, masih ada beberapa senior yang sok galak dengan bentak-bentak maba. Saya sih tidak pernah kena bentak, lha wong saya maba yang manut saja. Tapi bentak-bentak itu juga hanya terjadi di PKKMB. Ketika sudah masuk perkuliahan biasa, kita juga nongkrong bareng atau bahkan sama-sama mbolos kelas dan berakhir di kantin.

Kampus yang berperikemanusiaan

Itulah pengalaman saya selama menjadi maba UM di tahun 2016. Sudah lama juga, ya. Saya mungkin beruntung karena ketika menjadi maba, tidak ada perpeloncoan. Efek positifnya, saya jadi tidak trauma dengan kampus dan mengenal kampus lebih dalam. Impresi saya dengan kampus UM juga jadi baik.

Saya paham betul bahwa kampus saya, Universitas Negeri Malang (UM), bukan kampus terbaik dan nomor satu di Malang. Tapi dengan PKKMB atau ospek di UM yang anti-perpeloncoan, saya bisa menyebut bahwa UM adalah kampus yang humanis dan berperikemanusiaan. Mungkin saja itu adalah cara UM untuk memberikan kehangatan bagi para maba ketika berada di Malang.

Penulis: Iqbal AR
Editor: Intan Ekapratiwi

BACA JUGA 3 Hal Nggak Enaknya Jadi Mahasiswa UM.

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Exit mobile version