Tidak ada yang lebih menyedihkan dari perpisahan. Terlebih lagi sebuah perpisahan setelah belasan, bahkan puluhan tahun bersama. Tidak ada yang mampu mengobati luka perpisahan, kecuali dengan mengingat dan mempersembahkan memori-memori indah bersama dahulu. Itu pun sebenarnya tidak mengobati perpisahan, hanya menutup sebagian luka yang terpaksa menganga. Hanya bersatu kembali, satu-satunya yang mampu mengobati luka perpisahan.
Adalah Diskoria, Ardhito Pramono, dan Isyana Sarasvati yang mencoba menutup sebagian luka itu. Melalui lagu berjudul “Yth: NAIF”, mereka (mewakili semua penggemar Naif) berusaha mempersembahkan sebuah ucapan terima kasih, rasa hormat, tribute, untuk band yang mempengaruhi pengalaman musikal mereka dan menemani masa kecil, muda, hingga dewasa mereka. Seperti judulnya, lagu ini dipersembahkan kepada band Naif yang beberapa bulan lalu memutuskan untuk bubar.
Naif, seperti kita tahu bertahan di dunia musik Indonesia selama lebih dari dua puluh tahun. Naif konsisten dengan musik pop-retro ala 70-an yang tidak pernah membosankan. Sejak pertama kali album berjudul Naif dirilis hingga yang terakhir 7 BIdadari, ia memang nyaris selalu hadir menghiasi panggung-panggung musik. Mulai dari pensi anak sekolah hingga menjadi penampil utama dalam sebuah festival musik berskala nasional.
Menonton Naif manggung adalah menonton kebahagiaan. Empat personel dengan pesonanya masing-masing, menampilkan sebuah pertunjukan yang hangat, sesekali semangat, dan paripurna tentu saja. David dengan pesona flamboyan dan guyonannya yang mengembirakan, Jarwo dengan permainan gitar yang ciamik, Emil dengan wajah adem dan permainan bass yang enak sekali, serta Pepeng yang selalu tampil tenang di balik drum, adalah perpaduan paripurna dari band yang terbentuk di Institut Kesenian Jakarta (IKJ) ini.
Memori tentang Naif membawa saya mundur ke 2016, tahun di mana saya untuk pertama kali menonton Naif secara langsung. Ya, saya memang pendengar mereka, tapi saya baru mendapat kesempatan menonton mereka pada 2016. Telat, memang, tapi tidak apa-apa. Tepatnya di sebuah acara bernama KickFest, di mana Naif menjadi penampil utamanya. Bermodal tiket masuk seharga Rp35 ribu, saya sudah bisa menikmati aksi panggung mereka dari dekat, cukup dekat bahkan.
Malam itu, Pepeng, Emil, dan Jarwo masuk, lalu memainkan musik secara instrumental. Tidak lama berselang, David dengan gaya rambutnya yang masih klimis mirip Elvis Presley masuk diiringi dengan musik dan teriakan dari penonton. Seperti biasa, lagu “Piknik ‘72” yang legendaris itu dimainkan di awal. Semuanya bernyanyi, termasuk saya dan pasangan bapak-ibu di depan saya. “Jikalau”, “Posesif” juga tidak luput dimainkan.
Selanjutnya, seperti panggung-panggung Naif yang lain, David dkk membiarkan penonton menentukan setlist, lagu-lagu apa yang ingin Naif mainkan. Tentu saja lagu-lagu yang diminta adalah lagu-lagu yang tenar, dan malam itu mereka menutup pertunjukan dengan lagu “Mobil Balap”, yang seakan jadi klimaks yang sempurna. Sungguh sebuah pengalaman yang tidak akan pernah terlupakan.
Saya, pasangan bapak-ibu tadi, hingga DIskoria bersama Ardhito dan Isyana, mungkin hanya segelintir orang dari sekian banyak orang yang terinspirasi dari mereka. Saya dan pasangan bapak-ibu tadi mungkin hanya sebatas pendengar Naif. Di luar sana, mungkin ada yang menjadikan lagu “Piknik ‘72”, “Karena Kamu Cuma Satu”, atau lagu “Berubah” menjadi simbol kisah cinta mereka.
Terutama bagi Merdi dan Aat dari Diskoria, Ardhito, maupun Isyana, Naif jelas lebih dari itu. Selain sebagai inspirasi, ia mungkin adalah mentor, bahkan panutan bagi mereka. Tidak heran jika lagu “Yth: NAIF” menjadi sangat emosional dan mendalam, terlebih menyadari bahwa Naif sudah bubar (meskipun secara status masih menyisakan Jarwo seorang).
Sebagaimana layaknya sebuah persembahan, penghormatan, dan ucapan terima kasih, lagu “Yth NAIF” ini memang penuh berisi tentang Naif. Tanggal rilisnya saja 22 Oktober, tanggal di mana band ini terbentuk. Selain itu, lagu ini juga menceritakan tentang bagaimana rasa terima kasih mereka terhadap Naif, tergambar dalam lirik awal, “Kepada, yang kuhormati di sana. Ku sampaikan salam ini, untuk mewakilkan rasa terima kasihku.”
Secara jelas, Diskoria juga menyebut karya-karya yang berkaitan dengan Naif di lirik lagunya. “Hingar bingar retropolis. Oh, mesin waktu menembus masa lalu” adalah buktinya. Retropolis merujuk pada album kelima Naif yang dirilis pada 2005. Sedangkan Mesin Waktu, merupakan album kompilasi tribute untuk Naif (lagu-lagu Naif dinyanyikan oleh musisi-musisi lain) dalam rangka 11 tahun kiprah mereka di dunia. Intinya, semua tentang Naif, ucapan terima kasih, hormat, ada dan tersampaikan di lagu ini.
Lagu ini juga ditutup dengan lirik, “David, Pepeng, Emil, dan Jarwo bermain bersama di dalam satu band. Mereka bermain bersama sampai kapan saja di dalam satu band. Mereka bermain bersama sampai nanti tua di dalam satu band. Tahukan kamu nama bandnya?” Lirik ini seakan jadi pernyataan nyata bahwa Naif memang tidak boleh bubar dan berpisah. Naif harus ada selamanya.
Semua yang beririsan dengan Naif juga terlibat dalam proyek lagu ini (beserta video klipnya). Ada Adjis Doaibu dan Gilang Gombloh, perwakilan dari KawaNAIF yang terlibat. Ricky Virgana dari White Shoes and The Couples Company juga terlibat dalam penulisan lagu. Oomleo (Goodnight Electric) juga terlibat dalam pembuatan video klip. Pokoknya, semua yang pernah beririsan dengan Naif dilibatkan dalam proyek lagu beserta video klip “Yth: NAIF” ini.
Pada akhirnya, lagu “Yth: NAIF” yang dibawakan oleh Diskoria bersama dengan Ardhito dan Isyana berhasil menjadi corong atas ucapan terima kasih, hormat, serta kerinduan akan Naif. Saya, pasangan bapak-ibu tadi, dan mungkin jutaan penggemar Naif di luar sana pasti sedih mendengar kabar NAIF bubar. Namun, ketika mendengar lagu “Yth: NAIF”, kesedihan itu sedikit terobati, sembari sesekali berharap David, Emil, dan Pepeng berkumpul lagi dengan Jarwo di bawah bendera Naif.
Sumber Gambar: Unsplash