Lika-liku Pemilik Rambut Keriting: Diejek di Kampung Halaman Sendiri, Diapresiasi di Tempat Lain

Lika-liku Pemilik Rambut Keriting: Diejek di Kampung Halaman Sendiri, Diapresiasi di Tempat Lain

Lika-liku Pemilik Rambut Keriting: Diejek di Kampung Halaman Sendiri, Diapresiasi di Tempat Lain (Unsplash.com)

Lahir sebagai perempuan dan memiliki rambut keriting awalnya terasa biasa saja. Seperti kebanyakan perempuan lainnya, saya membiarkan rambut tumbuh panjang agar bisa dikuncir, dikepang, dan dihias dengan pita atau bandana. Apalagi saya lahir di sebuah kota yang mayoritas penduduknya memiliki ciri rambut keriting. Jadi seharusnya hidup dengan rambut jenis ini aman-aman saja buat saya.

Sebelum membaca tulisan ini lebih jauh, izinkan saya memperkenalkan diri. Saya terlahir sebagai seorang Melanesia. Orang-orang dari ras Melanesia ini tersebar di wilayah Papua, Maluku, dan Nusa Tenggara Timur. Salah satu ciri khas Melanesia adalah rambut kami yang ikal hingga keriting. Maka, lahir dan besar di salah satu kota di Flores membuat rambut keriting saya menjadi hal yang biasa di sana. Boleh dibilang, 70 persen orang, entah itu laki-laki atau perempuan, berambut ikal hingga keriting.

Diejek sejak masih duduk di bangku SD

Jika ada yang berpikir bahwa hal biasa nggak akan jadi masalah, anggapan itu salah besar, setidaknya berdasarkan pengalaman saya. Buktinya selama tinggal di kota tersebut, rambut keriting atau kribo adalah bahan ejekan yang sering saya dengar. Ketika duduk di bangku sekolah dasar, saya tak luput dari sasaran ejekan tersebut.

Puncaknya saat saya duduk di bangku SMP, saya sampai nggak berani menunjukkan keaslian rambut saya. Setiap hari saya membasahi rambut, menguncirnya ketat, dan menggelung rambut saya. Sampai-sampai saya dipanggil “si konde keramat” saking seringnya menyembunyikan keaslian rambut saya. Sampai sekarang pun masih ada teman yang seenak jidat memanggil saya dengan sebutan itu. Kesel banget nggak, sih?

Setelah saya renungkan, kok rasanya aneh. Masa iya di kota yang mayoritas warganya berambut keriting justru menjadikan rambut keriting sebagai bahan olokan? Cukup banyak hair shaming yang saya dengar, baik itu yang ditujukan kepada saya maupun orang lain. Aneh memang, di tempat yang seharusnya sebuah identitas dibanggakan, justru identitas tersebut dicemooh banyak orang. Hanya sesekali saya berani menampilkan rambut keriting dengan bangga.

Sulitnya merawat rambut keriting

Sejujurnya, selain jadi bahan olokan, masalah lain yang saya rasakan sebagai pemilik rambut keriting adalah cara merawatnya. Harus saya akui, merawat rambut keriting memang butuh usaha yang besar. Nggak cuma mencari produk perawatan yang tepat, butuh kesabaran juga saat merawatnya. Kalau nggak sabar, sudah saya botakin kepala ini. Sebab kalau salah perawatan, rambut keriting malah terlihat jadi lebih mengerikan dibandingkan sebelumnya.

Banyak perempuan berambut keriting di kampung halaman saya yang pergi ke salon untuk meluruskan rambut mereka. Kami biasa menyebutnya “tarik rambut”. Fungsinya ya untuk menghilangkan rambut ikal dan menggantinya dengan rambut lurus bak perempuan-perempuan yang tampil di TV.

Soal ini, ada kaitannya juga dengan standar kecantikan perempuan Indonesia yang muncul di TV saat itu. Rambut lurus hitam yang mengilap dan kulit putih seputih mutiara adalah standar kecantikan yang paling sering muncul. Beda dengan sekarang ini di mana orang-orang berambut ikal sudah menjadi representasi wajah Indonesia.

Jadi percaya diri begitu memasuki masa kuliah

Setelah beranjak dewasa, saya pun memutuskan pergi dari kampung halaman untuk melanjutkan pendidikan. Saya memilih salah satu kota di Pulau Jawa. Berada di kota yang berbeda, provinsi yang berbeda, dan pulau yang lumayan jauh dari tempat asal, saya justru merasakan perbedaan. Perasaan minder akibat sering dibully karena rambut keriting berubah jadi rasa percaya diri.

Saya justru menjadi “sangat mudah dikenali” karena rambut saya ini. Dan yang lebih menakjubkan adalah banyak orang mengapresiasi rambut yang dulu selalu saya sembunyikan di balik “konde keramat”. Ungkapan “ih, rambut kamu lucu”, “rambut kamu bagus, deh”, hingga “kok rambut kamu bisa sebagus itu, sih?” sukses menjadi dopamine dan booster bagi saya untuk mempertahankan rambut keriting ini.

Selain itu, kemudahan mengakses informasi dan produk khusus rambut keriting sekarang ini juga mendorong saya untuk semangat merawat rambut dan memamerkannya pada dunia. Yah, walaupun sampai sekarang biaya yang harus dikeluarkan untuk merawat rambut saya ini bikin sakit kepala, sih.

Memahami identitas diri dan mencoba menghargainya itu memang bukan perjalanan yang mudah. Maka benar yang dibilang orang, bahwa sesuatu akan dihargai ketika ia berada di lingkungan yang tepat. Kalau nggak dikelilingi orang-orang yang suportif, perjalanan saya mencintai tubuh sendiri adalah perjalanan panjang yang sepi. Semoga saja nggak ada lagi hair shaming untuk semua jenis rambut di dunia ini. Kalau nggak ikutan nyumbang beliin sampo atau conditioner, mending diam seribu bahasa aja nggak sih ketimbang mengolok-olok si empunya rambut?

Penulis: Maria Bernadeth Tukan
Editor: Intan Ekapratiwi

BACA JUGA Begini Perawatan Rambut Keriting dan Rontok yang Benar.

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Exit mobile version