Sore hari kala itu di Jalan Olahraga tampak muram. Hanya dedaunan dari Lembah yang berjatuhan, para mahasiswa yang berlalu-lalang hendak pulang, juga beberapa hal yang tak bakal diluputkan oleh pengelihatan karena saking sepinya. Namun, indra pendengaran menolak dengan apa yang dipaparkan oleh pengelihatan. Sayup-sayup terdengar deru bass drum, sorak-sorai, yang sama sekali “tidak merepresentasikan” sebuah kampus ambisius dengan mahasiswa yang bermuram durja di sebuah perpus.
Stadion Pancasila sore itu menghidangkan kemewahan untuk siapapun yang melihatnya. Juga menghadirkan kerugian bagi siapapun yang luput atau masih saja berkelumit dengan kerja lapangan yang diberikan oleh “dosen-dosen malang” mereka. Bagaimana tidak malang? Sore hari kala itu adalah waktu yang tepat untuk mengibarkan umbul-umbul kebanggaan masing-masing fakultas, merentangkan banner-banner provokasi dengan guyonan terselip di baliknya. Adalah tugas mulia menabuh genderang perang melalui bass drum yang memekakan telinga, tapi menghadirkan sorak setelahnya.
Adalah Porsenigama, akronim dari Pekan Olahraga dan Seni Universitas Gadjah Mada yang menyajikan itu semua. Sebuah ajang tahunan yang amat dinanti oleh seluruh civitas akademika Gadjah Mada. Pun, paling dinanti dan paling dicari adalah sisi yang melambangkan sebagaimana khusyuknya kita dalam memandang fakultas. Hematnya, Porsenigama adalah “rapat akbar” dalam bentuk olahraga dan seni tiap fakultas. Atlet yang tergabung dan membela adalah ujung tombak, sedangkan mahasiswa lainnya bisa ambil bagian sebagai loyalitas garis terdepan. Ya, kira-kira seperti itulah Porsenigama dalam kacamata pecintanya.
Pengamat kultur suporter di Porsenigama, Antonius Harya Febru W., mengatakan bahwa konsepsi di otaknya perihal UGM awalnya adalah hal-hal spaneng, kejeniusan, dan menjemukkan. Dirinya yang lebih menyukai pergi ke stadion ketimbang perpustakaan ini tak menyangka bahwa UGM memiliki wajah dan gairah lain melalui Porsenigama. Ia melanjutkan, “Dari Porsenigama, muncul kultur suporter yang melenggang tanpa perlu direstui, tanpa tedeng aling-aling menjadi nama besar dan kebanggaan tersendiri untuk tiap korsa fakultas. Menjadi sebuah ciri yang melekat, sebagaimana kepribadian pukul rata para penghuninya.”
Antonius sudah empat tahun mengamati laju gerak kultur suporter kala Porsenigama tiba. Baginya, Porsenigama dan suporter tiap fakultas adalah kesatuan yang tidak bisa dipisahkan. Ia menuturkan, “Porsenigama menjadi seakan sakral itu karena menentukan fakultas mana yang terbaik. tapi, terkadang tidak adil juga menengok pemain dari Sekolah Vokasi kebanyakan adalah PBUB, semi-pro semua,” katanya sembari berkelekar. “Tapi, jika ditanya kenapa mempertaruhkan gengsi, ya karena ini adalah event terbesar dan semua bisa bergembira bersama.”
Saya sepakat dengan apa yang ia tuturkan berkaitan ribut-ribut yang belakangan sering terjadi ketika Porsenigama. Ia mengatakan damai tidak akan pernah terjadi jika masih ada satu duri bernama provokator yang masih sering mengadu domba. Dan sialnya, tiap fakultas rata-rata selalu ada. “Semua mergo chants, spanduk dengan kata-kata provokasi, opo meneh? Seperti kajiannya Paul-Sarte bahwa manusia lain adalah neraka dan kita tidak suka dinerakakan,” jelasnya.
Maksudnya adalah, selalu ada manusia yang tidak suka ketika melihat damai-damai antar fakultas. “Mereka ini maunya ribut. Tidak suka jika tidak ribut,” katanya sembari tertawa lagi. Pengamat kultur suporter Porsenigama sekaligus pemimpin Philoscontong (nama suporter Fakultas Filsafat UGM, red) ini mengatakan bahwa budaya menonton sepak bola Indonesia yang sarat akar kekerasan sepertinya turut andil dalam membentuk karakter mereka.
“Proses itu bernama glokalisasi, di mana faktor luar masuk mempengaruhi budaya lokal yang dibangun. Anggap saja faktor luar adalah apa yang kita tonton di stadion bola sesungguhnya, lalu secara tak sadar, nilai-nilai buruk itu masuk dan dilampiaskan ketika mereka mendukung fakultasnya. Atau ada faktor lain, faktor eksternal yang tak jelas bagaimana datangnya.”
Ketika ditanyai apakah glokalisasi yang terjadi pada suporteran porsenigama ini adalah melulu hal buruk, Antonius menolak itu. Katanya, “Glokalisasi itu tidak hanya buruk-buruknya saja, sih. Banyak hal positif dari glokalisasi seperti penamaan basis suporter yang unik. Semisal Sospoligan (nama suporter Fakultas Fisipol UGM, red) yang mengadopsi nama dari kultur suporter Hooligan. Pun Philoscontong itu kan pada dasarnya mengandung napas dari kultur Hooligan.”
Terkadang, dalam ranah suporter—lebih luas sepak bola—Hooligan kadang disalah artikan ketika ditransformasikan ke dalam kultur suporter Indonesia. Sebagaimana dikemukakan oleh Antonius, “Ya, Hooligan kadang identik dengan kultur kekerasan dan merusak napas sepak bola itu sendiri. Namun, kembali lagi merujuk kepada proses glokalisasi, Philoscontong mengambil dari Hooligan dalam kacamata cara mereka mendukung tim kesayangan. Tidak ada flare, tidak ada koreo, pun tidak ada kembang api.”
Antonius kembali bercerita, terutama perihal Philoscontong, “Kami ini seakan ingin memberikan neraka yang baru. Dengan Supersonik (nama suporter Fakultas Teknik UGM, red) maupun Garasi (nama suporter Sekolah Vokasi UGM, red) dari segi apa pun; suara, jumlah dan tenaga, kami jelas kalah. Namun, dengan semboyan kami, ‘Srigala tak pernah main di sirkus’ dan mengimplementasikan nilai-nilai Hooligan, ini merupakan bentuk perlawanan tersendiri dari Filsafat untuk fakultas lain yang lebih besar. Chants tidak harus dengan berteriak, banner dibuat apa adanya dan bahkan kami sering meneriaki pemain kami sendiri ketika bermain jelek. Dan saya yakin, tiap suporter fakultas memiliki caranya tersendiri.”
Dilansir dari situs Kagama, Suporter Solid Teknik atau yang sering disingkan Supersonik ini duduk di lima daftar teratas dalam hal militansi mereka kepada Fakultas Teknik dalam cabor apa pun. Begitu pula dengan Garasi dalam mendukung Sekolah Vokasi. Bahkan, mereka pernah membentuk koreo 3-D sebagaimana yang acap kali dilakukan tribun Yellow Wall dalam mendukung klub bola Borussia Dortmund di Jerman.
“Tiap pulang mendukung Garasi, kami selalu membawa sesuatu,” ujar salah satu mahasiswa Sekolah Vokasi yang enggan namanya disebut. “Baik itu kemenangan atau pun kami pernah bergembira di tribun bersama-sama. Ya, intinya selalu ada hikmah yang dipetik.”
Dilansir dari Kagama, juga ada Kapak Rimba, yakni suporter Fakultas Kehutanan yang memiliki ciri berkaos hitam dengan logo kapak yang menyilang. Bahkan, 2017 silam, Kapak Rimba pernah menyambut kedatangan Presiden Jokowi dengan seruan bass drum melantunkan lagu Seruan Rimba. Ada juga Badai Alam sebagai basis suporter Fakultas MIPA, Sastro Contong sebagai basis suporter FIB, Ongoligans sebagai basis suporter Fakultas Peternakan, dan tiap fakultas memiliki kemewahan berupa suporternya yang sama-sama militan.
Suporter-suporter tiap fakultas ini, komentar Antonius, setidaknya juga mengadopsi kultur suporter dari luar. Selain Philoscontong dan Sospoligan yang menyerap poin penting dari Hooligan, ada pula fakultas lain yang menunaikan kultur seperti Mania, Ultras, Tifosi, sampai Casuals sekalipun. “Di UGM, kaya akan hal tersebut. Dan yang membuat saya tertarik, mereka tidak serta merta mengambil dan menjiplak mak plek, tapi mengkaji ulang dan menyingkirkan beberapa nilai yang nggak sesuai dengan mereka. Itu adalah glokalisasi yang baik.”
Ketika dimintai pendapat mengenai keseruan dan hingar bingar suporter Porsenigama, Antonius menuturkan, “Porsenigama adalah rujukan bagi mereka yang bingung masuk UGM serta takut karena lingkungan yang ambisius dan perkara lainnya. Porsenigama, apalagi suporter-suporter di tiap fakultas adalah wajah lain bahwa kampus ini memiliki nilai orisinil yang bisa dikaji secara serius dan mendalam. Nggak usah jauh-jauh ke Italia atau Russia untuk meneliti kultur suporter lantaran di tanah yang kita pijak ini, masih banyak hal menarik yang luput dalam pandangan mata kita yang terkadang bias.”
Menyepakati apa yang dikatakan oleh Antonius, suporteran itu indikasinya tidak selalu buruk dan membawa stigma negatif yang terkadang lebih jelas dilihat oleh mata. Karena melalui wadah-wadah suporter ini, mahasiswa bisa menikmati bagaimana cara berkompetisi secara sehat dan mengatur emosi serta perkataan. Utopia tercipta kala semua pihak sadar, beradu sorak dengan batasan yang bijak, berteriak ketika lomba dan bersalaman setelah semuanya usai adalah tindak lanjut menilik hal ini mencatut nama fakultas. Dan UGM memiliki wajah lain selain spaneng dan ambisius dengan bentuk bernama militansi dan kultur suporter yang tak kalah indah.
BACA JUGA 3 Hal yang Langsung Hilang pas KKN UGM Diubah Jadi Kuliah Kerja Maya atau tulisan Gusti Aditya lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.