Saya lahir dan besar di Gamping, sebuah kapanewon di Sleman sisi barat. Dahulu, kapanewon ini identik dengan persawahan, pasar sore, truk pasir, dan jalanan rusak. Kini Gamping mulai berubah jadi “Las Vegas” mini di barat Yogyakarta. “Las Vegas” di sini tidak merujuk pada industri perjudian yang ada di Amerika Serikat ya. “Las Vegas” di sini adalah metafora dari kebebasan, sebab di Gamping mulai menjamur kos campur yang katanya open minded dan sering menyulut polemik sosial.
Bagi yang masih asing dengan istilah ini, saya jelaskan artinya. Kos Las Vegas atau kos LV adalah istilah sarkas atau candaan yang sering dipakai untuk menyebut kos campur yang aturannya benar-benar bebas. Maksudnya, penghuni laki-laki dan penghuni perempuan tinggal di bangunan yang sama, bahkan kadang diizinkan satu lantai yang sama dengan sistem keamanan yang longgar. Beberapa penghuni bisa menentukan batasan sendiri atas kebebasan yang diberikan pemilik kos. Namun, tidak sedikit yang …. yah, nggak usah dijelaskan ya.
Kos LV meresahkan warga
Sebenarnya area Gamping, Sleman di mana kos LV yang menjamur ini bukanlah kawasan tempat tinggal saya. Namun, saya tidak asing dengan fenomena itu karena sering main ke daerah itu karena ada kawan yang ngekos di sekitar sana. Dia cerita, kalau di sebelah kosnya, ada kos LV. Dia sering melihat penghuni laki-laki yang mondar-mandir ke kamar penghuni perempuan malam-malam. Awalnya, dia pikir penghuni laki-laki itu ada keperluan kos pada umumnya seperti meminjam charger atau berbagi mie instan. Namun, kejadian mampir ke kamar lawan jenis ini terjadi hampir tiap malam.
Sebenarnya, warga sekitar sudah mulai gelisah. Beberapa tidak segan-segan menyindir keberadaan kos LV ini. Saya pernah dengan telinga sendiri seorang penjual gorengan dekat kos LV berkata, “Anak zaman sekarang kok nggak punya malu, Mas. Kos kayak gitu kok dibiarkan,” ucapnya dengan volume pelan, tapi ekspresi dan nada bicaranya begitu intens, menggambarkan betapa besar kekhawatirannya.
Baca halaman selanjutnya: Saya memahami …
Saya memahami kekhawatiran ibu penjual gorengan dan warga sekitar. Sebab kos LV sekarang ini memang muncul secara lebih terang-terangan. Beberapa bahkan mempromosikannya di media sosial. Di TikTok, muncul video “room tour” kos LV lengkap dengan aesthetic lamp dan bantal couple. Kondisinya beda banget dengan dahulu. Ngekos di kos LV adalah hal yang disembunyikan. Mahasiswa enggan mengaku tinggal di kos campur, apalagi kalau orang tua tahu.
Ditambah, kos LV ini kadang justru lebih laris daripada kos biasa. Harga sewa memang biasanya lebih lebih tinggi, tapi fasilitas lebih lengkap (Wi-Fi kenceng, kamar mandi dalam, ada rooftop). Dan, tentu saja fasilitas utamanya yang jadi primadona: bebas. Penghuni bebas bawa teman siapa saja. Mau belajar kelompok sampai malam, atau sekadar “ngobrol spiritual”, semua bisa diatur.
Polemik panjang
Saya tahu, tulisan ini bisa memicu dua reaksi: “Wah bener tuh, mahasiswa sekarang makin edan,” atau “Lho, hidup orang kok diatur?” Pendapat saya pribadi? Saya memahami kenapa fenomena ini muncul.
Tidak, saya tidak membenarkan mahasiswa yang ingin hidup sebebas-bebasnya ala Las Vegas yang tidak pernah tidur. Memahami kos LV disini maksudnya saya mengerti kalau mahasiswa zaman sekarang banyak sekali tuntutan kuliahnya. Itu mengapa mereka butuh ruang yang lebih fleksibel. Mereka butuh tempat tinggal yang bisa sekaligus jadi tempat kerja, belajar, healing. Sayangnya, fleksibilitas itu kadang kebablasan jadi kebebasan yang tidak terkendali.
Fenomena menjamurnya kos LV ini tidak bisa menyalahkan para mahasiswanya saja sebagai penyewa. Pemilik kos perlu menerapkan pengawasan, kampus harus berperan, dan masyarakat juga perlu membuka ruang dialog. Nggak semua kos campur itu buruk. Tapi, kalau dibiarkan tanpa aturan dan pengawasan, maka bukan mustahil Gamping jadi Seturan versi barat, lengkap dengan semua polemiknya.
Pada akhirnya, fenomena kos LV ini mencerminkan dinamika kota pendidikan yang makin kompleks. Gamping, Sleman tak lagi sekadar jalur alternatif ke Bantul. Ia tumbuh jadi zona transisi: antara ketenangan kampung dan kebebasan kota. Dan di antara semua itu, ada anak-anak muda yang hanya ingin tempat tinggal nyaman dan bebas demi kepentingan kampus atau pekerjaan maupun kepentingan-kepentingan lain.
Apakah ini buruk? Belum tentu. Tapi apakah ini perlu diwaspadai? Jelas iya.
Penulis: Janu Wisnanto
Editor: Kenia Intan
BACA JUGA 4 Keuntungan Punya Rumah Dekat Kuburan yang Jarang Disadari Orang
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
