Tempat wisata yang tidak terkelola dengan baik, malu sama daerah lain di Jawa Barat
Alasan ke dua agaknya relevan untuk menjawab alasan pertama. Minimnya tempat wisata/liburan bisa menjadi sebab utama rendahnya wisatawan. Bayangkan saja, untuk menikmati jernihnya kualitas sound system, tajamnya kualitas gambar dan empuknya kursi studio bioskop XXI, kami harus pergi ke Tasikmalaya. Yang ada lebih mahal perjalanan menuju ke sana dibanding tiket nonton.
Selain bioskop yang masih terbilang baru, beberapa tempat wisata di Kota Banjar tidak terkelola dengan baik. Sebut saja Banjar Waterpark.
Wahana wisata air yang saat awal buka langsung menjadi primadona warga, saat ini tidak terurus. Mengutip laman InewsTasikmalaya.id (12/11/2023) sebagian masyarakat di Kota Banjar menyebut Banjar Water Park sekarang sebagai sarang hantu. Suasana horor di kawasan Banjar Water Park semakin terasa apabila di malam hari, tidak ada penerangan dan sangat sepi.
Beberapa tempat wisata besar lainnya seperti Situ Mustika, Situ Leutik, Lembah Pejamben, dan Ecopark masih belum terkelola secara optimal. Begitupun dengan berbagai sarana pendukung pariwisata seperti ketersediaan restoran/rumah makan yang masih sedikit.
Data Badan Pendapatan Pengelolaan Keuangan dan Pendapatan Daerah Kota Banjar tahun 2023 menyebutkan bahwa jumlah restoran/rumah makan hanya ada 60 yang tersebar di 4 kecamatan. Lagi-lagi menjadi yang paling sedikit di Jawa Barat. Sementara itu, Pangandaran, pada 2023 saja punya 211 rumah makan/restoran.
Sudah sedikit, tidak dikelola dengan baik pula. Makanya, nggak heran apabila banyak para pengguna jalan enggan mampir.
Oleh-oleh khas Kota Banjar yang nggak punya kekhasan
Sebab selanjutnya Kota Banjar menjadi kota paling menyedihkan di Jawa Barat adalah karena oleh-oleh khas kami itu nggak punya kekhasan. Beda kalau menyebut Bandung, Garut, Sumedang, Cirebon, Pangandaran, dan lain-lain.
Sedikit cerita, saat Ramadan tahun lalu, saya sedang berada di luar kota. Setelah itu, bersama beberapa teman, kami janjian untuk saling tukar oleh-oleh. Bodohnya, saya malah bingung menentukan oleh-oleh khas Kota Banjar.
Setelah Googling, disebutkan bahwa oleh-oleh khas kami adalah “Rangicok”. Saya agak kaget karena sama sekali nggak punya konsep apa itu “Rangicok”. Semakin lucu ketika saya konfirmasi ke teman-teman sesama Banjar. Sebagian besar dari mereka juga baru pertama mendengar “Rangicok”, makanan daerah khas Kota Banjar.
Melansir laman budaya-indonesia.org Rangicok sendiri adalah singkatan dari Ranginang Cokelat. Semakin konyol ketika salah seorang teman berkomentar bahwa Rangicok tidak seperti makanan khas daerah pada umumnya. Menurutnya, makanan khas daerah identik dengan ciri khas maupun keunikan tersendiri.
“Rangicok kan nasi aron alias nasi yang sudah mulai basi, kemudian dijemur hingga kering dan digoreng. Setelah itu dilumuri cokelat. Apalagi Ranginang sendir bukan khas Kota Banjar, tapi Banten. Jadi hanya dimodifikasi saja yang biasanya Ranginang rasanya asin dan tidak memiliki varian rasa.” Ujar teman saya yang celakanya kok masuk akal.
Meskipun demikian, teman saya tetap bangga. Apalagi, Rangicok, dalam festival Wirausaha Baru Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi Jawa Barat, berhasil menjadi juara pertama sebagai inovasi produk makanan olahan baru.
Nah, sebagai warga Kota Banjar yang baik, saya hanya bisa memberikan kritik dan masukan. Kepada pemangku kebijakan, sudah saatnya berbenah dan lebih bisa memanfaatkan setiap potensi.
BACA JUGA Banjarnegara-Kebumen via Gombong: Jalur Berbahaya yang Nggak Disarankan buat Pengendara Amatiran
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.