Bayangkan tembok tebal setinggi 3 meter menjulang penuh hiasan dan relief. Gerbang kayunya megah dan berkilauan. Di dalamnya, rumah bagaikan istana lengkap dengan kolam renang dan taman indah. Suasananya sangat mewah, dan pasti Instagramable. Sayangnya, jalan menuju rumah itu hanyalah gang kecil yang cuma cukup satu motor. Kira-kira itulah gambaran Kotagede Jogja, bekas pusat pemerintahan Kasultanan Mataram.
Daerah ini berada di tenggara Kraton Jogja. Dikenal sebagai kota perak, Kotagede memang jadi sentra pengrajin logam mulia. Hampir sepanjang jalan Kotagede dipenuhi toko dan pengrajin perak serta emas. Keluarga konglomerat Jawa banyak lahir dari kota ini. Masyarakat Kalang sering dianggap sebagai masyarakat superkaya Jawa. Bahkan beberapa menganggap masyarakat asli Kotagede ini adalah “Rothschild-nya” Jawa.
Namun, kejayaan ini pelan-pelan sirna. Banyak komplek rumah megah mulai ditinggalkan penghuninya. Rumah kosong dan terbengkalai mulai menghiasi wilayah Kotagede. Semua berawal dari kesalahan tata ruang yang kebangetan. Dan kini, Kotagede menuju kota mati.
Pusat kerajaan yang ditinggalkan
Sebelum hari ini jadi titik kemacetan di Jogja, Kotagede adalah pusat pemerintahan Kasultanan Mataram. Awalnya daerah ini adalah bagian dari hadiah bagi Danang Sutawijaya. Ia mendapat hadiah dari Sultan Hadiwijaya alias Joko Tingkir karena berhasil menaklukkan Arya Penangsang. Tidak hanya seluas Kotagede, tapi seluruh Alas Mentaok.
Singkat cerita, Danang Sutawijaya melengserkan Sultan Hadiwijaya. Kemudian ia mendirikan Kasultanan Mataram dan bergelar Panembahan Senopati. Maka berdirilah Kraton Kotagede sebagai pusat pemerintahan. Bangkitlah kota ini sebagai pusat politik dan ekonomi Kerajaan Mataram.
Pada pemerintahan Sultan Agung, ibu kota Kasultanan Mataram dipindahkan ke daerah Kerto. Tidak jauh, hanya 4,5 km di selatan Kotagede. Alasan pemindahan ini belum jelas, beberapa mengaitkan dengan alasan keamanan menghadapi kedatangan bangsa Eropa. Ada juga teori yang menyebut topografi Kotagede kurang cocok untuk berkembang sebagai pusat pemerintahan.
Dalam pemindahannya sendiri ada dua versi. Versi pertama adalah Kraton Kotagede benar-benar ditinggalkan dan dibiarkan terbengkalai. Versi kedua adalah bangunan kayu Kraton Kotagede ikut diangkut dan dibawa ke Kerto.
Pusat “Rothschild” Jawa
Setelah ditinggalkan, Kotagede tidak lantas sepi. Masyarakat menjadikan Kotagede sebagai pusat ekonomi terutama perdagangan. Maka berdirilah Pasar Gede yang jadi sentra perdagangan Kasultanan Mataram. Bahkan setelah Ibu Kota Kasultanan Mataram berpindah dari Kerto ke Pleret, lalu Kartasura, dan terakhir ke Surakarta.
Bangkitnya Kotagede sebagai kekuatan ekonomi dimotori oleh masyarakat Kalang atau Wong Kalang. Kelompok masyarakat ini bisa ditarik sejarahnya sampai Kerajaan Majapahit. Masyarakat Kalang dikenal sebagai pedagang dan pengrajin logam mulia.
Masyarakat Kalang diselimuti oleh konspirasi. Banyak kabar burung yang menyebut masyarakat Kalang hanya boleh menikahi sesama anggotanya. Alasannya adalah untuk menjaga harta kekayaan mereka agar tidak dimiliki masyarakat lain. Konspirasi ini dibumbui mitos bahwa Masyarakat Kalang memiliki ekor kecil.
Untuk mitos ini bisa saya bantah. Sebelum menikahi nenek saya, kakek saya pernah menikah dengan salah satu Wong Kalang. Dan kakek saya membuktikan teori ekor itu tidak nyata.
Konspirasi kedua yang sering dibicarakan adalah kekuatan ekonomi Wong Kalang. Karena memiliki bisnis di bidang logam mulia, Wong Kalang dikenal super kaya pada masanya. Kekuatan ekonomi ini membuat Kasultanan Mataram dan penerusnya bergantung pada Wong Kalang. Banyak yang menyebut Wong Kalang sebagai debitor dan bankir bagi kerajaan penguasa Jawa ini.
Karena ketergantungan ini, Wong Kalang disebut punya pengaruh besar dalam pemerintahan Mataram. Mereka digadang seperti Keluarga Rothschild yang disebut menguasai ekonomi dunia.
Perkara kekayaan ini bukan konspirasi. Terbukti Wong Kalang sangat kaya dan mampu mendirikan rumah megah layaknya istana. Rumah megah berdinding tebal ini memenuhi wilayah Kotagede, terutama di barat Pasar Gede dan Masjid Agung Kotagede. Anda pernah dengar Rumah Pocong Sumi? Rumah viral ini adalah salah satu dari rumah Wong Kalang.
Kita akan bicara tentang kejatuhan Kotagede, yang bikin mereka terkubur dari peradaban.
Baca halaman selanjutnya
Kotagede mengubur dirinya sendiri
Tata kota yang amburadul
Ketika Anda masuk area Kotagede, Anda akan menemukan ratusan gang kecil. Gang ini menjadi akses menuju rumah-rumah super megah milik Wong Kalang. Bahkan di dalam gang selebar satu meter, berdiri deretan rumah megah dengan dinding setinggi 3 meter. Karena tingginya tembok dan sempitnya jalan, seolah-olah Anda memasuki terowongan.
Jarang ada akses jalan di perkampungan Kotagede yang cukup dilalui mobil. Seandainya ada, jalan ini akan berujung di persimpangan yang menyempit. Saya menebak akses jalan sempit ini disebabkan oleh kencangnya urbanisasi pada masa kejayaan Kasultanan Mataram.
Banyak masyarakat, terutama Wong Kalang, berkerumun memenuhi Kotagede. Padatnya Kotagede ini tidak diimbangi dengan membangun akses jalan yang luas. Toh pada masa itu tidak pernah ada bayangan kendaraan yang namanya mobil. Orang biasa berjalan kaki, paling banter naik kuda. Dan keduanya tidak membutuhkan jalan yang luas. Inilah yang menjadi awal mula Kotagede menuju kota mati.
Banyak makelar tanah yang mengeluhkan sulitnya menjual rumah di tengah Kotagede. Terutama rumah megah warisan Wong Kalang. Di satu sisi, harga rumah yang ditawarkan cukup mahal. Seperti yang saya sebutkan di awal, rumah di area ini megah layaknya istana. Namun di sisi lain, akses jalan yang sulit membuat orang tidak tertarik.
Bapak saya pernah mendapat tawaran rumah di Kotagede. Harganya waktu itu hanya beberapa ratus juta. Sangat murah untuk sebuah rumah megah. Namun, tidak ada akses jalan yang mumpuni. Motor papasan saja sulit. Hal ini yang mengurungkan niat bapak saya untuk membeli. Jika ditempati akan susah parkir mobil. Jika mau dijual kembali, pembeli pasti akan punya alasan yang sama seperti bapak saya.
Saya pernah bertamu ke salah satu rumah megah ini. Rumah ini dibeli oleh salah satu aktris ibu kota. Awalnya ia kagum dengan arsitektur rumah yang dindingnya saja setebal 1 meter. Namun aktris ini menunda untuk tinggal di rumah itu. Bahkan memilih tinggal di hotel ketika mengunjungi Jogja. Alasannya rumah itu ada di tengah kampung yang tidak bisa dilalui mobil.
Rumah megah yang ditinggalkan
Hari ini, banyak rumah di Kotagede yang dibiarkan terbengkalai. Pemiliknya memilih untuk bermukim di daerah lain yang punya akses jalan lebar. Ketika Anda berjalan-jalan ke Kotagede, Anda bisa menemukan beberapa deret rumah kosong yang artistik dan berdinding megah.
Akhirnya beberapa bagian dari rumah-rumah megah ini dijual “terpisah”. Terutama bagian pendopo yang seluruhnya terbuat dari kayu. Maka sempat ada krisis di mana ratusan pendopo dijual ke luar daerah. Upaya menjaga warisan budaya ini sedang gencar digalakkan di Kotagede.
Oleh karena menjadi warisan budaya, bangunan di Kotagede tidak bisa sembarangan dibongkar demi akses jalan. Lagipula, merelakan rumah megah disunat untuk akses jalan juga akan berat. Mau dibangun ulang pasti akan makan biaya lebih besar.
Akhirnya Kotagede sedang menuju menjadi kota mati. Bukan karena wabah apalagi keamanan. Semata-mata karena tata kota yang salah membuat Kotagede tidak menarik bagi pembeli. Di satu sisi, pemilik rumah itu juga lebih suka tinggal di rumah baru yang mudah diakses kendaraan.
Bisa saja beberapa belas tahun lagi, rumah-rumah itu mungkin akan berakhir layaknya Kraton Kotagede sendiri. Menjadi monumen saksi kejayaan Mataram dan Wong Kalang. Namun, sepi dan tak berpenghuni karena modernisasi dan tuntutan atas akses.
Penulis: Prabu Yudianto
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA Kotagede, Tanah Hadiah Saksi Lahirnya Mataram Islam