Logika Pemerintah 4.0: Bikin Aplikasi Banyak, tapi Nggak Terawat

Logika Pemerintah 4.0: Bikin Aplikasi Banyak, tapi Nggak Terawat

Logika Pemerintah 4.0: Bikin Aplikasi Banyak, tapi Nggak Terawat (Pixabay.com)

Aplikasi pemerintah begitu banyak, tapi tak terawat. Nggak dirawat atau nggak tau kalau harus dirawat?

Betapa bersyukurnya kita sebagai rakyat Indonesia. Meskipun terjebak pertumbuhan ekonomi lambat, kasus korupsi meroket, kesenjangan sosial melebar, hukum yang tumpul, kearifan lokal terkikis, dan pandemi yang terus menggila. Tapi dari semua kekacauan yang jelas bukan salah pemerintah, para pemangku jabatan terus bertumbuh menuju peradaban modern dan digital. Dan membawa urusan pemerintah ke setiap gawai masyarakat.

Pada 2010, belum banyak yang bisa dilakukan orang dengan gawainya. Paling banter ya berkomunikasi dan selfie dari atas sambil memanyunkan bibir. Siapa yang menyangka setiap hajat hidup bisa dipenuhi melalui gawai di dekade berikutnya? Dari beli makanan sampai menyerahkan diri pada lintah darat bisa dengan gawai.

Pemerintah pun ikut ambil bagian dalam evolusi peradaban ini. Kini setiap kepentingan yang melibatkan pemerintah mulai bisa diakses dengan gawai. Baik on web atau dengan aplikasi pemerintah. Meskipun, masih ada syarat fotocopy E-KTP menjadi syarat di lapangan.

Dari urusan bansos sampai kematian bisa diselesaikan melalui aplikasi pemerintah. Membayar pajak juga bisa dilakukan dari rumah. Yang terbaru, ada wacana untuk membeli BBM dan minyak goreng dengan aplikasi. Pokoknya semua serba digital. Saya yakin, Budiman Sudjatmiko tengah mabuk euforia merasa opini tentang revolusi 4.0 dan bukit algoritma makin relevan.

Apresiasi tentu kita berikan. Meskipun pelan, tapi masuknya urusan kenegaraan dalam dunia digital makin pasti. Tapi, ada yang terlewat: kualitas produk. Baik saat rilis maupun pemeliharaannya sepanjang waktu

Sering kali aplikasi rilisan pemerintah bermasalah dalam penggunaan. Dari lemot sampai sulit dipahami. Contohnya aplikasi PeduliLindungi yang sempat susah digunakan itu. Terlepas dari edukasi dan pembiasaan masyarakat, kemudahan untuk penggunaan aplikasi pemerintah masih jadi masalah. Mau rakyatnya melek teknologi macam apa pun, kalau upload scan E-KTP saja sering gagal mau gimana?

Alur pembuatan dan pemeliharaan aplikasi pemerintah yang jadi pertanyaan. Apakah aplikasi yang dirilis ini berdasarkan kebutuhan dan karakter masyarakat Indonesia? Atau hanya sekedar pesan ke vendor lalu terima jadi? Dan lebih dari itu, apakah dari pihak pemerintah telah siap untuk menjadikan produk digital sebagai ujung tombak pelayanan ke masyarakat?

Saya sih kadang pesimis perkara kesiapan pemerintah. Toh setiap pendaftaran CPNS, tidak ada lowongan untuk UI/UX, Quality Assurance, Web Developer, dan sejenisnya. Minimal untuk merawat produk digital pemerintah dulu kalau mau develop sendiri masih susah.

Jangan-jangan, kalian nggak tahu kalau aplikasi itu kudu dirawat. Kalau iya, remuk bakule rambak.

Ada gap di sini. Memiliki produk digital di kepemerintahan masih dianggap topping saja. Hanya pemanis yang membuat pelayanan amburadul mereka terlihat indah. Apakah pemerintah telah memandang serius peran dunia digital dalam kepemerintahan? Ini tidak hanya bicara pemerintah pusat, namun juga setiap dinas serta pemerintah daerah. Toh mereka suka merilis aplikasi sendiri-sendiri.

Kalau logikanya masih memandang aplikasi sebagai pemanis saja, ya maklum kalau tidak digarap dengan serius. Kan yang penting punya aplikasi sehingga ada serapan anggaran. Tapi, kalau memandang aplikasi sebagai bentuk pelayanan kepada masyarakat, yo jangan nanggung seperti sekarang.

Padahal untuk urusan pemerintah perlu sebisa mungkin terlepas dari pihak ketiga. Jika tidak punya tim in-house, ya berarti urusan digital semua diserahkan ke vendor. Padahal data yang diurus itu bukan data eceran lho. Kepentingannya juga untuk orang banyak. Masak rela urusan kepemerintahan malah dipegang pihak swasta? Ini bukan sesederhana minta dibuatkan akun media sosial oleh penjaga warnet lho pak, bu!

Padahal waktu terus berjalan, dan akan lebih banyak urusan pemerintah yang memerlukan produk digital. Kalau pemerintah belum melek urusan digital, ya apa bedanya dengan era serba fotocopy yang selama ini terjadi? Apa salahnya merangkul masyarakat yang paham urusan digital ke dalam pemerintahan? Jangan cuma merangkul simpatisan atau influencer yang bisanya main media sosial saja.

Masyarakat tidak perlu aplikasi yang kompleks seperti marketplace. Yang penting stabil dan mudah digunakan. Karena masyarakat lebih butuh kemudahan mengurus berkas daripada seabrek aplikasi pemerintah yang enak dipandang tapi lemot dan tidak stabil.

Penulis: Prabu Yudianto
Editor: Rizky Prasetya

BACA JUGA Beli Pertalite Pakai Aplikasi: Kalau Bisa Dibikin Ribet, Kenapa Tidak?

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Anda penulis Terminal Mojok? Silakan bergabung dengan Forum Mojok di sini.
Exit mobile version