Di sini saya mau jujur bahwa latar belakang saya menulis di sini adalah karena desakan bolo-bolo saya di sebuah grup Telegram menulis. Sebenarnya saya malas berbalas pantun soal buku bajakan, eh, bacot sama (konon) penulis besar itu. Karena saya bukan penulis dan bukan siapa-siapa. Saya hanya hobi nulis. Kebetulan saja saya tahu dia sebelum terkenal kayak sekarang. Gebetan saya waktu itu (yah, ketahuan, deh) berkawan dengan Tere Liye. Kami satu angkatan di kampus yang sama, usia kami 11-12 lah. Tere Liye kenal saya? Jelas lah… Nggak.
Nggak suka sama omongan kasar Tere Liye? Nggak juga. Gini-gini saya pengagum Bu Risma yang kalau marah—katanya—kayak singa itu. Saya cuma menyayangkan saja kalau ngamuk-ngamuknya Tere Liye yang mampu menggetarkan dunia Google Trend Selasa kemarin cuma sebatas mbacot. What’s next? Langkah konkretnya apaan? Sudah dilaporkan ke pihak berwajib? Ternyata nggak gampang, kan? Kalau sebatas ngamuk atau misuh, semua orang mah bisa. Saya juga. Eh.
Ngomong-ngomong tentang langkah konkret, banyak komentar berseliweran di medsos, baik pro maupun kontra. Dari semua komen, ada satu komentar menarik dari seorang pengusaha UMKM makanan siap saji. Blio berpendapat tentang segala kemungkinan jika hukum pelanggaran hak cipta bisa ditegakkan seadil-adilnya (nggak cuma buku, tapi juga MP3, buku diktat kuliah, software, dll.), maka bagaimana nasib pekerja kelas menengah ke bawah dengan gaji di bawah 5 jutaan? Haruskah mereka meratapi nasib dan kembali ke jaman sebelum Renaissance?
Saya nggak mau sok suci bahwa saya bersih dari buku bajakan. Nehi! Tapi, syukurlah habis itu saya tobat dan kembali ke jalan yang benar. Saya menganut prinsip “sak tekane, sak candak e. Uri iku golek opo”—sesampainya, semampunya, hidup itu mau cari apa. Buku-buku berkualitas adalah benda wajib di rumah saya walaupun saya termasuk dalam kategori pekerja yang disebutkan mbak pengusaha tadi.
Berikut ini adalah langkah-langkah yang sudah saya ambil sebagai penghargaan kepada penulis beserta segala penyerta di belakangnya. Ini cuma sharing. Beda orang, beda pilihan. Nggak cocok, yaaa jangan dipakai. Hidup cuma sekali. Nggak usah dibikin pusing.
#1 Pinjam teman
Inilah pentingnya jangan banyakin nyocot sebelum terkenal. Perluas pergaulan. Banyakin kawan bukan lawan. Saya berteman dengan kawan yang tajir, tapi suka buku-buku ori berkualitas. Jadi, kalau butuh pinjam buku bilangnya enak. Sudah misqueen, lambenya malah digedein, nggak dapat buku incaran, malah ujug-ujug viral terus bikin pernyataan minta maaf. Basi.
#2 Beli buku bekas di pasar buku bekas
Saya suka cari buku-buku klasik buat anak-anak seperti karangan Enid Blyton atau Hans Christian Andersen dan dewasa semacam karya Mark Twain, Ernest Hemingway, Bibhutibhusan Banerji, dll. di pasar buku bekas. Walaupun bekas, yang penting masih layak baca. Semakin nggak menarik penampilannya, semakin miring harganya. Yang di Jakarta bisa mampir ke Pasar Kenari (dulunya Kwitang). Sementara kalau di Surabaya saya biasa cari ke Jalan Semarang.
#3 Pergi ke perpustakaan
Jangan bayangin perpustakaan sekarang kayak zaman kita dulu. Suram, berdebu, sarang laba-laba bertebaran di mana-mana, kadang ada si Mickey (beneran) lari ke sana kemari. Sekarang perpus tuh asyik, lho, kayak nge-mal! Koleksi yang lengkap, tempat baca yang nyaman, mau duduk di depan meja bisa, duduk di lesehan boleh, bahkan sambil rileks di sofa empuk juga ada. Kalau lapar tinggal lari ke kantin. Ada ruang multimedia, audio visual, taman bermain anak, bahkan koleksi untuk teman-teman disabilitas. Sayangnya, perpus-perpus yang asyik itu masih ada di kota-kota besar saja seperti di Jakarta, Yogyakarta, Surabaya, dll. Teman-teman yang perpus di kotanya masih gitu-gitu saja semoga nanti pemdanya segera terpanggil dan bisa menyusul, yak!
#4 Nabung, dong
Biasanya saya menyambangi toko-toko buku, baik online maupun offline, supaya tahu buku apa saja yang lagi jadi best seller. Saya bikin list mana buku yang ingin baca dan mampu saya beli. Setiap bulan saya alokasikan dana khusus untuk membeli buku buat saya maupun anak saya. Dana khusus ini sengaja saya alokasikan lantaran harga buku ori yang biasanya bukan lagi puluhan ribu, melainkan hingga ratusan dan jutaan untuk jilid buku berseri. Yang harga terakhir saya nggak saranin, deh. Biar pemerintah saja yang beli, kita tinggal pinjam. Wqwqwq.
#5 Arisan buku
Ini berhubungan dengan buku jutaan tadi. Saya sendiri nggak pernah coba, sih. Saya lebih suka buku satuan dari berbagai genre daripada berjilid-jilid tapi sudah keburu bosan di tengah jalan. Mubazir, deh. Lagi pula ikutan arisan biasa ala ibu-ibu PKK dapatnya juga duit, kan sama saja duitnya bisa dipakai buat beli buku juga. Enak gitu malah, kita jadi bisa beli buku dari berbagai genre.
#6 Kado buku
Saya dan anak saya biasa saling memberi kado ultah atau kado atas pencapaian prestasi berupa buku. Tentunya saya lebih dulu survei soal harga dan isi buku incaran, sehingga saya pastikan anak saya senang menerimanya. Saya pun sering meminta kado buku dari suami. Blio juga melakukan hal yang sama dengan saya: survei harga dan nabung dulu.
Sebenarnya masih ada beberapa langkah konkret mendapatkan ilmu tanpa harus membeli buku bajakan. Misalnya, pergi ke pameran buku akbar seperti BBW. Bukunya ori dan banyak buku-buku import dengan harga miring. Sayangnya, kita nggak tahu kapan pandemi berakhir. Nggak mau kayak kasih harapan kosong, saya kasih yang sudah jelas saja. Daripada kecewa, nanti nyinyir di medsos. Meminjam kalimat pernyataan Mbak Citra Monika, “Kalau Anda nggak tahu apa-apa, jangan komentar!”
Hih! Bisanya cuma pinjam.
Buku saja saya pinjam, kok, masa kalimat nggak?
BACA JUGA Hal-hal yang Perlu Kita Lakukan jika Telanjur Beli Buku Bajakan dan tulisan Rina Purwaningsih lainnya.