Kita sudah tak lagi dapat menunggu kisah-kisah Game of Thrones yang mendebarkan, beberapa orang memang tidak ikhlas dengan penghujung kisah serial ini. Tapi ada cara agar kita tidak larut-larut sedih—insyaAllah manjur—yaitu mengingat teks Arab yang sering dilantungkan oleh Gus Dur saat di dunia. Tak usah saya sebutkan teks arabnya karena itu sudah umum diketahui, arti mudahnya begini:
“Saat lahir di bumi kau menangis wahai Bani Adam dan orang disekitarmu riang gembira. Dan saat kau meninggalkan bumi orang disekitarmu menangis, sedangkan kau bahagia wahai Bani Adam.”
Gambaran yang ringan dan bisa kita jadikan obat penenang bahwa kita sudah harus sampai di penghujung kisah GoT: Dany si Ibu naga mati karena dikuasai cinta dan hasrat kuasa; Arya tetap ingin bertualang; Sansa sudah jadi pemimpin dan Utara pun merdeka, Brandon sebagai pemegang ingatan masa lalu menjadi pemimpin Six Kingdom gara-gara retorika manis si Cebol.
Jika ditanya episode terakhir dalam final season yang paling membekas bagiku adalah saat naga menghanguskan kursi Iron Throne dan sebelum itu Dracarys membangunkan Ibunya yang terkulai, ia marah dan semua terbakar kecuali Jon Snow.
Membiarkan sesuatu yang hilang itu susah-susah gampang, karena kenapa harus setiap kisah berakhir? Sedangkan untuk menatap masa depan selalu asing wajahnya, dan jika diingat-ingat kembali dari waktu yang sudah-sudah, kita sudah mengikhlaskan kisah itu tiba dalam hidup kita tapi mengapa kita mempersulitnya untuk pergi.
Atau memang begitulah manusia, merasa berat ditinggal. Namun tidak semua begitu, seperti kisah yang saya alami bersama teman-teman kampus saat bertemu dengan salah satu langganan kami untuk urusan angkut-angkut, jadi dia punya mobil bak terbuka gitu. Namanya Pak Nonoh, urusan jasa angkut dia sangat murah banget sampai setengah harga dari hitungan umum. Tepatnya pas kami bertanya kenapa sudah tidak menerima jasa angkut lagi, ia menjawab:
“Sudah tak jual mas,” ucapnya lirih.
“Kami kesulitan cari orang kayak Bapak,” sambar temanku.
“Gimana lagi mas, orang tua tinggal satu-satunya sedang di rumah sakit, sedangkan barang macam mobil itu bisa beli lagi!” jawabnya tegas sembari menoleh kepada wajah kami yang berdiri di belakangnya.
Kami berdua terdiam, ingin berkaca-kaca tapi tidak jadi. Karena mungkin ruang yang sedang kita tempati tidak mendukung suasana mewek gitu, apalagi pinggir jalan tempat ia buka tambal ban. Hari ini orangtuanya sudah mendiang dan mobilnya juga musnah.
Semua akan mati dan kita sudah lama dipermainkan dalam alur kisah panjang Game of Thrones, dari Brandon yang di dorong di atas menara sampai menjadi pimpinan King’s Landing, dan kematian-kematian yang tidak kita inginkan berdatangan dari balik hujan salju atau abu.
Maka dari itu, karena kita punya bekal untuk lupa, berarti kita bisa mengulangnya kembali dari kisah paling purba. Bayangkan daya ingat itu menguasai hidup ini dan kita hanya menunggu tanpa perlu mengulang, mengoreksi, hingga akumulasinya menjadi produksi pengetahuan yang segar.
Sepertinya yang sekarang kita bisa lakukan adalah menginterpretasikan kisah GoT, kemudian mencoba melihat realitas hari ini, dan kisah-kisah akan mengendap dalam benak kita sebelum ia muncul menjadi tafsir kita masing-masing: Andai saja kalau calon-calon presiden atau pimpinan Indonesia itu punya naga, maka pusat kota macam Jakarta akan luluh lantak, polusi akan berganti abu, dan semua memutih bagai bulan.
Pilihan satu-satunya pindah Ibu Kota agar semua tetap berjalan stabil sambil membenahi puing-puing yang terbakar, mayat-mayat yang berserakan, dan kemudian merumuskan kembali relasi antar elit. Semua bisa dibenahi selagi memang masih mengedapankan sisi kemanusiaan dan keutuhan bangsa negara.
Memang tidak mudah dan perlu kita sadari proses panjang akan ditempuh serupa apapun bentuk jalan yang telah dipilih. Seumpama tidak begitu, apakah masih perlu kita baku hantam sampai tuntas habis. Orang dewasa, anak kecil, hingga ibu-ibu dan muda-mudi harus dibabat habis lalu kehidupan kembali dari awal seperti SPBU—dimulai dari nol.
Senada dengan ending GoT yang memang harus tuntas dan semua penonton dapat porsi masing-masing. Yang benci dengan Cersei sudah puas bahwa dia mati di pelukan saudaranya; Jon Snow harus membunuh bibinya sendiri untuk kelanjutan hidup yang damai; Arya Stark tidak butuh pengakuan berlebihan setelah membunuh pimpinan White Walker, dan si kecil Tryion Leninster berakhir menjadi tangan kanan raja lagi.
Namun jika memang kita bebas memilih ending, kenapa tidak episode The Long Night saja yang menjadi akhir dari kisah GoT, saat menang melawan mayat hidup dan Arya membunuhnya dengan yoi banget. Jadi sudah jelas aja rasanya bila mayat hidup saja kalah apalagi melawan manusia yang lemah.
Namun akhir kisah GoT menurut saya dipilih sebagai bahan ujian untuk sisi kemanusiaan, singkat kata perlukah kita membasmi manusia dengan kekuatan naga atas nama kehidupan damai dan kedaulatan rakyat?