Nyatanya, nggak semua orang cocok untuk lanjut kuliah S2.
Lanjut kuliah S2 atau magister itu dilematis. Banyak tantangan dan skeptisme yang melekat pada lulusan jenjang pendidikan tinggi ini. Di Mojok, saya juga sering membaca artikel-artikel yang menyangsingkan keberadaan lulusan S2 di dunia industri. Toh, industri nggak melihat seberapa tinggi ijazah seseorang kan? Penting punya skill dan bisa kerja. Kasarnya, industri itu butuh robot berotak lah. No offense, tapi kualifikasi itu sudah terpenuhi dari mereka yang datang dari lulusan pendidikan di bawah magister.
Kalau dibilang S2 itu overqualified, ya secara empiris memang begitu. Tapi, apakah mereka nggak dibutuhkan, ya belum tentu. Kalau kaca mata pemerintah Indonesia memandang pendidikan hanya sebagai pabrik pencetak tenaga kerja, sebenarnya cukup dengan SDM lulusan sarjana.
Sebenarnya, tidak ada yang salah ketika seseorang tetap memilih untuk melanjutkan studinya ke jenjang S2. Namun, pilihan untuk melanjutkan atau tidak perlu dipertimbangkan dengan matang. Kalau kalian salah satu orang dari tipe-tipe di bawah ini, saya sarankan lebih baik nggak usah lanjut kuliah S2 saja.
Daftar Isi
#1 Mindset ingin mudah dan cepat dapat kerja
Orang yang memilih melanjutkan kuliah S2 dengan alasan agar mudah mendapat kerja itu ibarat orang yang mencari ikan, tapi bukannya ke laut atau sungai, malah pergi ke kolam renang. Artinya, tujuan hidup dan pemilihan strategi nggak tepat. Kasarannya, industri kita hanya butuh orang yang bisa memancing dan menangkap ikan pakai jaring, nggak butuh orang yang bisa berenang cepat, lihai menyelam, atau tahan di dalam air.
Predikat S2 apalagi yang belum memiliki pengalaman kerja, tidak sesuai dengan kebutuhan industri. Mungkin kamu dianggap memiliki kemampuan analisa yang baik, tapi tidak cukup bagus untuk membuat perusahaan mereka profitable. Industri nggak butuh orang yang pintar menganalisa dan memiliki daya inovasi untuk sesuatu yang futuristis, itu sudah ada yang mengurusi. Mereka hanya butuh orang yang “yes man” untuk semua pekerjaan yang sudah disiapkan. Paham?
Lain cerita kalau hidup di negara-negara seperti Australia, Jerman, Inggris, atau negara lain yang fokusnya bukan lagi pada industri hulu. Mereka sudah masuk pada hilirisasi yang mengedepankan SDM yang unggul dalam menganalisa, meneliti, dan mengembangkan sesuatu. Kalau di Indonesia? Aah dana riset aja cuma seupil. Kerja di lembaga penelitian begitu sulit dan berdarah-darah. Posisi analis untuk sektor industri di Indonesia pun lebih banyak ditempati oleh orang asing, bukan dari Indonesia.
#2 Tidak punya tujuan, jangan lanjut kuliah S2
Memilih S2 harus punya tujuan. Apa yang akan dilakukan semasa kuliah dan ditargetkan ketika lulus mengantongi gelar magister. Sehingga orang-orang ini tahu dan mampu menyiapkan perbekalan, siap dengan risikonya, serta fokus dan tangguh dengan zona hidup yang tidak biasa setelah S2. Seperti yang saya sebutkan sebelumnya, lulusan S2 punya tantangan lebih dalam mencari pekerjaan.
Sangat disayangkan kalau memilih S2 hanya karena ingin terlihat keren atau mengisi waktu luang biar tidak terlihat jadi pengangguran. Ujung-ujungnya negara jadi kekurangan objek pajak karena tenaga kamu nggak diserap di sektor industri. Ya kecuali situ anak konglomerat atau presiden. Kuliah haha hihi IPK jongkok pun mungkin bisa jadi kepala daerah.
Baca halaman selanjutnya: #3 Mereka yang tidak …
#3 Mereka yang tidak siap kesepian
Kuliah S2 itu berbeda dengan S1 atau sarjana. Pada saat S1, mungkin pertemanan kalian bisa makin luas dan intim. Bisa sering berdiskusi, nongkrong dengan dalih bahas proker organisasi. Bahkan, kalian bisa sering hangout bareng saat akhir pekan.
Itu semua berbeda ketika S2. Mungkin pertemanan luas, tapi tidak bisa seintim ketika kuliah. Orang-orang waras di dalam ekosistem S2 biasanya bukan orang punya waktu luang untuk nongkrong, nggedabrus ngalor-ngidul, baku omong sana-sini hingga larut malam di kafe. Sehingga potensi kesepian harus dihadapi karena circle pertemanan yang makin kecil. Selain itu orang-orang di ekosistem S2 biasanya lebih oportunis, sehingga sulit sekali diajak nongkrong atau main-main.
Mereka lebih suka untuk fokus pada pendidikannya agar cepat selesai. Mikir jurnal, jurnal, dan jurnal. Itu gak bisa disamakan dengan membuat makalah. Seringkali segala persoalan yang datang di perkuliahan juga harus dihadapi sendiri.
#4 Kuliah S2 tidak untuk mahasiswa yang punya mental aktivis
Kuliah S2 nggak cocok untuk kalian yang punya mental aktivis. Maksud saya, kalau kalian saat S1 dahulu kuliah lebih dari satu dekade karena sibuk mengkritik, memimpin organisasi, dan tebar atensi sana-sini mending urungkan niat lanjut S2. itu Saat menempuh magister, nggak ada urgensi ikut organisasi kampus lagi. Fokusnya sudah kepada cara untuk berpikir logis dan analitis, bukan lagi kritis, tapi cuma ngang-ngong aja.
Ketika sudah S2, prioritasnya adalah segera lulus karena tertekan usia, kesempatan kerja, dan nggak mau lagi bayar mahal-mahal. Asal tahu saja, biaya kuliah S2 itu tidak sedikit lho. Sekelas kampus jaket kuning biaya pendaftaran awal sebelum mulai kuliah bisa sampai Rp30-50 juta. Per semester bisa dua digit.
Jadi sangat disayangkan kalau kalian habiskan waktu berlama-lama di S2, karena biaya yang dikeluarkan sangat besar. Yah tapi lain cerita kalau kalian itu anak konglomerat, DPR atau Menteri yang biaya hidupnya sudah ditanggung negara. Bahkan, biaya sunatan cucu pun dibiayai negara. Bukankah begitu, Pak Yasin Limpo?
Nah di atas tipe orang yang menurut saya nggak cocok untuk lanjut kuliah S2. Ingat, memaksa sesuatu yang sebenarnya bukan kapasitas kita itu namanya mubazir waktu, tenaga, dan uang. Ujung-ujungnya malah jadi pengangguran.
Penulis: Muhamad Iqbal Haqiqi
Editor: Kenia Intan
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.