“Kamu tuh mending cuma [masukan satu masalah] doang, coba liat aku nih, gimana aku nggak strong? Aku ngalamin [masukan banyak masalah] yang lebih parah!” Kata beberapa orang teman yang menanggapi curhat saya.
Tanpa harus punya kekuatan indra keenam untuk menerawang masa depan atau masa lalu, saya yakin pasti banyak juga orang yang pernah ditanggapi dengan respons serupa ketika dia sedang bercerita. Ya sebenarnya respons itu lebih mending daripada respons, “Coba kamu rasain jadi aku yang hidupnya [masukan berbagai penderitaan]”. Ya mohon maaf saja, nih, kita-kita ini nyelesein masalah sendiri aja masih kebingungan, lha gimana caranya disuruh nyobain hidup orang lain?
Memang manusia suka nyebelin. Orang mau curhat malah diajak berantem, hadehhh.
Gimana nggak diajak berantem, itu kan situasinya kita lagi butuh dukungan moral, butuh dirangkul dan dimengerti, bukan malah dipojokkan dengan respons berlomba jadi orang yang lebih—atau paling—menderita dibanding kita.
Gini deh, siapa juga yang mau terjebak dalam keadaan yang menyesakkan pikiran dan terbebani dengan kondisi jiwa yang nggak stabil sampai dianggap lebay sama orang? Hm??? Ya nggak ada lah, Malih! Nggak bakalan ada yang mau. Makanya mereka memutuskan untuk cerita/curhat biar bisa setidaknya mengeluarkan unek-unek mereka.
Tapi, ketika orang .yang dijadiin tempat curhat malah lomba-lombaan jadi orang yang paling menderita dengan memberikan respons membandingkan masalah kita dengan masalah dia, apa dia nggak mikir kalau orang berani curhat ke dia itu karena percaya kalau dia bisa mendengarkan, mengerti, dan menenangkan sebagai teman? Eh, ini malah ngebanding-bandingin masalah.
Buat saya, banding-bandingin masalah pas curhat itu dari perspektif mana pun (dari yang lagi curhat atau yang mendengarkan curhat) ya nggak baik. Contoh dari pendengar yang suka membandingkan masalah tadi sudah jamak ditemui, apa yang saya ceritakan di atas tadi contoh konkret. Namun, ada juga si pencerita yang suka membandingkan masalahnya, bukan hanya curhat masalah sendiri tapi dia juga akan menambahkan bumbu perbandingan di akhir kalimat keluh kesahnya seperti, “Kalo lu mah enak progresnya udah banyak, coba liat gue ini belom sama sekali.”
Hmmm, serba salah memang. Nggak pencerita, enggak pendengar, semuanya berpotensi untuk mengerdilkan masalah orang lain padahal enggak pernah tahu perjuangan apa saja yang pernah dilalui. Duri-duri apa yang sudah membuat bekas di batin tapi orang lain dengan seenaknya bilang, “Kalo lu mah udah enak…” KALO LU MAH UDAH ENAK, katanya dengan enteng tanpa mikir.
Ada yang berjuang untuk melawan penyakitnya tapi dikelilingi oleh teman-teman baik yang mendukungnya, ada yang kehidupan rumah tangganya berantakan tapi punya karir yang bagus, ada yang karirnya biasa saja tapi keluarganya mengasihinya dengan penuh cinta, yang lainnya kesulitan ekonomi tapi punya anak-anak yang cerdas. Semuanya sedang berjuang dan punya masalah sendiri. Di satu sisi ada yang kelihatannya enak, tapi kamu belum lihat sisi enggak enaknya dari hidupnya, cuma itu masalahnya. Dan kamu masih dengan lantang membandingkan diri lewat perspektif kamu sendiri.
Sangat tidak elok membandingkan masalah orang lain untuk tujuan apapun. Membandingkan masalah tidak akan membuatnya jadi termotivasi untuk bergerak lebih baik. Kamu yang sering atau pernah melakukan hal tersebut ibarat hanya menaburkan garam, jeruk nipis, terus digosok-gosok pake sikat gigi di atas luka basah.
Toh kalaupun alat penukar masalah dari kantong ajaib Doraemon ada di dunia nyata, kamu juga belum tentu mampu berada di posisi orang lain yang masalahnya sering kamu anggap, “Yaelah, cuma gitu doang.” Kok ini berani-beraninya membandingkan masalah begitu, situ siapa?
Nggak cuma perbandingan masalah doang sebenarnya, banding-bandingin kesuksesan seseorang juga tidak elok dan sangat tidak baik untuk kesehatan mental. Emak-emak yang suka bandingin anaknya sama anak tetangga, atau diri sendiri yang suka bandingin pencapaian yang kita peroleh dengan pencapaian orang lain, hal-hal yang begitu hanya bentuk self abuse dan metode mengerdilkan diri sendiri paling efektif.
Untuk siapa pun itu, si tukang curhat, pendengar rese, buruh, pelajar, ibu rumah tangga, mahasiswa, pengangguran, siapa pun itu tolong berhenti membandingkan masalah dan pencapaian dengan orang lain.