Konsep Alun-Alun Surabaya Itu Menyalahi Kodrat, tapi Justru Paling Relevan di Zaman Sekarang

Konsep Alun-Alun Surabaya Itu Menyalahi Kodrat, tapi Justru Paling Relevan di Zaman Sekarang

Konsep Alun-Alun Surabaya Itu Menyalahi Kodrat, tapi Justru Paling Relevan di Zaman Sekarang (Zainal Yudharta/Shutterstock.com)

Alun-Alun Surabaya adalah alun-alun yang menyalahi kodrat. Gimana nggak menyalahi kodrat, alun-alun satu ini full keramik. Padahal definisi alun-alun menurut Wikipedia adalah lapangan terbuka yang luas dan berumput. Belum lagi kalau dalam falsafah Jawa ada istilahnya Catur Gatra yang mengatur soal tata letak sebuah alun-alun. Alun-alun diyakini harus dikelilingi oleh 4 tempat publik, yakni pusat pemerintahan, pusat kegiatan sosial, masjid, dan tentu saja pasar.

Meski begitu, kalau boleh jujur, saya justru menyukai konsep Alun-Alun Surabaya, sebab beginilah alun-alun yang dibutuhkan di zaman sekarang. Apalagi alun-alun di sini nggak cuma soal keramik. Di sini kita bisa menikmati fasilitas yang nggak kalah menarik.

Jadi menarik karena menyediakan berbagai fasilitas yang bisa diakses publik meski nggak berupa lapangan rumput luas

Siapa sangka di Alun-Alun Surabaya ada perpustakaan buat pengunjung yang suka membaca buku sambil ngadem. Di sini, ada pula museum yang bisa dikunjungi untuk menambah pengetahuan. Bahkan, ada semacam galeri seni di bawah tanah buat yang suka dengan suasana estetis dan kebutuhan konten media sosial itu.

Iya, di sini banyak tempat teduhnya. Tentu saja cocok bagi pengunjung yang ingin sekadar ngadem, duduk lesehan, atau melamun sepuasnya.

Baca halaman selanjutnya: Konsep seperti ini tentu lebih bermanfaat…

Konsep Alun-Alun Surabaya yang seperti ini tentu jauh lebih bermanfaat dibanding alun-alun dengan konsep lapangan terbuka yang panas. Memangnya siapa yang ingin berjemur? Apalagi di tengah kota besar yang suhunya seperti Surabaya yang panasnya ugal-ugalan ini.

Lagi pula alun-alun ini jelas lebih bermanfaat ketimbang konsep alun-alun tradisional yang isinya cuma lapangan luas tanpa fasilitas. Kalau Alun-Alun Surabaya masih mengikuti konsep tradisional berupa lapangan luas berumput, memangnya yakin orang-orang mau nongkrong lama-lama di sana? Saya sih ragu ya soalnya ini Surabaya, Gais, bukan pegunungan Dieng yang sejuk.

Sudah tahu kan panasnya Kota Pahlawan bikin orang-orang lebih memilih ngadem di mall atau kafe terdekat daripada nongkrong di lapangan terbuka? Jadi, kalau alun-alunnya terlalu lapang, ya siap-siap jadi tempat jemuran raksasa aja.

Alun-Alun Surabaya menang telak dibanding alun-alun daerah lainnya

Di daerah lain, konsep alun-alun masih tentang lapangan luas, berumput, dan minim tempat berteduh. Di Lamongan misalnya. Alih-alih menambah banyak tempat duduk dan berteduh, alun-alunnya malah ada wahana bianglala. Sebenarnya menambah spot hiburan dan membuatnya mirip Alun-Alun Kota Batu yang terkenal dengan spot bianglalanya itu nggak salah. Tapi, kurang pas saja menurut saya. Sebab, kalau mencari sekadar bianglala, di pasar malam juga ada.

Di Tuban juga demikian. Beberapa kali dilakukan renovasi tapi konsepnya sama, yakni alun-alun yang panas ketika siang. Lantas, fungsi alun-alun sebagai tempat berkumpul ini apa? Siapa yang masih mau ke alun-alun kalau konsepnya saja dibuat sangat terbuka, yang panasnya ugal-ugalan ketika siang?

Alun-alun yang keramikan ini juga bikin Surabaya menang telak dibanding alun-alun di daerah lain. Apalagi dengan kota sebelah yang, ehem, alun-alunnya dipagari itu sehingga warganya nggak bisa masuk. Iya, alun-alun yang selalu bikin orang mbatin, “Ngapain ada alun-alun kalau cuma bisa dipandangi dari luar pagar?” Padahal esensi alun-alun kan sebagai ruang publik untuk semua orang. Nggak sekalian aja dibikin kolam koi?

Jadi, meskipun konsep Alun-Alun Surabaya menyalahi pakem tradisional, saya harus bilang justru inilah alun-alun yang dibutuhkan di zaman sekarang. Sebuah tempat terbuka yang nyaman, modern, dan ramah buat nongkrong warga tanpa harus takut kepanasan.

Karena itu, untuk daerah lain, saya kira perlu banget mencontoh konsep Alun-Alun Surabaya ini. Sebab, masyarakat lebih butuh tempat nongkrong gratis yang nyaman, ketimbang lahan luas penuh rumput untuk berjemur.

Penulis: M. Afiqul Adib
Editor: Intan Ekapratiwi

BACA JUGA Alun-alun Surabaya, Tempat Wisata Baru yang Menarik untuk Dikunjungi.

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Exit mobile version