Lapor-Laporan Itu Budaya Kita Sejak Kecil

lapor

lapor

Tahun-tahun belakangan adalah suatu rentetan masa yang melelahkan. Bukan hanya karena hoaks dan aksi saling merendahkan, melainkan juga lapor-laporan yang membuat persaudaraan kita begitu ringkih. Siapa dari kita—misalnya—yang tak mengingat pelaporan Prabowo karena dianggap melecehkan “tampang” Boyolali atau Kaesang yang dianggap menistakan Islam? Mereka berdua beruntung karena masih bebas hingga sekarang. Tidak seperti Mas Dhani yang harus LDR-an sama Mbak Mulan—jeruji besi menguji kesetian cinta mereka. Uwuwuwu~

Jujur saja, hal ini memuakkan bagi saya—barangkali Anda sekalian juga merasa sama. Saya tidak habis pikir, mengapa banyak orang segampang itu membawa sesuatu ke meja pengadilan? Merasa terhina sedikit lapor, curiga sedikit lapor, gaji sedikit lapor. Lapor kok lhoooosssss~

Pertanyaan itu muncul berulang-ulang dan terus berputar seperti keponakan laki-laki saya yang dengan penuh semangat lari-larian memutar di ruang tamu. Dia memang lagi aktif-aktifnya. Saya memandangi dia, berusaha melupakan pertanyaan dalam kepala. Namun tiba-tiba dia terjatuh dalam posisi telungkup dan seketika tangis pecah. Ibunya—alias kakak ipar saya—bergegas menghampiri.

“Duh, adek.” katanya. Wajahnya khawatir. Dia memeriksa keadaan anaknya—ada benjolan kecil tampak di jidat.

“Cup.. cup.. cup.. nggak apa-apa.” Kakak saya berusaha menenangkan, tapi usahanya gagal. Tangis si anak malah tambah keras.

“Adek jangan nangis. Duh, siapa tadi yang nakal? Lantainya ya?” kata Kakak saya mencoba trik baru. “Ah, lantainya ini salah.”

Pak.. pak… pak… (dia memukul lantai dengan telapak tangan kanan).

“Lantainya sudah Ibu bales. Adek berhenti nangis ya.”

Pelan-pelan keponakan saya diam; tangis perlahan berhenti. Sejenak saya kagum. Kakak saya telah menemukan formula efektif untuk menghentikan tangis anaknya. Tetapi setelah saya pikir-pikir, hal ini malah ironis. Saya menyadari suatu hal—ternyata sejak kecil, kita terbiasa menyelesaikan masalah dengan menyalahkan orang lain.

Dalam kasus ini, kita bisa melihat bahwa bukannya disuruh untuk hati-hati, anak kecil tersebut malah berusaha ditenangkan dengan cara menyalahkan hal lain. Alih-alih dinasihati untuk pelan-pelan saja, sang ibu malah memukul tembok. Tentu kejadian seperti ini tak hanya terjadi pada kakak ipar dan keponakan saya. Saya telah berulang kali melihat meski baru sadar. Saat anak jatuh dari sepeda, yang salah siapa? Aspal! Saat anak jatuh saat bermain bola, yang salah siapa? Jose Mourinho Bola! Saat anak dipatuk ayam karena ganggu terus, yang salah siapa? Jokowi! Kan semua salah Jokowi. hehe~

Kebiasaan ini—jika terus diterapkan pada anak—akan terus berlanjut sampai dewasa. Kita semua sama-sama tahu, anak kecil adalah insan polos yang menyerap apa saja. Besar kemungkinan, pikiran-pikiran atau perspektif yang kita tanamkan sejak kecil akan mengakar dalam diri mereka dan menjadi “pedoman laku” secara tidak sadar.  Anda boleh menganggap saya berlebihan. Namun siapa yang menyangkal bahwa Beethoven ditempa jadi musisi hebat oleh sang ayah saat masih unyu dan Newton yang gila baca sejak kecil?

Celakanya, cara pandang bisa kian kuat seiring dengan bertambah usia seseorang. Beethoven kian musisi-able saat bertambah dewasa. Newton kian jadi maniak baca seiring pertambahan usia. Namun apa yang terjadi dengan seseorang yang dari kecil diajarkan menyalahkan orang lain? Saat masih kecil, dia barangkali hanya membutuhkan orang lain untuk kemudian disalahkan agar merasa tenang. Saat dia sudah cukup besar dan bergaul dengan orang lain, maka dia akan menganggap dirinya benar dan orang lain salah lantas mengadu saat ada sebuah masalah. Barangkali inilah yang kemudian membuat siswa yang dijewer atau dicubit guru melapor kepada orang tuanya. Mereka tidak memiliki kesadaran untuk mengevalusi diri.

Persetan dengan guru. Gara-gara telat dan ngerokok sambil misuh di kelas aja dijewer!” begitulah kata mereka dalam ruang imajiner saya.

Saat sudah dewasa atau tua, orang-orang yang hobi menyalahkan orang lain itu bermetamorfosis seperti mereka—tukang sedikit-sedikit lapor. Bodo amat dengan umur. Persetan dengan asas kekeluargaan. Jadi, sebetulnya budaya nyalahke liyan dan lapor-laporan itu sudah ada dalam—sebagian—diri kita sejak kecil. Tidak usah heran atau kaget.

Karena sudah jadi kebiasaan, lapor-laporan kemudian sangat sulit dihilangkan. Banyak orang bahkan memanfaatkannya untuk menjatuhkan lawan lewat jalur belakang—barangkali karena takut berkompetisi secara sehat.

Kita akhirnya bertanya—akankah budaya ini berakhir? Jawabannya sulit—sebab jawabnya ada di ujung langit. Alias—wallahu a’laam bis showaab~

Exit mobile version