Lawson Nggak Layak Disebut Convenience Store, melainkan Hasil Kawin Silang Kafe dan Warkop

Lawson Nggak Layak Disebut Convenience Store, melainkan Hasil Kawin Silang Kafe dan Warkop

Lawson Nggak Layak Disebut Convenience Store, melainkan Hasil Kawin Silang Kafe dan Warkop (Unsplash.com)

Nama Lawson beberapa tahun belakangan viral di kalangan anak kuliahan. Utamanya karena banyak influencer yang nge-review tempat ini worth it banget buat dikunjungi. Kata mereka, layanan plus barang dagangannya unik dan susah dijumpai di tempat lain.

Ketika Lawson pertama kali buka dekat rumah saya di Surabaya, rasanya wajib hukumnya untuk segera silaturahmi dan membuktikan sendiri klaim para influencer. Apalagi ada klaim bahwa Lawson ini ibarat wonderkid yang punya potensi menggeser takhta Indomaret dan Alfamart di masa depan (walaupun sebenarnya lisensi Lawson yang pegang ya Alfa Group).

Banyak keheranan saat berkunjung pertama kali ke Lawson

Pertama kali datang saya langsung dibuat kaget. Ketika melirik etalase jajanan ringan, saya refleks ngebatin, “Hah? Tenanan sak mene regane?”. Setelah melihat sekeliling dengan lebih saksama, ternyata memang banyak barang dagangannya dipatok sedikit diatas harga normal.

Lebih heran lagi ketika sadar kalau hampir semua yang dijual adalah makanan dan minuman. Berbeda dengan convenience store pada umumnya yang menjual berbagai macam barang mulai dari jebakan tikus hingga pembersih kakus. Akhirnya pada perjumpaan pertama tersebut, saya memutuskan membeli odeng-odengan, makanan yang memang menjadi ikon Lawson. 

Rasa penasaran masih menyelimuti akibat kesan pertama yang relatif biasa saja. Setelah beberapa kunjungan rutin, saya baru ngeh ternyata ada fitur tersembunyi yang belum saya optimalkan dari tempat ini.

Baca halaman selanjutnya: Mirip nongkrong di kafe tapi keluar uangnya kayak di warkop…

Mirip kafe, tapi nongkrong di sini bisa diakali sehingga cuma keluar uang kayak di warkop

Lantai atas Lawson biasanya terdapat tempat nongkrong yang luas. Suasananya memang nggak bisa dibilang istimewa, meja dan kursi kayu ditambah hawa dinginnya sudah cukup buat ngobrol-ngobrol sambil makan odeng. Hadirnya Lawson Coffee memberikan kesan kalau tempat ini sebetulnya semi kafe. Interiornya pun sudah mirip kafe-kafe kekinian, bahkan bisa dibilang sedikit lebih baik dengan balutan cat putih. Melawan arus tren kafe bernuansa abu-abu semen atau merah bata yang sudah membosankan. 

Kalau dilihat hanya sebagai tempat nongkrong, Lawson mampu menarik perhatian semua golongan anak kuliahan. Mulai dari kaum anak kosan yang serba pas-pasan, hingga mahasiswa hedon penerima beasiswa KIP. Hal ini tentu karena lawson menawarkan banyak sekali variasi makanan dan minuman.

Kebanyakan harga yang ditawarkan memang bikin jiwa mendang-mending saya meronta-ronta. Tapi nggak perlu khawatir, ada juga opsi lainnya yang bisa kalian ambil kalau mau sedikit jeli mengecek satu per satu produk di etalasenya.

Opsi paling ekstremnya, kalian bisa cuma menghabiskan Rp6.500 untuk bisa nongkrong berjam-jam. Caranya dengan membeli kopi botol kecil, biasanya 200 ml, seharga Rp3.500 dan ice cup seharga Rp3.000. Kalau mau sambil ngemil, ada beberapa opsi jajanan di bawah Rp5.000 yang bisa kalian pilih.

Kapan lagi bisa nongkrong di tempat mirip kafe, tetapi dengan harga warkop? Saya sendiri sudah buktikan trik ini karena kebetulan bulan puasa kemarin, saya nggak pernah bolos mampir ke Lawson setelah salat tarawih hingga larut malam.

Nggak ada WiFi justru bikin Lawson jadi tempat favorit para introvert

Kalau kalian pikir saya ke sana untuk sekadar ngobrol, itu salah besar. Justru sebaliknya, saya ke sana selalu membawa laptop.

Walaupun sudah disediakan tempat yang luas, ternyata tempatnya nggak ramai-ramai amat. Mungkin nggak terlintas di benak banyak orang untuk tinggal berlama-lama di sana akibat nggak terpenuhinya salah satu kebutuhan primer mereka. Yups, Lawson nggak menyediakan WiFi.

Bagi orang introvert akut seperti saya, ini merupakan tempat yang pas untuk bersemedi mencari wangsit. Absennya WiFi justru menguntungkan saya karena mengurangi godaan buka YouTube kala mentok di depan laptop. Apabila mendadak ramai, tinggal pasang headphone saja. Simpel! 

Intinya, saya mengamini review bagus para influencer atas tempat ini. Selain itu, saya rasa hadirnya Lawson mampu membawa angin segar di antara persaingan monoton antara Indomaret dan Alfamart. Apabila pada akhirnya Lawson nggak mampu menjadi yang teratas, setidaknya inovasi saat ini dapat memberikan tekanan kepada para pemuncak klasemen sekarang. Tinggal berharap saja semoga tren baik ini terus berlanjut dan tidak bernasib sama dengan 7-Eleven.

Penulis: Arief Rahman Nur Fadhilah
Editor: Intan Ekapratiwi

BACA JUGA 9 Rekomendasi Menu Hacks Lawson yang Layak Dicoba Minimal Sekali Seumur Hidup.

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Exit mobile version