Keputusan Bapak Gubernur DKI Jakarta mencopot atap JPO Sudirman supaya warga bisa menikmati pemandangan (lagi-lagi) Ibukota dan selfie-selfie, menuai pro dan kontra di kalangan netizen. Sebagai anak Jaksel, saya malah baru tahu berita soal JPO Sudirman ini dari Mojok. Begitulah kenyataannya, wahai Jamaah Mojokiyyah yang budiman. Menjadi warga Jakarta belum tentu menjadi yang paling tahu tentang apa yang sedang ngehits di Ibukota.
Mungkin juga saya nggak tahu karena saya nggak berkantor di daerah Sudirman. Sekali lagi, menjadi warga Jakarta belum tentu bisa ngantor di kawasan bisnis elit semacam Sudirman dan Kuningan. Semua emang tergantung nasib. Ngenes yak. Maap jadi curcol. Kendati demikian, saya bersyukur nggak harus dipusingkan dengan kemacetan Jakarta saat berangkat dan pulang kerja karena saya selalu mengandalkan koridor langit.
Eits, ini bukan berarti saya naik awan kintonnya Goku yaa. Tapi Jakarta memang memiliki koridor langit. Baru tau kan?! Sobat Mojok yang berasal dari luar daerah, kudu mesti wajib nih mencoba koridor langit saat berkunjung ke Jakarta. Kalau ngerasain macetnya Jakarta mah udah biasa. Kapan lagi kan bisa ngerasain sisi lain Jakarta yang bebas macet?!
Koridor langit adalah sebutan gaul untuk koridor bus Transjakarta (busway) ketiga belas yang diresmikan tahun 2017. Sobat Mojok bisa naik busway koridor langit ini dari terminal Blok M (langsung), terminal Kp. Melayu (langsung), dan terminal Pulogadung (transit). Koridor 13 disebut koridor langit karena menggunakan jalur layang bebas macet yang terbentang lebih dari sembilan kilometer dari Jalan Tendean (Jakarta Selatan) hingga Jalan Adam Malik (perbatasan antara Jakarta Selatan dan Kota Tangerang).
Fyi, jalur ini terkenal sangat macet dengan waktu tempuh mencapai dua jam pada jam-jam sibuk. Tapi, dengan adanya koridor langit, bisa dipangkas menjadi setengah jam aja karena jalur ini hanya diperuntukkan untuk busway. Kehadiran koridor langit disambut baik para warga Tangerang yang bekerja di Jakarta (yang jumlahnya ternyata banyak banget). Saya nggak tahu siapa gubernur yang menggagas koridor langit, tapi pembangunan jalur busway ini sudah dikerjakan sejak Pak Ahok masih menjabat sebagai gubernur.
Selain bisa menghemat waktu dan mengurangi stres lantaran nggak harus bermacet-macet ria, koridor langit juga memiliki keistimewaan lainnya, yakni kita bisa menikmati pemandangan (lagi-lagi) Jakarta dari ketinggian. Walaupun ketinggian koridor layang ini sangat bervariasi tergantung kondisi jalan di bawahnya. Menurut saya, jalur yang paling tinggi adalah jalur yang menghubungkan halte Swadarma dan halte JORR 2, karena jalur ini terbentang di atas elevated highway Jakarta Outer Ring Road.
Emang nggak banyak view yang bagus saat pagi dan siang hari. Pemandangan di sepanjang koridor langit mulai terlihat bagus menjelang malam. Kita bisa menikmati langit jingga yang terbentang di cakrawala. Masih keliatan cukup jelas kok, meskipun Jakarta dan Tangerang itu terkenal paling tinggi tingkat polusinya. Hehehe.
Ketika matahari terbenam, gemerlap lampu hias berwarna-warni mulai terlihat jelas. Nggak ketinggalan, atraksi lampu led yang menghiasi beberapa skycrapers di kawasan Kuningan dan Gatot Subroto ikut memeriahkan pemandangan (lagi-lagi) Ibukota di malam hari. Saya paling suka melihat atraksi lampu led gedung Telkom yang bisa dilihat di sepanjang jalur Tirtayasa menuju Tendean karena bentuk gedungnya unik, jadi terlihat berbeda dari bangunan di sekitarnya.
Sayang sekali, saya dan juga pengguna setia koridor langit yang jumlahnya puluhan ribu, nggak bisa mendokumentasikan view bagus tersebut karena penumpang dilarang turun ke jalur busway. Namun, ada juga beberapa orang yang mengambil foto di halte dan dari dalam busway, meski hasilnya nggak sebagus jika diabadikan dari jarak yang lebih dekat.
Jika tujuan Pak Gubernur mencopot atap JPO Sudirman hanya agar warga bisa menikmati pemandangan (lagi-lagi) Ibukota dan berswafoto, saya rasa koridor langit lebih cocok dari segi lokasi dan tentunya nggak mengundang kontroversi. Pak Gubernur dan jajaran stafnya bisa memanfaatkan halte CSW yang berada tepat di atas jalur layang MRT Fase I yang melayani rute Lebak Bulus – Bundaran Hotel Indonesia.
Halte CSW nggak dioperasikan karena letak haltenya yang menjulang tinggi dianggap nggak “ramah” bagi penyandang disabilitas. Pak Ahok pernah mewacanakan akan membangun eskalator di sana, tapi rencananya urung dijalankan karena beliau nggak terpilih jadi Gubernur DKI. Nah, daripada dianggurin, Pak Anies bisa menjadikan halte CSW sebagai salah satu spot wisata bagi warga Jakarta yang ingin menikmati pemandangan Jakarta dan pastinya buat yang cuma mau selfie-selfie aja.
Malahan, Pemprov DKI juga bisa mengadakan wisata malam menyusuri koridor langit dengan busway bergambar lucu-lucu. Para wisatawan bisa singgah di beberapa spot yang memiliki pemandangan paling bagus dan Instagram-able. Emang sih, cuma ngeliat view jalanan (lagi-lagi) Ibukota yang padat merayap atau gedung-gedung bertingkat yang penuh sesak. Tapi worth it lah, buat melepas penat setelah rutinitas kerjaan yang nggak abis-abis.
Saya yakin banyak warga Jakarta yang akan tertarik mengikuti wisata ini jika memang bisa direalisasikan oleh Pemprov DKI. Nggak perlu nambah anggaran, malah bisa nambah pemasukan karena warga pun tetap diharuskan membayar tarif busway sebesar tiga ribu lima ratus perak. Apalagi jika berkesempatan selfie bareng dengan Bapak Gubernur dan Papah Online yang diidolakan tujuh juta warga Jakarta. Jadi, siapa yang penasaran pengin mencoba naik busway koridor langit?
BACA JUGA Memahami Logika Atap JPO yang Dicopot Anies Baswedan atau tulisan Hiki lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.