Setiap orang pasti punya lagu pengantar tidur saat masih bocah atau mungkin masih mendengarkannya sampai sekarang. Saya pikir, saya pun begitu. Saya ingat ketika ibu saya bercerita bagaimana saya yang versi balita akan langsung tidur setelah mendengarkan radio. Tak peduli lagu apa yang sedang diputar, entah itu pop, rock, melayu atau dangdut sekalipun, saya pasti akan terlelap selelap-lelapnya. Setidaknya itu yang sering saya dengar selama hampir dua dekade hidup di planet ini. Namun beberapa hari yang lalu, cerita tentang masa kecil saya yang lain akhirnya terungkap, cerita yang ada hubungannya dengan lagu Jamrud berjudul “Kau dan Ibumu”.
Saat itu, kami sekeluarga sedang berkumpul santai di sore hari sambil menonton acara televisi. Saya lupa apa yang sedang kami tonton sampai akhirnya kakak saya nyeletuk perihal masa kecil saya. Ia bilang kalau saya dulu memang gampang tertidur, apalagi jika ada radio. Namun anehnya, katanya, setiap lagu Jamrud berjudul “Kau dan Ibumu” yang ada lirik “jangan nangis”, saya akan langsung terbangun dan mulai menangis. Makanya, setiap lagu itu baru akan diputar, kakak saya buru-buru mengganti saluran radio atau bahkan mencabut colokan kabelnya. Jika telat satu detik saja, siap-siaplah ia menghadapi tangisan saya yang cukup menggelegar waktu itu.
Mendengar hal itu, saya sebenarnya cukup kaget. Saya kaget karena baru tahu cerita itu ada setelah saya bahkan sudah menamatkan pendidikan SMA saya. Duh, ke mana saja saya selama 19 tahun hidup di muka Bumi ini?!
Di sisi lain, saya jadi penasaran lagu seperti apa yang saya dengar waktu itu. Alhasil, bertanyalah saya pada Mbah Google dengan keyword “Jamrud jangan nangis”. Tentu yang muncul bukanlah lagu Jamrud dengan judul “Jangan Nangis’”karena nyatanya tak ada lagu seperti itu. Sebagai gantinya, saya jadi tahu judul asli lagu itu berkat pengertiannya si Mbah.
Lagu yang dimaksud kakak saya itu berjudul “Kau dan Ibumu” yang lahir di tahun yang sama dengan saya, 2002. Mungkin kami bisa disebut kawan sebaya? Atau ia merupakan senior saya? Entahlah. Namun, satu hal yang saya tahu, kami benar-benar tidak akur.
Singkat cerita, isenglah saya memutarnya di Spotify. Pada bagian intro saja saya sudah tahu pasti apa yang membuat saya menangis sewaktu mendengar lagu ini dulu. Bagaimana tidak menangis? Pengantar lagu saja dibuka dengan tangisan dedek bayi. Seperti bayi-bayi yang saya kenal, mereka biasanya memang menangis saat mendengar tangisan bayi lain. Contoh nyatanya ya keponakan saya. Mungkin saya juga dulu adalah tipe bocah seperti keponakan saya itu? Mungkin saja. Bedanya, keponakan saya lebih mirip seperti tangisan mengejek jika mendengar anak tetangga menangis. Tipikal bocah zaman now.
Namun, jika bukan karena intro itu, mungkinkah karena saya sudah membawa tabiat orang Indonesia sejak baru lahir? Kalau kata orang, makin dilarang makin menjadi-jadi. Istilah kerennya, sih, streisand effect. Liriknya saja berbunyi “jangan nangis”. Sebab sudah dilarang, tanpa sadar, berulahlah saya dengan menangis. Saya tidak yakin sih, entah teori saya ini benar atau tidak, tapi itu mungkin saja kan?
Saya jadi teringat pernah membaca salah satu komentar netizen di kanal YouTube yang mengaku selalu memutar lagu ini untuk anaknya setiap malam. Mungkinkah anak itu bernasib sama dengan saya? Atau mungkin ia malah tertidur pulas setelah mendengarkan lagu ini? Yah, bagaimanapun itu, cukup saya yang versi balita saja yang tidak bisa akur dengan lagu ini, bocah lainnya jangan. Jangan, benar-benar jangan. Jangan streisand effect lagi lho, duh!
BACA JUGA Seandainya Lagu ‘Surti Tejo’ Milik Jamrud Tercipta di Masa Kini dan tulisan Ni Komang Ayu Gita Astiti lainnya.