Sebentar lagi, waktu saya kuliah di Surabaya berakhir. Waktu berlalu begitu cepat, meninggalkan yang seharusnya. Tapi, di ujung waktu, saya justru berpikir, apakah Surabaya memang tempat yang tepat untuk mengenyam pendidikan?
Saya memilih Kota Pahlawan sebagai kota tujuan belajar bukan tanpa alasan. Untuk memilihnya, saya perlu satu tahun sendiri untuk berpikir dan merenung, apakah Kota Surabaya adalah kota yang tepat untuk saya belajar. Hidup di kota besar dan jauh dari keluarga membuat saya harus berpikir seserius itu. Bagaimana nanti saya beradaptasi dengan lingkungannya, orang-orangnya, atau bahkan dengan cuacanya.
Yang saya pahami, untuk kuliah di Surabaya, entah di kampus mana pun, calon mahasiswa perlu berpikir matang-matang. Sebab, kota besar seperti Surabaya belum tentu seperti apa yang dibayangkan. Pertama, bagi mahasiswa perantauan harus siap-siap LDR dengan keluarga. Bakal sering nanti kalian akan menangis karena rindu rumah. Kedua, kalian mungkin mulai menyesal tinggal di sini. Sebab hiruk-pikuk Surabaya memang kelewat kacau, dan pastinya akan menyerang jiwa dan raga kalian juga.
Daftar Isi
Mahasiswa introvert nggak cocok hidup di sini
Surabaya mungkin bisa disebut daerah melting pot di Indonesia. Di sini, kita bisa melihat banyak sekali pendatang yang wira-wiri, dari belajar hingga bekerja. Keberagaman orang-orangnya mungkin sangat terasa, apalagi Surabaya terkenal dengan Budaya Arek-nya.
Saya beberapa kali membaca tentang kajian Budaya Arek di Surabaya. Saya menyimpulkan kalau Budaya Arek ini berisi nilai-nilai keberagaman, kebersamaan, dan gotong-royong. Singkatnya, siapa pun yang ada di Surabaya, mau nggak mau harus melebur. Dengan kata lain, Budaya Arek ini ekstrovert banget, lah.
Nahasnya, nggak semua mahasiswa perantauan memiliki karakter ekstrovert. Lantaran banyak mahasiswa di Surabaya yang berasal dari desa untuk melanjutkan pendidikan. Karakter mahasiswa dari desa di awal-awal biasanya memilih untuk main aman dan tak banyak bertingkah. Tak heran jika banyak yang pendiam dan sungkan.
Masalahnya, bila karakter itu harus ditabrakkan dengan Budaya Arek di Surabaya, agak susah untuk menerima. Tapi ini hanya butuh adaptasi.
Untungnya, saya bisa berhasil beradaptasi dengan Budaya Arek itu. Sehingga saya bisa survive di sini dengan sedikit air mata. Lantaran awal-awal saya datang ke sini, saya culture shock banget. Bagaimana tidak, ketika saya ada di desa yang kental akan budaya sungkan, harus mengikuti lingkungan Surabaya yang serba ceplas-ceplos. Pertama kali, jujur saya merasa tersinggung dan sakit hati dengan karakter orang Surabaya yang seperti itu. Sehingga akhirnya saya jadi takut untuk bersinggungan dengan orang lain di sana.
Kuliah di Surabaya kudu siap mental. Kudu, banget
Ternyata, culture shock ini juga dirasakan oleh beberapa rekan saya yang dari desa juga. Mereka bahkan merasa nggak betah tinggal di Surabaya yang kelewat ekstrovert itu. Padahal, waktu itu kami masih semester dua. Mereka kaget karena di desanya, intonasi yang digunakan untuk berbicara sangat pelan. Apalagi ketika berbicara dengan orang yang lebih tua, harus lirih plus memakai bahasa kromo (Jawa halus).
Namun, di Surabaya, batasan usia seperti nggak dihiraukan keberadaannya. Anak-anak yang masih belia bahkan dengan mudahnya berbicara dengan bahasa ngoko (Jawa kasar) dengan orang tua. Tentunya, lengkap dengan intonasi yang tinggi dan keras, ditambah dengan imbuhan cak-cuk-cak-cuknya itu.
Bahkan, dari situasi itu, juga ada sedikit fakta. Adik tingkat saya, yang berasal dari desa, sampai mengalami sakit berhari-hari. Hal itu disebabkan karena dia seperti merasa dibentak oleh gaya bahasa orang Surabaya ketika sedang berbicara. Bagi sebagian orang Surabaya, ini mungkin terkesan biasa saja. Tapi, bagi mahasiswa yang berasal dari daerah yang budayanya berbeda jauh, ya pasti merasa sakit hari.
Jadi, untuk kuliah di Surabaya, setidaknya persiapkan mental yang kuat dulu, ya, Gaes. Ingat, apa yang kalian yakini, bisa jadi tak berlaku di tempat baru.
Mahasiswa dengan uang bulanan pas-pasan lebih baik kuliah dekat rumah
Selain mempersiapkan mental yang tangguh, saya menyarankan kalian jika ingin tinggal di Surabaya untuk belajar, pastikan kalian sudah mempersiapkan kecukupan ekonomi dengan bijak. Sebab, di Surabaya nyatanya nggak seperti video yang seliweran di beranda media sosial kalian. Misalnya, makanannya terjangkau, kost-kostannya murah, dan semuanya serba hemat, saya sarankan jangan langsung percaya.
Saya yang masih dibantu dengan beasiswa Pemkab saja harus pontang-panting demi hidup di sini. Saya yang di rumah bisa makan tiga kali sehari dan jajan, di sini saya makan dua kali saja sudah untung. Itu pun saya nggak jajan kalau misalnya ada acara gathering dengan mahasiswa lain.
Begitu pula dengan harga kost-kostannya. Begitu sulit menemukan kost yang sesuai dengan kemampuan ekonomi kita. Lantaran kost di Surabaya, terutama dekat kampus, selalu memiliki format yang sama. Misal ingin murah, kalian harus rekasa. Karena biasanya jarak dari kampus sangat jauh. Dan, kelewat kumuh.
Kalau mau sedikit mahal, itu pun hanya dihitung berdasarkan alat elektroniknya. Misalnya, jika di sana ada AC akan lebih mahal, ada Wi-Fi juga semakin mahal. Bayangkan saja, mahasiswa dari keluarga gaji UMR yang nggak dibantu beasiswa. Bayangin aja dulu.
Belum lagi ketika kalian harus keluar untuk membeli makanan bulanan di minimarket. Kalian pasti akan mengeluarkan biaya tambahan. Pengeluaran itu berasal dari sesuatu yang sama sekali nggak kalian duga, yakni datang dari tukang parkir liar. Yap, di Surabaya fenomena seperti itu nggak bisa kalian hindarkan. Mau nggak mau, kalian harus menyiapkan setidaknya paling sedikit Rp2 ribu sampai Rp5 ribu untuk membayarnya.
Meski semua itu hal yang biasa dan memang harga yang harus dibayar saat merantau, tapi saran saya pikirkan dua kali dulu kalau kalian ingin kuliah di Surabaya. Ini serius.
Kuliah di Surabaya itu memang bagus, tapi…
Terlepas dari semua itu, saya akui Kota Surabaya memang tempat yang sangat cocok sebagai kota tujuan belajar. Nuansa indah perkotaan membuat siapa pun merasa menjadi mahasiswa yang utuh di sini. Sebab, infrastruktur yang dibutuhkan semuanya ada. Mulai dari transportasi publik, perpustakaan, hingga taman kota juga tersedia.
Namun, kelengkapan yang ada di Surabaya itu tentu nggak langsung bisa dinikmati sembarangan. Kalian harus mempersiapkan setidaknya hal-hal di atas tadi, seperti keuangan dan tenaga ekstra. Plus, utamanya adalah mental. Jika mental kalian masih merasa inferior dan nggak berani beradaptasi dengan lingkungan Surabaya, selalu ada potensi kalian akan merasa sendiri dan kesepian.
Sebab hal ini kemungkinan membuat kalian terlihat sangat kaku. Jika kalian terlihat kaku, kalian akan sering nggak diajak dalam hal-hal apa pun. Kalau sering nggak diajak, itulah biangnya kesepian. Kalau kesepian, maka itu yang bikin kalian stress dan sakit hingga nggak betah lagi melanjutkan hidup di sini.
Saya, sih, menyarankan kalau kalian mau kuliah di Surabaya, coba pikirkan dua kali. Semua citra yang ditampilkan oleh media sosial tentang Surabaya kadang-kadang kelewat ngawur dan hiperbola. Banyak yang menampilkan Kota Surabaya sebagai kiblat pendidikan, tapi hal-hal paling menyiksa sering kali nggak diceritakan. Maksud saya, mending kalian menangis 4 hari karena nggak jadi kuliah di Surabaya ketimbang harus menangis 4 tahun saat tinggal di Surabaya, deh.
Penulis: Adhitiya Prasta Pratama
Editor:Â Rizky Prasetya