Liga bola basket Amerika Serikat (NBA) adalah salah satu kompetisi yang berjalan kembali di masa pandemi Covid-19. Tentu hal itu menyenangkan, mengingat NBA adalah kompetisi olahraga yang termasuk banyak ditonton oleh masyarakat dunia. Semua tim menjalani kompetisi di satu “bubble” di Walt DIsney Florida sampai pada fase playoff.
Namun pada tanggal 27 Agustus, kompetisi kembali ditunda setelah beberapa tim memboikot pertandingan sebagai bentuk protes terhadap penembakan warga kulit hitam yang terjadi lagi di Amerika Serikat. Di media sosial telah beredar video penembakan polisi kepada Jacob Blake tujuh kali, warga kulit hitam di Kenosha Wisconsin. Hal ini kembali membakar amarah warga Amerika yang sudah agak mereda setelah gelombang Black Lives Matter (BLM) beberapa waktu lalu.
Para pemain NBA dan beberapa pemain dari olahraga lainnya di Amerika pun ikut melakukan protes atas ketidakadilan tersebut. Gerakan BLM awalnya dipicu oleh polisi yang membunuh George Floyd saat menahannya. Kini setelah ada kasus penembakan warga kulit hitam terjadi lagi tampaknya akan ada gelombang yang lebih besar.
Pada awal dimulainya kembali kompetisi NBA, Kyrie Irving adalah salah satu pemain yang vokal menolak melanjutkan kompetisi tersebut. Ia menolak ikut bermain di “bubble” karena menganggap dimulainya kembali kompetisi NBA dapat mengalihkan fokus gerakan BLM. Saat itu banyak orang yang menertawakan pemain Brooklyn Nets tersebut, termasuk saya.
Banyak yang menganggap sikap Kyrie Irving itu berlebihan. Sebagian besar pemain menganggap justru dengan bermain kembali akan memperbesar kampanye BLM. Karena pesan-pesan tentang BLM bisa disampaikan melalui atribut-atribut dan seremonial yang disiarkan langsung ketika kompetisi berlangsung.
Hal itu memang sudah dilakukan oleh banyak atlit. Tidak hanya pemain bola basket di NBA saja, tetapi hampir setiap cabang olahraga yang memainkan kembali kompetisinya menyampaikan pesan tersebut. Tidak hanya di Amerika Serikat tetapi juga di seluruh dunia. Kemarin kita bisa melihat klub-klub sepakbola di Eropa mengganti nama punggung dengan BLM. Para pemain melakukan pose paling iconik dalam BLM yakni berlutut sambil mengepalkan tangan di udara.
Rasanya saya harus meminta maaf kepada Kyrie Irving. Segala hal yang telah dilakukan dalam BLM tidak mengubah kebrutalan polisi di sana. Mungkin ia memang benar, bahwa harus ada goal yang dituju dalam menegakkan keadilan. Selama tujuan tersebut belum tercapai baiknya fokus pada pencapaian tujuan tersebut.
Jika kita mau menilik lebih awal, ada pemain American Football bernama Colin Kaepernick yang lebih dulu melakukan protes serupa sebelum ada gelombang BLM. Di tahun 2016 Kaepernick berlutut saat lagu kebangsaan Amerika Serikat dikumandangkan dalam pre-season NFL (Liga American Football). Lantas ia dikeluarkan oleh timnya dan setelah itu tidak ada satu tim pun yang mau mengontraknya untuk bermain lagi. Saat itu Ia dianggap telah menghina simbol kebesaran Amerika.
Apa yang dilakukan Kaepernick nyatanya menginspirasi gerakan BLM saat ini, terutama dengan pose ikoniknya tersebut. Meskipun pose tersebut juga bisa dianggap bias karena polisi yang membunuh George Flyoid juga menggunakan pose tersebut ketika membunuhnya. Apapun itu, dalam sebuah gerakan selalu ada simbol yang dgunakan untuk mempertegas tujuan gerakan tersebut.
Para pesohor di Amerika sangat berani menyuarakan perlawanan terhadap ketidakadilan. Walaupun mereka juga tahu resiko besar yang akan dihadapi. Kaepernick adalah contoh ekstrim yang sanggup menerima risiko tersebut. Bahkan sampai saat ini ia belum bermain. Kasus lainnya adalah NBA sempat diancam untuk diputus kerjasama bisnis dengan Cina sewaktu ada pemain NBA yang menyuarakan kemerdekaan Hongkong.
Namun di sana masih ada brand yang mendukung atlit untuk menyuarakan protesnya. Kaepernick menjadi ambasador Nike dengan slogan terkenalnya “Believe in something even if it means sacrificng everything.” Brand ini juga mendukung kampanye atlit perempuan untuk mendapatkan gaji yang sama dengan atlit pria dengan mengendorse mereka.
Tidak semua brand bisa melakukan dukungan terhadap atlit yang melakukan perlawanan. Seperti Adidas yang tidak memperpanjang kontrak pesepakbola Arsenal, Mesut Ozil. Karena ia menyuarakan perlawanan atas penindasan muslim Uyghur di Cina.
Bagaimana di negara kita? Banyak cabang olahraga yang organisasinya dikuasai oleh militer dan politisi. Selain itu, banyak pesohor yang menjadi mitra pemerintah dalam membela program-programnya. Bahkan mereka diduga mendapatkan dana yang cukup menggiurkan ketika menjadi buzzer ataupun influencer. Akibatnya jika ada ketidakadilan, orang biasa akan sangat kesulitan memperjuangkan haknya.
BACA JUGA Menanggapi Tulisan Kita Semua Suka Pelajaran Olahraga: Maaf Mas, Saya Nggak Suka atau tulisan Sanna Sanata lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.