Lulusan S2 UGM atau Tidak, Semua Bakal Kesulitan Bertahan Hidup di Jogja kalau Tidak Punya Strateginya

Faktanya, Kuliah S2 Bukan Berarti Bakal Lancar Dapat Kerjaan, Dunia Kerja Beneran Nggak Peduli Ijazah! lulusan s2 ugm

Faktanya, Kuliah S2 Bukan Berarti Bakal Lancar Dapat Kerjaan, Dunia Kerja Beneran Nggak Peduli Ijazah! (Pixabay.com)

Saat membaca naskah Esai milik Helena yang berjudul Malangnya Lulusan S2 UGM yang Kesulitan Bertahan Hidup di Jogja, saya menemui banyak hal yang familiar dan sering saya bahas di tongkrongan beserta kawan saya. Kenapa saya merasa familiar? Karena saya pernah menulis hal yang isunya mirip, pembahasannya saja yang berbeda.

Isu lulusan S2 susah dapat kerja itu tak lagi mengagetkan, sebab memang itulah kenyataannya. Banyak yang merasa sia-sia kuliah mahal, tapi ternyata “tak ada gunanya” di dunia kerja. Fakta pahit ini, bikin mereka terasa terombang-ambing. Menganggur malu, lanjut kuliah lagi mahal, tapi kerjaan nggak dapet. Pusing nggak? Pusing aja pusing.

Sayangnya, esai Helena tersebut tidak membahas hal-hal yang menjadikan kenapa lulusan S2 UGM atau pada umumnya kesulitan cari kerja. Padahal, ada hal-hal macam market dan skill yang perlu dibahas untuk bisa mengurai kenapa lulusan S2 UGM bisa merana di Jogja.

Mindset yang keliru

Tahun lalu, saya menulis artikel yang membahas kenapa kuliah S2 tidak menjaminmu dapat pekerjaan, atau punya advantage dalam proses cari kerja. Secara singkatnya, ada beberapa hal yang bikin kuliah S2 tidak memberi jaminan. Pertama, karena dunia kerja butuh skill. Kedua, market butuhnya bukan ijazah. Ketiga, cara orang membuat planning karier itu kurang tepat.

Saya akan bahas yang terakhir dulu. Biar nggak mainstream gitu.

Banyak orang baru berpikir mau kerja apa setelah lulus S2. Saya yakin banyak lulusan S2 yang baru berpikir mau kerja di mana setelah lulus kuliah. Bagi Nafis, narasumber yang saya tanyai di artikel tersebut, itu adalah mindset yang keliru.

“Mindset-nya udah keliru dari awal, Mor (panggilan saya). Kuliah memang bisa buat cari kerja, tapi bukan senjata satu-satunya. Kalau baru cari arah karier sebelum daftar S2, itu udah telat. Harusnya ya sejak S1. Itu pun yang dicari ijazahnya aja, skill udah perkara lain lagi.”

Mindset yang keliru, jelas bikin orang keliru dalam membuat perencanaan. Dan saya setuju betul dengan Nafis. Sebab jika tak punya pandangan jelas mau ngapain ke depannya, ya orang bisa terombang-ambing. Padahal market itu amat volatile, kalau tidak punya plan A-Z, ya bakal ambyar di dunia kerja. Lulusan S2 UGM atau bukan, kuliah atau tidak, planning karier itu penting.

“Nah, itu maksud dari salah di mindset. Dia harusnya sudah tahu risiko apa yang dia hadapi sebelum kuliah S2. Kalau ujungnya nggak dapet kerjanya, ya dia nggak bisa begitu saja nyalahin sistem. S1, S2, sama saja di dunia kerja, sama-sama menghadapi persaingan. Njuk nek S2 spesial ngono neng ngarepe HR? Yo ora lah.”

Saya tak tahu Andi dan Berta, kawan Helena dalam esai tersebut planningnya seperti apa. Mungkin mereka lebih tertata planningnya, hanya saja realitas memang mengerikan. Itulah, kalau punya planning aja bisa kacau, apalagi tidak.

Marketnya bagaimana?

Lanjut, kita bahas market. Helena tidak menceritakan apa jurusan Andi dan Berta, karena bagi saya, itu justru hal yang penting. Jurusan itu acap kali menentukan kita kerja di mana, sekalipun itu tidak pernah jadi faktor utama. Maka dari itu, penting untuk tahu marketnya seperti apa, jurusan apa yang sebenarnya dibutuhkan oleh pasar.

Kalau market tidak membutuhkan lulusan S2 UGM jurusan nuklir, misalnya, ya jangan lanjut S2. Sebab jika maksudmu lanjut S2 agar kamu bisa punya daya tawar, nyatanya yang ada di realitas justru berkata sebaliknya.

Beberapa pekerjaan membutuhkan lulusan S2, itu nggak bisa dimungkiri. Tapi kalau kalian menganggap semua pasar butuh S2, ini adalah logika yang keliru. Butuhnya adalah skill. Kalau skill tersebut bisa didapat kalau kuliah S2, nah, barulah kalian gas.

Saya tak tahu jurusan Andi dan Berta. Jadi saya bingung mau membahas gimana. Tapi, Berta jadi asisten dosen, artinya dia sudah on track sekalipun belum dibayar. Saya nggak tahu kok bisa asdos nggak dibayar. Harusnya pembahasannya bukan lulusan S2 UGM menderita di Jogja, tapi malah menembak kampus (atau siapapun yang berwenang) yang tidak membayar para pekerjanya dengan layak.

Lanjut, skill.

Skill lulusan S2

Dunia kerja itu semuanya perkara skill. Entah itu skill dalam pekerjaan, dan skill dalam membangun relasi dengan kawan kerja. Apa pun itu, intinya skill. Nah, dalam esai Helena, saya tak menemukan satu pun pembahasan tentang skill. Sebagai lulusan S2 UGM, harusnya paham bahwa hal ini amat penting. Ijazah, nyatanya, tak selalu berarti punya skill.

Nafis memberi argumen kenapa ijazah tak begitu berarti di dunia kerja.

“Dunia kerja, nyatanya, tidak selalu linier dengan pendidikan. Berapa banyak kawan kita yang akhirnya punya pekerjaan yang nggak nyambung dengan kuliahnya? Banyak. Apakah mereka kesulitan? Ya nggak juga kan? Itu baru contoh kecil.”

Nyatanya, sekarang sertifikasi skill jauh lebih seksi di dunia kerja. Makanya, bootcamp itu laku. Walau bootcamp tak berarti lebih superior ketimbang kuliah (gila saja jika berpikir seperti ini), tapi ada alasan kenapa bootcamp laku keras, karena mereka jualan skill. Skill mereka nanti dibuktikan dengan sertifikat. Perusahaan lebih butuh ini.

Kalian mau mengutuk perusahaan? Go ahead, I’ll see you try.

Jangan tekan lulusan S2 UGM lagi

Helena membahas perkara ekspektasi orang terhadap lulusan S2 UGM bikin para alumni UGM tertekan. Saya agaknya setuju perkara ini, tapi agak paham juga kenapa ekspektasi ini muncul.

UGM, oleh masyarakat kebanyakan, dianggap sebagai kampus yang memberi jaminan “jadi orang”. Mau gimana lagi, memang banyak yang hidupnya sukses setelah menempuh pendidikan di UGM. Jadinya wajar kalau ada yang memberi ekspektasi unreal. Itu udah sepaket.

Jika saya dulu berhasil keterima di UGM, mungkin saya juga akan mendapat ekspektasi serupa. Wong saya kuliah cuman di UNY saja ekspektasi sudah setinggi itu, apalagi UGM.

Saya tidak membenarkan, tapi ya kalian harus pahami bagaimana akar rumput berpikir. Melihatnya dari perspektif berbeda kadang bikin kalian jadi agak lega.

Esai Helena bisa jadi starter yang bagus untuk memahami bahwa jadi lulusan S2 UGM tidak serta merta menjamin kesuksesan. Mau kalian bergelar apa pun, bahkan bergelar Pendekar Terhebat Sekte Wudang sekalipun, tak menjamin kalian punya jalan yang sebegitu mulus di dunia kerja.

Yang terjadi di realitas itu kompleks, kawan-kawan. Next time, jangan hakimi kawanmu lulusan S2 UGM yang masih jadi orang biasa saja. Kecuali jika kecanduan slot, gajulen wae.

Penulis: Rizky Prasetya
Editor: Rizky Prasetya

BACA JUGA Pedihnya Lulusan S2 UGM, Ijazah Mewah Cari Kerja Susah: Jangankan Berharap Gaji Dua Digit, Tidak Diejek karena Kelamaan Nganggur Saja Sudah Baik

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Exit mobile version