Mempertanyakan Penghargaan yang Disabet Kota Depok, Kota Paling Absurd di Indonesia

Mempertanyakan Penghargaan yang Disabet Kota Depok, Kota Paling Absurd di Indonesia Mojok.co

Mempertanyakan Penghargaan yang Disabet Kota Depok, Kota Paling Absurd di Indonesia (unsplash.com)

Tidak ada angin tidak ada hujan, Kota Depok tiba-tiba menggondol 3 penghargaan prestisius sekaligus. Pemkot Depok diganjar 3 penghargaan dalam bidang yang berbeda Kota Layak Anak (KLA), Universal Health Coverage (UHC), dan Wahana Tata Nugraha (WTN). Penghargaan yang saya yakin mengundang tanya bagi setiap warga Kota Depok, termasuk saya. 

Penghargaan pertama, Kota Layak Anak (KLA) dengan predikat Nindya dari Kementerian Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) pada 2023 lalu. Dengan kata lain, Kota Depok berhasil mempertahankan posisi ini selama 6 tahun berturut-turut atau sejak 2017.  

Penghargaan kedua, Universal Health Coverage (UHC) di kategori Pratama pada tahun 2024 oleh Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Kemenko PMK). Mengantongi UHC pertanda suatu daerah sanggup menerapkan sistem jaminan kesehatan dengan baik. Termasuk memberikan akses pelayanan kesehatan yang berkualitas dan terjangkau kepada warganya.

Terakhir, Pemkot Depok baru saja merayakan penghargaan Wahana Tata Nugraha (WTN) pada September 2024. Penghargaan ini memantapkan status Kota Depok yang konsisten dalam menata sistem transportasi.

Sebagai warga asli Kota Depok, penghargaan-penghargaan tadi sama sekali tidak membuat saya semakin bangga. Saya malah banyak mempertanyakannya. Apalagi kegelisahan sebagai warga Kota Depok semakin besar dan mengganjal di hati. 

Kota Depok (belum) betul-betul ramah anak

Menurut pandangan saya, Kota Depok sebenarnya belum begitu ramah anak. Sebagaimana yang kita tahu, anak-anak sebenarnya punya hak untuk hidup di ruang yang memadai. Salah satunya, arena bermain yang aman dan nyaman. Di negara lain, ruang semacam ini biasanya dapat dengan mudah diakses di Ruang Terbuka Hijau (RTH) yang ramah anak.

Bagaimana dengan di Kota Depok? Jangankan RTH ramah anak, ruang terbuka hijau saja tidak tersedia. Sampai saat ini, Kota Depok masih kekurangan RTH publik karena belum memiliki minimal 30% area—dan ini belum berbicara soal ramah anak atau tidak—dari keseluruhan luas wilayah.

Tidak hanya itu, pemkot juga belum sukses-sukses amat dalam membantu warganya di sektor pendidikan, entah dalam aspek keadilan maupun kesetaraan. Menurut laporan Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI), terdapat sekitar 24 ribu calon siswa SMP di Kota Depok yang mesti terdiskriminasi lantaran tidak bisa masuk ke sekolah negeri.

Padahal, seperti yang diketahui, biaya pendidikan murah yang tersedia di sekolah negeri (baik instansi favorit ataupun tidak) merupakan hak yang wajib dipenuhi oleh pemerintah. Namun, melihat jumlah sekolah negeri di Kota Depok masih tergolong minim, banyak anak yang akhirnya mengenyam pendidikan di sekolah swasta dengan biaya selangit. 

Fasilitas kesehatan masih bisa dikembangkan

Penghargaan UHC yang dikantongi kota ini saya rasa berlebihan. Menurut saya, akses kesehatan di sini masih tergolong sulit, terutama bagi masyarakat miskin dan rentan miskin. Dengan mengantongi penghargaan ini, seharusnya pemkot memperbaiki fasilitas puskesmas yang merupakan garda terdepan dalam pelayanan kesehatan supaya merata. Sebuah upaya yang sejauh ini tidak jelas tanda-tandanya. 

Selain itu, perlu diingat bahwa kesehatan tidak hanya berkutat pada kesehatan jasmani semata, melainkan juga rohani. Sudah bukan rahasia bahwa Kota Depok tengah menghadapi krisis kesehatan mental yang umumnya menyasar kelas bawah. Hingga 2023, Polres Metro Depok mengungkapkan bahwa ada tiga kasus bunuh diri akibat depresi. Dan ironisnya, itu adalah data yang tercatat, hanya puncak gunung es dari permasalahan ini.

Kota Depok masih macet!

Kota Depok diganjar Penghargaan Wahana Tata Nugraha (WTN) adalah hal paling ironis. Semakin banyak simpul-simpul kemacetan yang menguras kesabaran. Sejauh pengamatan saya yang sudah bertahun-tahun hidup di kota ini, transportasi publik yang belum memadai adalah biang kerok utama kemacetan. Transportasi publik yang bobrok membuat orang-orang lebih memilih menggunakan kendaraan pribadi. Kemacetan pun sulit terhindarkan. 

Kemacetan di kota ini seakan-akan sudah tidak lagi memiliki “jadwal” seperti di daerah-daerah lain. Percayalah, Kota Depok yang macet benar-benar menguras energi. Itu mengapa beberapa teman saya semakin ogah mengunjungi kota ini. 

Saya berharap pemkot benar-benar menyelesaikan masalah yang ada di Kota Depok daripada menyabet penghargaan-penghargaan  prestisius itu. Sebagai kota satelit yang menopang Jakarta, daerah ini memang perlu penanganan dan perhatian ekstra. 

Penulis: Muhammad Faisal Akbar
Editor: Kenia Intan

BACA JUGA 10 Tanda Kamu Sudah Muak dengan Kota Depok. Segera Pindah Sebelum Kamu Jadi Gila dan Menua di Jalanan

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Exit mobile version