Masih sangat segar di ingatan saya, pernah dalam satu forum kajian keislaman, salah seorang kawan saya dengan pedenya mengajukan pertanyaan nakal. “Bagaimana hukumnya orang yang rajin salat, tapi juga rutin nonton bokep?”
Mendengar pertanyaan tersebut, sontak wajah Pak Ustaz yang memimpin kajian berubah jadi merah. Raut wajahnya jadi nggak enak sama sekali. Jelas Pak Ustaz ini sangat terganggu dengan pertanyaan kawan saya yang terdengar ngawur itu. Pasalnya, pertanyaan dari peserta kajian lain lebih lurus dan religius.
Seingat saya, dua pertanyaan sebelumnya adalah mengenai bagaimana agar salat kita bisa khusyuk dan seputar sedekah. Hla ini, kok bisa-bisanya mengajukan pertanyaan yang mungkin bagi Pak Ustaz terdengar sangat tidak senonoh.
Bukan hanya mendapat sambutan kurang nyaman dari Pak Ustaz, para peserta kajian lain yang rerata merupakan barisan pemuda hijrah langsung mengadakan bisik-bisik tetangga. Kami juga diserbu dengan sorot mata yang intimidatif dan penuh penghakiman. Bahkan samar-samar saya menangkap ada yang berseloroh, “Oh, jebul mbokepan, tho?”
Aseeemmm tenan! Kalau dimaksudkan untuk gojloki sih, mungkin kami nggak masalah, ya. Tapi dari nadanya, jelas banget kalau mereka mengucapkannya dengan maksud untuk menuduh. Alias nggak ada feel bercanda-bercandanya sama sekali kalau kalian berpikir kami aja yang baperan.
Dan benar saja. Ternyata pertanyaan kawan saya itu jadi bumerang yang menampar balik wajah kami. Dalam forum tersebut, kami bener-bener dihakimi oleh Pak Ustaz dengan statemen-statemen yang, alih-alih memberi kami pencerahan, tapi malah membuat kami di kemudian hari selalu sinis dengan forum-forum kajian keagamaan semacam itu. Kawan saya malah lebih ekstrem lagi, terkesan kayak alergi.
Pernah juga, dulu banget pas saya masih MTs, kawan perempuan saya juga mendapat jawaban yang kurang mengenakkan atas pertanyaan nakalnya seputar isu-isu perempuan.
Jadi dalam mata pelajaran Fikih, tepatnya pada bab pernikahan, guru kami panjang lebar menjelaskan tetek-bengek seputar kehidupan rumah tangga. Termasuk adab istri terhadap suami. Nah, sampailah Pak Guru pada penjelasan mengenai seorang istri yang wajib melayani suami, lebih khusus adalah hubungan persenggamaan, dalam kondisi apa pun. Entah lagi capek, nggak mood, atau lagi sibuk. Pokoknya kalau suami minta jatah, harus dikasih. Nggak boleh ditunda-tunda, lebih-lebih ditolak mentah-mentah.
Kalau berani menolak, Pak Guru kemudian menyitir hadis yang menyebutkan tentang laknat bagi perempuan yang menolak ajakan suaminya. Karena itu sama dengan enggan menyenangkan suami. Sementara, menurut penjelasan Pak Guru, menyenangkan suami itu bernilai pahala surga.
Tiba-tiba kawan perempuan saya mengajukan sebuah pertanyaan—saya sih menganggapnya sebagai pertanyaan polos ketimbang pertanyaan kritis—yang agak menyentil. “Pak, lalu seandainya perempuan yang minta duluan tapi suaminya menolak, gimana? Apa si suami juga bakal mendapatkan laknat?”
“Pertanyaan ngawur!” Pak Guru meresponsnya dengan cepat dan berapi-api. Tapi dengan argumen yang amat sangat dangkal. “Nggak mungkin ada perempuan yang mau minta duluan. Kalau toh ada, berarti perempuan itu kegatelan.” Titik, hanya itu. Nggak ada penjelasan susulan yang membawa kami ke pemahaman yang lebih luas.
Akhirnya saya sampai pada kesimpulan, ternyata banyak para pemuka agama yang masih belum bisa disebut “dewasa”. Menganggap teks kitab suci adalah benda mati yang udah nggak bisa diutak-atik lagi. Hasilnya, diskusi-diskusi keagamaan nggak berkembang.
Efeknya, meminjam istilah Alm. Buya Nursamad Kamba, agama terkesan gagap dan buntu dalam merespons fenomena dan gejala-gejala baru yang muncul di masyarakat. Agama jadi dianggap gagal menghadirkan sebuah solusi dan jawaban atas keresahan-keresahan umatnya alias kurang solutip!
Padahal, justru dari keresahan-keresahan yang cenderung nakal, menyentil, dan nggak senonoh itulah orang-orang bisa masuk lebih dalam lagi terhadap agama yang mereka imani. Hla kalau dijawab kayak dua kasus di atas, ya akhirnya wegah masuk dan memilih menjauh, tho.
Di tengah kemarau dakwah dengan materi-materi yang kering kerontang ini, kehadiran seri Kultum Pemuda Tersesat layaknya hujan pertama yang disambut dengan gegap gempita.
Kultum Pemuda Tersesat pertama kali tayang di channel YouTube MLI pada Ramadhan lalu. Tapi sesudah Ramadhan, karena banyak pertanyaan nakal dari para pemuda tersesat yang nggak terlokalisir, akhirnya MLI dan Habib Jafar sebagai narasumber sepakat untuk melanjutkan lagi serinya yang mulai tayang bulan ini.
Konsepnya sangat menarik dan tentu memberi penyegaran dari model kultum yang sudah mainstream dan terkesan gitu-gitu aja: kaku, saklek, dan hanya ngomongin soal pahala-dosa, surga-neraka, dan fikih-normatif.
Sementara dalam Kultum Pemuda Tersesat, Tretan Muslim ditemani Coki Pardede akan menyalurkan keresahan-keresahan dari para pemuda tersesat seputar agama kepada The Protector, Habib Husein Jafar al-Hadar. Dengan isu dan problematika yang lebih kompleks dan mindblowing.
Pertanyaan–pertanyaan yang disaring dan diajukan kepada Habib Jafar pun adalah jenis pertanyaan yang bisa dibilang brutal. Sebut saja misalnya, masa iya ada yang bertanya, “Bagaimana hukum orang berbuka puasa pakai babi dan bir?” Atau, “Bagaimana hukum orang puasa yang berniat murtad?” Itu adalah dua dari sekian pertanyaan sesat pada seri Ramadhan lalu.
Contoh yang terbaru misalnya ada yang nanya, “Bagaimana hukum orang yang STMJ (salat terus, mastrubasi jalan)? Sebelum salat, masturbasi atau nonton bokep dulu.” Waduh. Terus, “Bagaimana hukum bertato pakai tulisan syahadat?” Dan segala jenis pertanyaan sesat lainnya yang bisa Anda simak di channel YouTube MLI atau Jeda Nulis-nya Habib Jafar.
Seandainya pertanyaan-pertanyaan tersebut diajukan untuk model ustaz seperti yang saya contohkan sebelumnya, ha yo bisa dikutuk habis-habisan, Anda. Tapi karena ini adalah kontennya Habib Jafar dan MLI, kesan yang timbul dan dirasakan justru sangat gayeng, interaktif, dan solutif.
Habib Jafar sebenernya pernah bilang, kalau model pertanyaan seperti ini, menurut Imam Syafii nggak perlu dijawab. Tapi dengan sangat simpatik beliau malah meladeni dan menjawabnya dengan gaya yang ke-MLI-MLI-an. Maka, nggak heran jika Kultum Pemuda Tersesat, hari ini, menjadi konten dakwah yang paling dicari dan digandrungi khalayak.
Kultum Pemuda Tersesat—lebih khusus sosok Habib Jafar—berhasil membawa agama yang sebelumnya terkesan elitis; seolah hanya milik “orang-orang masjid” saja, menjadi sangat dekat dengan kelompok marjinal. Bukan untuk membenarkan ketersesatan mereka. Bukan juga untuk menyalah-nyalahkan dan menghakimi. Melainkan untuk memberi alternatif perspektif yang jauh lebih substansial dari sekadar urusan benar atau salah.
Saya jadi teringat dengan sebuah kisah klasik. Ada seorang pemuda yang sudah membunuh 99 orang. Ketika menghadap seorang ulama dan bertanya apakah taubatnya bakal diterima Tuhan? Si Ulama malah marah-marah dan mengutuk perbuatan pemuda tersebut. Bahkan si Ulama ini berkata, “Taubatmu nggak bakal diterima!” Akhirnya, si Ulama menjadi orang ke-100 yang dibunuh pemuda tersebut.
Kira-kira seperti itu lah gambaran orang-orang yang pengin mencari solusi dalam agama, tapi oleh pemuka agama malah terang-terangan dijauhkan dari agama itu sendiri. Persis seperti ungkapan dari Sa’di Shirazi (penyair Persia abad ke-13) bahwa, “Ribuan orang yang jauh dari Tuhan adalah ulah dari orang lain yang merasa lebih dekat dengan Tuhan.”
Sumber gambar: Skrinsut YouTube MLI
BACA JUGA Skripsi Nggak Kunjung Selesai? Mari Contoh Kisah Pewayangan Bambang Ekalaya dan tulisan Aly Reza lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.