Sekitar satu atau dua tahun terakhir, jagat per-YouTube-an Indonesia mengenal satu tren konten baru: crazy rich. Terminologi ini mungkin dikenal awal sekali dari meledaknya sebuah film yang berjudul Crazy Rich Asian. Namun, di Indonesia, ini diawali salah satunya dengan konten “Bondo Wani” dari Majelis Lucu Indonesia yang membahas soal Crazy Rich Surabaya bersama crazy rich-nya langsung.
Sontak para “orang kaya gila” ini mendapat panggung sekaligus lampu sorot. Para crazy rich ini juga mulai merambah dunia YouTube, yang mana konten-kontennya tidak jauh dari pamer harta.
Crazy rich mengacu pada orang-orang yang kekayaannya sundul langit, yang mana kelakuan “gila” mereka kadang bikin “kawula” seperti kita ini geleng-geleng kepala. Mulai dari keinginan membeli mal yang seakan enteng banget, memamerkan jejeran Ferrari dan Lamborghini di garasi, hingga ketidaktahuan mereka akan sebuah snack bernama Kacang Sukro yang kondangnya bukan main itu. Kelakuan mereka inilah yang sepertinya membuat “kawula-kawula” macam kita ini sempat kepincut dengan konten mereka.
Sebut saja Crazy Rich Surabaya, Crazy Rich Kampoeng, Juragan99, Indra Kenz, Rudy Salim, hingga Raffi Ahmad, yang konten-konten mengenai kekayaannya berserakan di YouTube. Tak sekadar berserakan, konten-konten mereka juga menarik banyak penonton hingga menembus angka jutaan. Tak heran jika akhirnya beberapa stasiun TV juga tidak mau kalah dengan menggaet beberapa dari mereka untuk membuat program, termasuk Indosiar yang membuat segmen roasting kepada beberapa crazy rich ini. Aneh.
Namun, mari kita kembali ke hukum alam bahwa tidak ada tren yang bertahan lama. Dan tren konten crazy rich adalah salah satunya. Tren konten crazy rich yang satu atau dua tahun lalu kerap mengisi kolom trending topic di YouTube, kini sudah tenggelam, tidak laku, dan perlahan dilupakan. Jika konten-konten ini dulunya bisa meraup ratusan ribu hingga jutaan penonton, kini mendapat sepuluh ribu penonton saja sudah bagus.
Konten crazy rich yang sekarang tidak laku sebenarnya punya alasan yang masuk akal. Pertama, dari segi kreatif. Gini, apa yang bisa dikembangkan dari konten yang isinya hanya pamer-pamer kekayaan? Tidak ada. Potensi yang dimiliki oleh para crazy rich ini ya hanya harta mereka. Ketika semua harta, baik itu mobil mewah, rumah megah, uang melimpah, atau kerajaan bisnis sudah dipamerkan semuanya, apalagi yang harus mereka pamerkan?
Dari segi kreatif saja, konten-konten mereka ini susah banget untuk dikembangkan. Kalau sudah mentok untuk dikembangkan, ya gimana mereka mau bertahan lama? Selamanya konten para crazy rich ini akan berada di situ-situ saja. Kalau tidak pamer harta, paling ya foya-foya. Tidak bisa dikembangkan lagi. Mending kalau kontennya bagus, lha ini “jelek saja belum”, kok.
Alasan kedua adalah perkara ketertarikan masyarakat. Adalah hal yang wajar jika di awal kemunculan para crazy rich di YouTube dengan konten mereka, banyak orang yang tertarik. Sebelum kemunculan mereka, memang tidak ada yang pamer-pamer harta dan kekayaan, apalagi dari kalangan non-pejabat. Selama ini, yang diidentikkan dengan kekayaan (dan suka pamer kekayaan) ya hanya pejabat. Kalau pengusaha-pengusaha kaya, tidak ada yang pamer sampai dibuat konten seperti ini.
Makanya ketika orang-orang crazy rich non-pejabat ini muncul di media sosial, terutama YouTube, dengan konten pamer harta, banyak orang yang kepincut dengan konten mereka. Entah karena memang tertarik, termotivasi untuk jadi crazy rich (ini yang susah), atau sekadar berharap welas asih dari para crazy rich dengan giveway-nya. Intinya, para crazy rich ini sukses menggaet penonton di awal kemunculan mereka dengan konten pamer hartanya.
Mulai tidak laku dan perlahan dilupakan
Kita semua mungkin percaya hal ini, bahwa konten itu ada umurnya. Konten yang bagus dan fresh sekalipun, akan ada masanya untuk kedaluwarsa. Itu konten bagus, ya. Lha kalau kontennya jelek—bahkan jelek saja belum—kedaluwarsanya pasti akan lebih cepat. Inilah yang terjadi dengan konten kebanyakan crazy rich yang mulai tidak laku dan perlahan dilupakan.
Berangkat dari dua alasan di atas, kita harusnya paham mengapa konten crazy rich ini sudah tidak laku lagi. Soal kreatif, mereka sudah mentok dengan konten pamer-pamer harta. Mereka seperti tidak punya apa-apa lagi untuk dibuat konten, sebab hanya pamer-pamer harta yang bisa mereka lakukan.
Soal ketertarikan masyarakat, ini juga sudah tidak dapat diantisipasi lagi. Masyarakat sekarang sudah malas dengan konten-konten pamer harta. Bayangkan, berbulan-bulan masyarakat disuguhi konten pamer-pamer harta yang entah apa tujuannya. Sudah kontennya gitu-gitu aja, nggak ada isinya pula. Wajar jika yang nonton cepat malas. Lagian, ngapain juga terus-terusan nonton orang-orang kaya kemaki dengan harta-hartanya, pamer sana-sini? Mending nonton Windah Basudara ngoceh-ngoceh dan “ngemong” para bocil kematian.
Setahun terakhir, kita mungkin sudah jarang melihat konten-konten crazy rich berserakan di beranda YouTube kita. Pun pembicaraan mengenai mereka juga perlahan mulai hilang, perlahan dilupakan, menyisakan Indra Kenz yang dipenjara karena menipu, dan tuduhan keterlibatan salah satu anggota Crazy Rich Surabaya dengan Konsorsium 303 yang erat kaitannya dengan Ferdy Sambo. Sisanya, seakan tenggelam tertimbun waktu.
Bagus, lah. Setidaknya, beranda YouTube kita sudah tidak ada orang-orang kaya aneh dan “gila” pamer-pamer harta. Ibaratnya, YouTube itu seperti tongkrongan kita. Dan biasanya, kalau orang-orang kaya sudah nimbrung, suasana tongkrongan kita jadi nggak asyik.
Penulis: Iqbal AR
Editor: Intan Ekapratiwi
BACA JUGA Konten YouTube Crazy Rich Surabayans Mengajari Kita buat Sawang-Sinawang.