Mungkin masih banyak orang yang awam dengan jurusan asal usul guru SLB, yaitu jurusan Pendidikan Luar Biasa atau jurusan Pendidikan Khusus. Di Indonesia sendiri, jurusan Pendidikan Luar Biasa hanya dibuka oleh beberapa universitas besar saja, padahal kebutuhan guru di lapangan sangat banyak. Alhasil, biasanya sekolah-sekolah luar biasa akan menerima jurusan apa saja untuk memenuhi kuota guru. Ada yang mau daftar jadi guru aja wis alhamdulillah, apalagi mereka jadi guru wiyata yang cuma digaji beberapa ratus ribu saja dalam satu bulan. Wis mulang ekstra, honor juga ekstra. Ekstra sabar maksudnya.
Dulu waktu keterima di salah satu kampus negeri di Jogja, saya bangga sekali karena tembus SNMPTN. Setelah tapi setelah itu saya stres kepikiran gimana cara untuk lulus. Lha wong saya sebenernya cuma iseng ambil jurusan yang lawannya tidak sebanyak jurusan-jurusan yang lain agar gampang lolosnya dengan nilai rapor yang megap-megap. Alhamdulillah pas sudah kuliah dan menjalani kehidupan sebagai mahasiswa Pendidikan Luar Biasa, ternyata banyak teman yang motivasi memilih jurusannya sama, jadi tidak kelihatan terlalu DDR (Daya Dong Rendah) amat lah.
Setiap orang yang bertanya jurusan saya, pasti rata-rata kalimat pertama yang terlontar selalu sama, “Eee yang mengajar pakai bahasa isyarat itu ya?” sambil memperlihatkan gestur-gestur tangan yang aneh. Saya yakin pertanyaan ini juga sering diterima oleh orang-orang yang sedang menempuh jurusan Pendidikan Luar Biasa lainnya di Indonesia. Biasanya saya sih cuma senyum saja untuk menjawabnya. Bukan karena saya merendah, tapi karena kenyataannya terlalu ruwet untuk dijelaskan.
Ketika saya kuliah dulu, kami tidak diajari bahasa isyarat. Profesor kami mengatakan, itu memang sengaja dilakukan. Alasannya saya lupa, karena waktu itu saya ngantuk di kelas. Tapi, kalau tidak salah ingat, hal ini karena sistem pembelajaran untuk anak tunarungu atau biasa kita sebut tuli, secara resmi lebih banyak menggunakan bahasa oral atau bahasa pengucapan bibir. Kami diajarkan dasar-dasar terapi wicara seperti bina persepsi bunyi dan irama agar anak-anak tuli bisa memaksimalkan sisa-sisa pendengaran jika masih memilikinya serta melatih kemampuan merasakan vibrasi dan produksi ucapan. Sehingga, diharapkan mereka bisa berkomunikasi secara mandiri di kemudian hari. Intinya latihan ngomong.
Tapi bagi insan tuli, sistem ini dirasa tidak manusiawi karena seperti menyuruh mereka untuk menjadi normal padahal mereka memiliki keadaan khusus. Maka dari itu mereka menggunakan bahasa isyarat agar lebih bisa mempresentasikan komunikasi dengan lebih jelas lewat gerakan-gerakan yang secara visual. Ekspresi memang lebih bisa menggambarkan secara lebih jitu ketimbang membaca gerak bibir maupun berusaha memproduksi suara yang kebanyakan mereka mengeluh sakit ketika melakukannya. Sebab, insan tuli memang berbeda dari insan dengar pada umumnya yang tidak terbiasa mendengar serta memproduksi suara dari bayi.
Dosen saya pernah bilang, mengapa insan tuli sulit memproduksi suara? Alasannya karena tidak ada input, makanya sulit membuat output. Ibaratnya tidak ada data masuk maka tidak ada data yang akan diproses untuk keluar. Beda dengan insan dengar yang dari kecil terbiasa mendengar suara dan bahasa ibu, makanya kita bisa belajar bicara dengan alami karena kita mendengar dan bisa menirunya menjadi ucapan. Pada praktiknya, di SLB di mana saya mengajar sekarang menggunakan sistem campuran yaitu menggunakan bahasa oral dan isyarat. Tapi memang tidak dimungkiri, mereka lebih banyak menggunakan bahasa isyarat yang membuat mereka lebih nyaman dalam berkomunikasi. Saya sih guru demokratis, apa yang membuat murid saya nyaman ya manga wae, asalkan sembada.
Oleh karena di kampus tidak diajari, saya akhirnya berinisiatif untuk mencari ilmu bahasa isyarat sendiri dengan bergabung organisasi tuli di Yogya. Ternyata, syarat untuk belajar isyarat sebetulnya gampang sekali. Kami harus punya guru tuli dan senantiasa nginthil untuk belajar bahasa isyarat langsung kepadanya. Ini merupakan suatu sopan santun agar kami paham dari sumbernya serta belajar budaya tuli yang memang beda dan memiliki budaya khas.
Alasan saya belajar bahasa isyarat selain untuk persiapan agar ketika saya sudah menjadi guru saya tidak terlihat bodo-bodo amat. Tidak saya mungkiri juga niat belajar saya yang lain memang agar terlihat keren di mata orang-orang. Ini memang motivasi yang tidak baik untuk ditiru, tapi agar memunculkan niat belajar sungguh-sungguh, boleh saja Anda tiru. Tulisan ini akan saya tutup dengan quote, carilah niat belajar meskipun kamu tidak berniat untuk mencari niat. Terkadang, dipaksa itu ada enaknya meskipun awalnya kita ogah-ogahan. Tapi pas sudah dirasakan, penasaran dan malah ingin tambah. Selamat mencari niat dan selamat belajar hidup dalam masyarakat.
BACA JUGA Ternyata Belajar Bahasa Isyarat Tak Susah-susah Amat