Setelah bermain imbang dengan skor 2-2 melawan Atletico Madrid, Juventus belum pernah kalah. Beberapa kali Juventus menyelesaikan laga dengan “tidak nyaman”. Bahkan kamu bisa bilang kalau mereka hampir kalah. Namun, pada akhirnya lo sipirito Juve berbicara. Berjuang sampai akhir, membuat Juventus sangat sulit dikalahkan.
Well, setidaknya itu di Serie A (karena Juve menang dengan nyaman ketika melawan Bayer Leverkusen). Persoalannya adalah, apakah Si Nyonya Tua bisa mengubah pandangan “klub yang memalukan di Eropa” ketika bermain di Liga Champions. Apakah ada kata “akhirnya” di Mei 2020 mendatang?
Kesuksesan, ada yang bilang, berasal dari keharmonisan. Sebuah klub di Inggris mengamalkan betul betapa keharmonisan itu penting. Maurizio Sarri menunjukkan rasa hangat itu ketika “menerima kembali” Paulo Dybala di dalam skuat.
Semua berawal di musim panas yang lalu. Sebuah keanehan terjadi. Juventus ngotot membeli Romelu Lukaku dari Manchester United. Semakin terasa “aneh” ketika manajemen Si Nyonya Tua siap menyertakan Paulo Dybala dalam kesepakatan. Istilahnya, tukar pemain.
Konon, servis Lukaku dibutuhkan agar ia menjadi kompetitor Cristiano Ronaldo. Alasan yang aneh. Apakah seorang Ronaldo, pesepak bola dengan etos kerja paling tinggi di dunia, pemain dengan determinasi meletup-letup, masih butuh kompetitor untuk mengangkat performa? Ketimbang kompetitor, Ronaldo lebih membutuhkan sistem.
Dybala seperti “pemain buangan”. Seperti pemain medioker yang bisa ditukar pemain lain begitu saja. Namun, Dybala tidak memberontak. Dia menunggu dengan tenang.
Bayangkan kamu berada dalam posisi Dybala. Kegunaan dari keberadaanmu hanya menjadi “alat”. Sebuah benda yang bisa ditukar dengan orang lain. Padahal, kamu tahu kalau dirimu punya potensi yang lebih besar dibandingkan orang lain yang akan menggantikan dirimu. Rasa perih seperti apa yang ditanggung oleh La Joya?
Ketika manajemen urung menukar dirimu dengan orang lain, kamu mendapati kalau Juventus berhasil mendapatkan satu penyerang baru, Gonzalo Higuain, pemain kesayangan Sarri.
Ini kenyataan kedua yang menjadi tamparan paling keras. Sudah dirimu cuma sebatas barang, di dalam skuat, kamu akan menjadi pilihan kedua. Laki-laki mana yang mau menjadi pilihan kedua? Melihat kesayangannya tertawa bahagia dengan laki-laki lain sementara kamu harus bersembunyi hanya demi merawat cintamu ini?
Namun, Dybala bisa melewati itu. Dia menelan semua kenyataan pahit itu. Mengunyahnya dengan sabar. Dia lalu menelan semua penderitaan itu. Di mata saya, inilah cinta paling luhur. Ketika kamu iklas menerima, menikmati rasa sakit, untuk bisa bersetia hingga kesempatan tiba.
Dybala menunjukkan nilai penting bagi Juventus. Dia membuat gol kemenangan ketika melawan AC Milan dan memastikan kemenangan ketika melawan Atalanta. Sarri menyadari betapa Dybala sangat penting bagi skuatnya.
Menjelang laga melawan Atletico Madrid, Sarri berkata: “Higuain adalah striker murni. Ronaldo akan memulai laga dari sisi kiri. Sementara itu, Dybala sendiri juga striker.”
Ada rasa hangat yang terasa ketika Sarri menegaskan kalau Dybala adalah striker. Dia bukan lagi sekadar pelayan bagi para penyerang Juventus. Ada rasa hangat ketika kamu merasa dianggap. Ketika keberadaanmu sama pentingnya seperti orang lain.
Juventus membutuhkan rasa hangat itu. Setidaknya, rasa hangat membuat pemain nyaman di dalam tim. Membuat mereka bisa bermain dengan penuh kebanggaan. Liga Champions masih menjadi liga yang berbahaya. Terutama bagi citra Si Nyonya Tua. Rasa hangat itu, seharusnya, akan berbicara banyak.
BACA JUGA Gareth Bale dan Gerard Pique: Rasa Bosan yang Perlu Diatasi Real Madrid dan Barcelona atau tulisan Yamadipati Seno lainnya. Follow Facebook Yamadipati Seno.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.