Melalui Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH), Kementerian Agama Republik Indonesia menerbitkan Surat Kepala BPJPH Nomor 40 Tahun 2022 tentang Penetapan Label Halal. Surat yang ditetapkan di Jakarta tanggal 10 Februari 2022 itu menjelaskan perubahan logo halal dari versi MUI ke versi Kementerian Agama. Dan ketetapan itu mulai berlaku secara nasional per tanggal 1 Maret 2022. Kamu sudah lihat logonya, kan?
Kamu mungkin sudah terbiasa melihat logo halal versi MUI dengan tulisan arab warna putih dalam lingkaran warna hijau yang ada di setiap kemasan makanan, minuman, atau produk lainnya. Nah, logo halal versi Kementerian Agama ini sangat jauh berbeda dengan logo versi MUI tadi. Logo halal yang baru ini lebih terlihat “Indonesia”. Tulisan halal dibuat dalam bentuk grafis kaligrafi dan disusun menyerupai gunungan wayang. Dan yang bikin beda, kaligrafi tadi diberi warna ungu. Iya, ungu.
Sebagai praktisi sekaligus penikmat desain grafis, saya sangat mengapresiasi kreativitas Kementerian Agama dalam peluncuran logo halal yang baru ini. Meski demikian, menurut saya ada beberapa catatan penting terkait dengan logo halal baru versi Kementerian Agama ini.
Pertama, logo ini keren. Harus saya akui bahwa logo halal yang baru versi Kementerian Agama ini keren. Dari sisi grafis dan tampilan visual, logo ini terlihat lebih kekinian dibandingkan dengan versi MUI yang terkesan old school. Pemilihan bentuk gunungan wayang juga sudah pas untuk mewakili Indonesia. Meski banyak netizen protes karena terlalu Jawa-sentris, tapi menurut saya bentuk gunungan wayang itu sudah pas, kok. Bukankah dulu para Wali Songo menyebarkan Islam di Nusantara melalui media wayang?
Kedua, pemilihan warna logo yang kurang pas. Ini mungkin yang menurut saya perlu diperbaiki. Pemilihan warna ungu nggak selaras dengan warna khas Kementerian Agama, yaitu hijau, putih, atau kuning. Meski Kepala BPJPH berkilah bahwa filosofi warna ungu itu melambangkan keimanan, kesatuan lahir dan batin, serta daya imajinasi, tetap saja warna ungu itu warna mati. Akan lebih baik kalau logonya berwarna putih dengan background lingkaran warna hijau. Kombinasi warna putih-hijau ini sudah identik dengan logo sebelumnya. Jadi, orang-orang sudah familier dengan logo tersebut.
Ketiga, logonya kurang berwibawa. Ini juga yang menurut saya perlu ditinjau lebih dalam. Meski logonya terlihat keren dari sisi grafis dan tampilan visual, kalau digunakan untuk hal-hal yang sakral—apalagi yang berbau agama—rasanya jadi kurang berwibawa. Marwahnya nggak dapat, begitulah kira-kira. Mungkin salah satu penyebabnya adalah hilangnya tulisan arab versi asli dan diganti dengan grafis kaligrafi yang lebih “Indonesia” tadi. Jadi, ketika melihat logo halal versi Kementerian Agama ini rasanya biasa saja, nggak ada muncul perasaan hormat atau segan.
Sebetulnya, fungsi logo dalam kasus ini adalah sebagai penanda. Artinya, logo halal pada kemasan makanan, minuman, atau produk lainnya itu menunjukkan bahwa makanan, minuman, atau produk tadi statusnya halal untuk dikonsumsi. Jadi, mau bagaimana pun bentuk dan tulisan logonya—mau tulisan Arab, Latin, kaligrafi, mau grafisnya kekinian ataupun old school, mau warnanya merah, hijau, atau biru—selama dipahami semua orang bahwa itu adalah logo halal, ya seharusnya nggak jadi masalah.
Tapi yang perlu digarisbawahi, logo itu kan bukan perkara filosofi dan tampilan grafis/visual saja. Logo juga perlu menghadirkan rasa, yaitu rasa kebanggaan, kejelasan, dan kenyamanan. Jangan sampai logo halal yang baru ini malah menimbulkan rasa curiga, permusuhan, bahkan ego untuk kepentingan politik. Hiiih!
Penulis: Andri Saleh
Editor: Intan Ekapratiwi