Di artikel sebelumnya, saya menyebutkan kalau kuliah S2 itu wajib caper. Nah, salah satu sarana untuk caper adalah melalui keaktifan memberi pertanyaan dan pernyataan dalam kelas atau forum. Khusus untuk pernyataan, mungkin tidak jadi persoalan karena itu tanda seseorang berpengetahuan. Tapi, untuk pertanyaan, hal ini sering jadi masalah tersendiri.
Tidak sedikit mahasiswa S2 terjebak pada rasa takut perihal pertanyaannya diajukan. Apakah pertanyaannya receh? Cukup berbobot? Apakah dia akan terlihat bodoh? Rasa khawatir itu semakin besar ketika berada dalam kelas atau forum dengan tipe orang bermental predator. Orang yang sukanya meremehkan, merendahkan, dan menjustifikasi karena merasa lebih pintar. “Halah, pertanyaan macam apa sih itu,” begitu mungkin respon mereka.
Padahal, dalam ekosistem S2, nggak ada pertanyaan bodoh atau receh. Semua yang dilontarkan adalah bentuk diskursus dan dialektika karena output dari magister adalah seseorang dapat menguji sebuah “thesis” (pernyataan umum).
Seorang S2, harus memosisikan ruang kelas bukan lagi tempat menampung jawaban tunggal yang benar, melainkan ruang untuk menguji asumsi. Ruang kelas bisa membuka perspektif baru dan melatih cara berpikir kritis. Dari situ, setiap pertanyaan, bahkan yang tampak “receh” atau “absurd” sekalipun, punya beberapa fungsinya tersendiri. Kita bedah satu per satu.
Saat kuliah S2, pertanyaan bisa membuka diskusi baru
Pertanyaan sederhana saat kuliah S2 nggak jarang bisa membuka cakupan diskusi yang lebih kaya. Misal, ketika ada pertanyaan, mengapa ilmu ini penting? Apa istimewanya ilmu ini? Toh belum teruji dalam menjawab persoalan makro negeri ini.
Kalau orang yang nggak punya kedalaman berpikir, mungkin pertanyaan ini bakal direspon, “Lah kalau gak penting, ngapain kamu kuliah jurusan ini?” Sebaliknya, ketika direspon dengan mental berdialekika, maka yang muncul adalah diskusi mendalam dari berbagai perspektif dari seisi kelas.
Asal tahu saja, pertanyaan receh atau tidak itu sangat subjektif karena berangkat dari pengalaman dan kerangka berpikir yang diproses masing-masing. Padahal, itu sisi menariknya karena menambah keragaman sudut pandang di kelas. Apalagi S2 isinya orang dengan latar belakang berbeda (profesi, pengalaman riset, bahkan budaya).
Terkadang, seseorang bertanya justru karena sudah punya jawaban yang dia pegang selama ini. Mereka butuh validasi atau butuh pengujian secara akademik. Mereka ingin memastikan apakah ada jawaban versi lain yang bisa dikomparasikan atau tidak.
Mengulik kembali hingga ke fundamental
Pertanyaan yang naif saat kuliah S2 sering kali membuat seisi kelas kembali membuka materi atau teori fundamental yang mungkin telah dilupakan. Terlebih di dunia riset, kadang kita terlalu cepat bergerak ke teknis kompleks. Padahal ada asumsi dasar yang tak pernah dipertanyakan lagi. Dari hal naif pun, kita bisa merapikan logika dasar yang mungkin saja selama ini ditinggalkan.
Tentu saja pertanyaan-pertanyaan ini membuat seisi kelas, termasuk dosen benar-benar berpikir. Dosen bukan hanya sebagai pemberi jawaban, tapi bisa jadi pemantik untuk menstimulasi jawaban lain dari sesama mahasiswa.
Khusus untuk dosen, saya sangat suka mereka yang selalu menghargai dan antusias menjadi wadah pertanyaan di dalam kelas. Sebab, dosen seperti ini sedang menegakkan sejumlah nilai penting dalam ekosistem pendidikan, yaitu menghargai proses berpikir mahasiswa. Mereka membangun iklim akademik yang inklusif karena mahasiswa bisa nyaman bertanya tanpa khawatir dihakimi. Mereka jadi berani menguji pikiran mereka di ruang kelas tanpa takut dipermalukan.
Para dosen semacam ini menjadi fasilitator yang mengarahkan tanpa mematikan rasa ingin tahu dari mahasiswa S2. Sebab, tugas dosen bukan menjawab semua hal secara tuntas, tapi bisa mengarahkan. Mana yang perlu didalami lebih jauh, mana yang bisa diparkir dulu, dan bagaimana mengubah pertanyaan absurd menjadi riset yang masuk akal.
Semua hal di atas adalah impact positif dari membiarkan pertanyaan itu keluar begitu saja di dalam kelas. Kalau pertanyaan dianggap “bodoh” lalu diabaikan, kelas bisa berubah jadi ajang pamer kepintaran. Padahal, justru kerendahan hati dalam mengakui ketidaktahuan adalah pintu menuju diskusi yang otentik.
Tips untuk mahasiswa yang masih ragu
Supaya kalian tetap pede dengan pertanyaan sereceh apapun, saya punya setidaknya 5 rules sebelum bertanya.
Pertama, analisis urgensi pertanyaan kalian. Tanyakan ke diri sendiri, kalau saya gak nanya ini, apa yang hilang dalam kelas? Kalau jawabannya, “Saya akan tetap bingung, atau kelas akan kehilangan sudut pandang tertentu,” maka pertanyaan itu punya urgensi. Tanyakan!
Kedua, lihat potensi multi jawaban. Sederhananya, kalau pertanyaan receh itu punya banyak versi dari berbagai sumber, maka pertanyaan itu bernilai diskusi. Lanjutkan pertanyaan itu!
Ketiga, coba hubungkan dengan materi, pengalaman, atau fenomena empiris. Ini penting supaya menjadi dasar argumen kalau pertanyaan yang disampaikan gak receh.
Keempat, mainkan diksi pertanyaan. Kalau khawatir terdengar absurd, bisa diawali dengan framing, “Saya masih awam di bagian ini, tapi saya ingin tahu bla bla bla,” atau, “Mungkin pertanyaan saya agak sederhana, tapi bagaimana kalau bla bla bla.” Framing seperti ini membuat pertanyaan terlihat sebagai inisiatif belajar, bukan klaim kebenaran.
Kelima, pertanyaan sama dengan kontribusi. Coba deh, sudah capek-capek kuliah S2, kita ubah perspektifnya. Daripada khawatir dianggap bodoh, lihatlah pertanyaan sebagai kontribusi ide dan masalah di kelas. Barang kali, ada mahasiswa lain juga punya kebingungan serupa tapi malah atau nggak berani menyampaikan.
Pada akhirnya, pertanyaan adalah sumber dari lahirnya berbagai macam pembaharuan di berbagai bidang. Perlu diingat, para ilmuwan hebat di dunia ini selalu berangkat dari pertanyaan paling receh, dan menemukan jawabannya dengan melalui banyak proses perenungan dan diskusi dengan banyak orang.
Penulis: Muhamad Iqbal Haqiqi
Editor: Kenia Intan
BACA JUGA Kuliah S2 Itu Wajib Caper kalau Tidak, Kalian Cuma Buang-buang Uang dan Melewatkan Banyak Kesempatan.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
