Kurang Lebih, Beginilah Hidup Menjadi Seorang Kribo

Kurang Lebih, Beginilah Hidup Menjadi Seorang Kribo

Rambut adalah mahkota setiap manusia. Setidaknya, itulah yang dikatakan oleh kebanyakan orang. Tapi apa jadinya jika ada orang yang merasa minder dengan mahkotanya itu?

Minder. Hanya itu yang dapat menggambarkan keadaan saya sewaktu kecil dengan rambut saya yang kribo. Sebetulnya, rambut saya tidak cocok jika merunut pada definisi kribo itu sendiri. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kribo memiliki makna kriting sekali dan kaku.

Nah, rambut saya mewarisi gen ayah yang memiliki rambut kribo dan gen ibu yang memiliki tekstur rambut agak halus. Sehingga, bersatulah gen tersebut menjadi rambut kribo yang tidak kaku-kaku amat. Tuh kan, rambut saya saja sudah melenceng dari arti kribo itu sendiri, bagaimana tidak minder?

Bangku sekolah dasar adalah puncak dari fase keminderan saya. Memiliki rambut minoritas pada masa itu merupakan sasaran paling nikmat untuk diejek. Masih ingat dengan ejekannya? Keriting kribo, keriting bau kebo, katanya. Sekarang, jika dipikir-pikir, ejekan tersebut aneh loh. Apa urusannya rambut keriting bau kebo? Bau kebo kayak apa? Dasar bocah.

Beda orangnya, berbeda pula perlakuannya. Itulah yang saya rasakan ketika bertemu teman-teman ayah maupun ibu. Sebab, jika bertemu mereka, pasti yang terlontar adalah kemiripan saya dengan ayah. Perkataan, “Ih, ya ampun mirip banget sama ayahnya.”, “Kok, kayak hasil foto copy ayahnya, ya?”, dan sebagainya sudah khatam saya dengar. Saya sih hanya bergumam, “Lah iyo, wong anake.”

Meninggalkan bangku sekolah dasar, rasa keminderan saya perlahan mulai berkurang. Mengapa demikian? Karena teman-teman saya di SMP, belum tahu tentang rambut minoritas saya. Saya jarang membuat rambut ini mekar saat itu. Alasannya–tidak lain dan tidak bukan–adalah razia rambut.

Biar saya jelaskan, betapa menjengkelkannya razia rambut dari sudut pandang seorang kribo. Untuk njenengan semua yang memiliki rambut mayoritas, tarif batas atasnya adalah telinga dan kerah seragam. Sedangkan, untuk kami yang minoritas, tarif batas atasnya tidak jelas. Dengan kata lain, hoki-hokian.

Bagaimana tidak? Rambut yang kami anggap belum panjang terkadang dianggap telah menyalahi aturan. Sekadar informasi, rambut kribo itu mengikal ke atas sehingga agak sulit untuk menggapai telinga dan kerah seragam. Namun, karena mengikal keatas, rambut kami tumbuh setinggi harapan dan cita-cita. Inilah yang menjadi argumen mereka untuk melakukan tebang pilih secara acak.

Melanjutkan tradisi di SMP, razia rambut makin menancapkan tajinya di SMA guna meredam gejolak kawula muda yang sedang mencapai titik kulminasinya. Tetapi, mahkota ini justru saya mekarkan sedikit demi sedikit. Hasil terbaiknya adalah saat selesai libur Idul Fitri kelas dua. Dengan begitu, razia rambut menjadi ancaman kembali.

Benar saja, rambut ini langsung tertangkap radar kepala sekolah. Untungnya kala itu, beliau sedang tidak melaksanakan prosesi tebang pilih. Tetapi lucunya, beliau malah menyuruh saya untuk mengambil surat dispensasi. Untuk apa? Untuk mempersilakan saya pergi ke tukang cukur! Gila, pikir saya saat itu.

Mau ditaruh di mana harga diri si kribo ini jika mengambil tawaran itu? Saya pun menolaknya dan berjanji untuk memotong rambut sepulang sekolah. Apakah hal tersebut benar saya lakukan? Tentu saja. Masa sudah sampai disuruh kepala sekolah masih tidak saya lakukan?

Sebenarnya, bukan itu saja cerita lucu yang terjadi pada rambut kribo ini. Memasuki masa kuliah, hasrat memekarkan rambut ini pun kembali bergelora. Itu berarti, persentase kemungkinan terjadinya cerita lucu turut membesar.

Memasuki tahun kedua kuliah, raga ini sudah tidak dapat membendung hasrat memekarkan mahkota kebanggaan. Salah satu cerita lucu soal rambut ini ialah raga saya pernah menjelma menjadi beberapa tokoh. Dengan rambut kribo seperti ini, tokoh terkenal siapa saja yang dapat kalian sebutkan? Ahmad Albar? Giring Ganesha? Jimi Hendrix? Marouane Fellaini? Sudah tersemat pada saya. Coba berpikir lebih kreatif untuk menyematkan nama lain pada saya.

Setidaknya ada dua nama yang baru saya dengar pada saat kuliah ini. Pertama, ada Chadwick Boseman, si pemeran superhero Black Panther dan Kobe Bryant, si pemain basket untuk tim Los Angeles Lakers. Tenang, kalian tidak salah baca kok. Kata mereka sih mirip, tetapi dari mananya, ya? Wallahu a’lam.

Cerita lucu lain adalah aktivitas keseharian saya. Terkadang, aktivitas keseharian saya–tanpa terduga–terselip pengalaman lucu. Ambil contoh, menyampo rambut. Dengan rambut semekar ini, saya sebetulnya malas untuk menggunakan sampo, tetapi karena tuntutan kebersihan rambut ya mau bagaimana lagi?

Kalau sudah telat menyampo, rambut ini bakal memberikan sinyal dalam bentuk rasa gatal. Sedikit sulit bagi saya untuk menjelaskan rasa gatal yang melanda. Namun, untuk meraih titik gatal, kita harus melewati lebatnya hutan belantara. Banyak pepohonan, sulur, dahan, dan ranting yang harus kita lalui untuk mencapai titik gatalnya. Pokoknya begitulah.

Ketika beribadah, rambut ini juga terkadang menjadi masalah. Kebetulan, saya beragama Islam, by default oleh orang tua. Sehingga, ibadahnya ya salat. Hal menjengkelkannya adalah ketika bersujud. Kenapa? Karena orang di saf depan bisa saja menginjak mahkota ini. Tidak ada kata yang lebih tepat untuk menjelaskan rasanya selain kata bangsat. Sakit, Lur, kalau tercabut.

Terakhir, mahkota yang telah mekar sempurna ini juga menghalangi orang. Salah satunya ialah ketika menonton film di bioskop. Meskipun tempat duduknya telah dirancang sedemikian rupa, tetapi rambut ini tetap menghalangi. Menurut teman saya yang menjadi korban, mahkota kebanggaan saya ini menghalangi subtitle filmnya. Hahaha, rasakan!

Terlepas dari itu semua, saya bangga dengan mahkota saya. Biar pun orang berkata rambut saya bau kebo kek, mirip siapa kek, atau mengganggu pandangan mereka sekalipun tidak menyurutkan kebanggaan akan mahkota ini.

Setiap manusia telah memiliki mahkotanya masing-masing dan telah menjadi raja atas mahkota tersebut. Jadi, jika ada orang yang menyinggung perasaan raja tentang mahkotanya, bukankah sah-sah saja raja tersebut marah dan menyalurkannya lewat tulisan? Siapa tahu bisa dimuat. Hehehe.

BACA JUGA Gaya Rambut Adalah Hak Setiap Kepala Manusia atau tulisan Arsyi Aldrin lainnya.

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Exit mobile version