Sebagai orang Kutoarjo (kecamatan) dan Purworejo (kabupaten) saya suka sedih kalau merantau dan ditanyai asal. Pasalnya, nggak banyak orang yang tahu Kutoarjo itu makanan apa. Woy, itu nama kota bukan makanan. Saya ulangi, nggak banyak orang yang tahu Kutoarjo itu nama kota di planet mana.
Kalau saya merantaunya cuma ke Jogja, Kebumen, atau daerah lain yang cukup dekat, mungkin masih banyak yang tahu kalau di dunia ini ada kota kecamatan bernama Kutoarjo. Tapi kalau saya merantau agak jauhan dikit, ke Solo misalnya, biasanya sudah banyak orang yang merasa asing dengan kampung halaman saya tersebut.
Selama tinggal di Solo, saya kerap mengalami percakapan aneh seperti ini:
Orang lain: “Dari mana, Mas?”
Saya: “Kutoarjo.”
Orang lain: “Oh, Sukoharjo? Sukoharjonya mana?”
Bajigur! Kalau sudah begitu biasanya saya langsung mutung dan malas menjawab pertanyaan selanjutnya. Tak jarang saya ingin misuh dan ngegas, “KUTOARJO, COOOK! KUPINGMU DIPASANG SEK MULAKNO!” Tapi gimana ya, takutnya kalau saya begitu malah merusak image saya sebagai cah yang sopan dan santuy.
Percakapan yang nggak hanya terjadi sekali itu kadang membuat saya heran. Memangnya seberapa aneh dan asingnya nama Kutoarjo di telinga masyarakat Jawa sampai-sampai orang mendengarnya jadi Sukoharjo. Memangnya sebegitu nggak terkenalnya kota kelahiran saya itu? Seolah-olah saya lahir di daerah antah berantah.
Memang “agak lain”
Terlepas dari cerita di atas, di mata saya sendiri Kutoarjo memang agak nyentrik dan aneh daripada kota lainnya. Semacam anomali gitu. Di ranah bahasa misalnya, sangat terasa bahwa kota kecamatan satu ini menghadapi sebuah krisis identitas. Jadi gini, bahasa Jawa di Kutoarjo itu aneh, nggak jelas ke mana arahnya. Jawa ngapak bukan, Jawa Jogja juga bukan, apalagi bahasa Jawa seperti Jawa Timur, jelas bukan.
Saya merasa bahasa Jawa di sini lebih ke arah hybrid antara bahasa Jawa ngapak dan bahasa Jawa yang biasa dipakai di Jogja. Tapi ya sebenarnya nggak bisa disebut begitu juga sih mengingat ada beberapa kosakata yang cukup khas di sini. Biasanya kalau ngajak teman dari daerah lain yang masih sama-sama Jawa pun harus ada semacam penyesuaian di telinga mereka dulu untuk mencerna bahasa Jawa khas Kutoarjo.
Misalnya kata “kamu”. Di daerah lah, “kamu” bisa diartikan “kowe”, “kowen”, “kon”, atau “rika”. Nah, kalau di Kutorajo, “kamu” menggunakan “sira” atau “siro”. “Riko” juga kadang dipakai kalau bicara santai dengan orang yang lebih tua.
Contoh lainnya adalah kata “akan” atau “mau”. Di daerah lain biasanya menggunakan “arep”, “meh”, atau “ameh”, sementara bahasa Jawa ngapaknya menggunakan “pan”. Nah, di Kutoarjo beda, kami menggunakan “pang” atau “apang”.
Jadi, kalau dibuat kalimat, alih-alih mengatakan “Kowe meh ning ndi?” yang terasa normal banget, orang Kutoarjo biasanya mengatakan, “Siro pang mareng ngende?” Kata “ngende” ini biasa diucapkan dengan akhiran “e” yang kalau di daerah lain kebanyakan pakai “i”, “ngendi”.
Baca halaman selanjutnya