Ironi Kota Bandung: Ibu Kota Provinsi yang Nggak Punya Sistem Transportasi Publik yang Proper

Kota Bandung yang Semakin Terasa Asing (Unsplash)

Kota Bandung yang Semakin Terasa Asing (Unsplash)

Sejak saya kanak-kanak, saya selalu didoktrin oleh orang-orang di sekitar saya bahwa Jakarta itu macet, panas, dan semerawut. Beda jauh dengan Kota Bandung. Hal ini semakin saya yakini setelah satu sekolah dan satu kampus dengan perantau asal Jakarta yang sengaja jauh-jauh menuntut ilmu di Bandung karena mereka nggak mau macet-macetan dan panas-panasan di Jakarta. Mereka mau hidup dengan tenang di kota ini.

Dua puluh tahun yang lalu, argumen saya di atas masih relevan. Sampai-sampai membuat saya besar kepala saking bangganya. Tapi sekarang hal tersebut sudah tidak relevan sama sekali. Berikut ini alasannya.

Kota Bandung resmi jadi kota termacet di Indonesia

Dilansir dari Ayobandung.com, Asian Development Outlook 2019-Update menyebut bahwa Kota Bandung menempati urutan ke-14 sebagai kota termacet di Asia. Urutan tersebut di atas Jakarta yang menempati posisi ke-17, yang artinya lebih macet dari Jakarta. Populasi masyarakat di Kota Bandung sendiri jumlahnya 2,4 juta jiwa, sedangkan jumlah kendaraan bermotor yang ada di Kota Bandung jumlahnya mencapai 2,2 juta unit. Gimana nggak macet?

Bandung Raya (Kota Bandung, Kota Cimahi, Kabupaten Bandung, Kabupaten Bandung Barat) belum punya sistem bus yang proper seperti di Jakarta. Bandung Raya juga belum punya kereta rel listrik commuter line (KRL), ada mass rapid transit (MRT), ada light rail transit (LRT) seperti Jabodetabek. Sehingga, mau nggak mau, masyarakat Bandung Raya harus menggunakan kendaraan pribadi sebagai sarana untuk bepergian setiap hari.

Bandung Raya memang memiliki Kereta Api Commuter Line Bandung Raya. Tapi, keberadaan kereta tersebut saya nilai tidak terlalu membantu mengurai kemacetan di Bandung Raya. Pasalnya, kereta tersebut hanya melewati rute PP Bandung Barat (Padalarang dan sekitarnya) ke Bandung Timur (Cicalengka dan sekitarnya) saja. Sedangkan wilayah Bandung Utara (Lembang dan sekitarnya) dan Bandung Selatan (Ciwidey dan sekitarnya) tidak terjamah sama sekali.

“Kalau bus gimana?”

Bandung Raya memang memiliki Bus Trans Metro Bandung (TMB) dan Bus Trans Metro Pasundan (TMP) yang bisa mengurangi ketergantungan masyarakat Bandung Raya akan kendaraan pribadi. Tapi jumlah armada dan koridornya masih sangat terbatas. Selain itu,  sejak pertama diluncurkan, Bus TMP kerap mendapatkan pengadangan dari oknum sopir angkot sehingga lagi-lagi, masyarakat lebih memilih kendaraan pribadi.

Baca halaman selanjutnya

Kenapa nggak bikin sistem yang proper sih?

Kenapa nggak bikin sistem transportasi publik yang proper sih?

Alih-alih membuat sistem transportasi publik yang baik atau menyelesaikan masalah dengan sopir angkot di atas, Pemerintah Jawa Barat malah membangun Masjid dan Patung Sukarno dengan nilai yang amat fantastis. Saya yakin yang geleng-geleng kepala akan hal tersebut bukan cuma saya aja. ~wqwqwq

Sebagai orang yang sejak lulus kuliah bolak-balik Jakarta untuk bekerja, saya menilai, semacet-macetnya Jakarta, masyarakat DKI Jakarta masih punya alternatif transportasi publik dibandingkan dengan masyarakat Bandung Raya. Ada KRL, MRT, LRT, Bus Transjakarta, hingga Jak Lingko. Setidaknya, masyarakat DKI Jakarta bisa duduk tenang di kendaraan umum alih-alih macet-macetan di jalan raya kayak masyarakat Bandung Raya.

Masyarakat Bandung Raya nggak punya pilihan sama sekali selain menggunakan kendaraan pribadi. Sistem transportasi umumnya masih jelek. Maksain naik ojek online atau taksi online harganya mahal sehingga menggunakan kendaraan pribadi jauh lebih masuk akal meski capek banget.

Bukan nggak bersyukur, tapi saya sayang banget dengan Bandung!

Bandung memiliki Institut Teknologi Bandung, Universitas Padjajaran serta berbagai kampus PTN dan PTS lainnya. Di universitas tersebut, Ilmu Perencanaan Wilayah dan Kota, Ilmu Arsitektur, Teknik Sipil, Teknik Lingkungan, dan rumpun Ilmu Sosial berkumpul.

Kenapa Pemerintah Jawa Barat dan Pemerintah Kota Bandung nggak minta saran dari mereka saja untuk kemudian dipraktikkan? Jadi kepo, kendalanya apa sih? Apa anggarannya nggak cukup? Kan bisa bikin masjid dan Patung Sukarno dengan nilai fantastis. Kenapa yang esensial gini nggak bisa?

Saya ngeluh kayak gini juga bukan berarti saya benci dengan Bandung. Saya juga nggak benci dengan masyarakatnya atau Pemerintahnya. Justru saya sayang banget dengan Bandung. Saya pengin Bandung kayak dulu lagi. Nggak macet dan nggak panas. Nggak usah muluk-muluk seindah zaman Kolonial Belanda sampai-sampai dijuluki Paris van Java, minimal seadem kayak zaman Dilan 1990 gitu deh.

Biar bagaimanapun, Kota Bandung adalah tempat kelahiran saya. Kota Bandung adalah kota tempat saya tumbuh dan berkembang. Kota Bandung juga barangkali akan jadi tempat saya dikebumikan kelak.

Dulu saya selalu bangga dengan Kota Bandung karena kotanya nggak semacet Jakarta dan nggak sepanas Jakarta sehingga banyak orang Jakarta merantau untuk kuliah atau bekerja di sini. Setelah dapat predikat jadi kota termacet di Indonesia, saya mau ngasih saran untuk orang Jakarta yang berencana kuliah atau bekerja di sini: putar balik. Udah, nggak usah ngeyel.

Penulis: Raden Muhammad Wisnu
Editor: Rizky Prasetya

BACA JUGA Kota Bandung yang Semakin Terasa Asing

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Exit mobile version