Media publik kemarin sore (24/03) dipenuhi pemberitaan kericuhan kongres HMI yang ke-31 di Surabaya. Entah itu media pemberitaan televisi, internet, maupun media sosial. Kericuhan kongres ini menjadi pemberitaan hangat yang digodok sana sini oleh masyarakat. Bahkan ibu saya sendiri mengumpat nggak karuan setelah mendengar berita ricuhnya kongres HMI itu.
Ricuhnya suatu kongres bagi publik tampaknya sebagai suatu ketidakwajaran. Hal ini akhirnya malah digemparkan oleh berbagai media publik. Seolah-olah kongres itu seharusnya nggak pakai ricuh, dengan dalih moral-moral yang melatarbelakanginya.
Namun, bagi saya pribadi, kalau kongres nggak ricuh itu malah nggak asyik, lo, nggak ada greget-gregetnya sama sekali. Coba deh, bayangin bagaimana monotonnya jika suatu kongres nggak ada ricuhnya sama sekali. Malah nanti kongresnya ibarat kuliah mendengarkan dosen yang ngomong ngalur ngidul, tapi membosankan, menjenuhkan, bahkan gabutnya minta ampun. Pasti krik-krik suasananya. Bukankah begitu?
Lagi pula, kericuhan sendiri bukanlah sesuatu hal yang baru di suasana kongres HMI. Kongres-kongres HMI sebelumnya juga terdapat kericuhan di dalamnya, seperti kongres HMI ke-30 di Ambon yang mendekati detik-detik pemilihan ketua umum PB HMI juga berakhir ricuh. Kongres HMI ke-29 di Pekanbaru juga ricuh karena ketidaksepakatan pada keputusan presidium sidang.
Lantas jika kongres HMI ke-31 juga terjadi kericuhan, lalu memangnya kenapa? Toh, itu sudah menjadi budaya kongres HMI! Ya, biasalah itu.
Saya teringat sebuah potongan petuah dari presiden keempat Indonesia, yakni Almarhum Gus Dur, “Kalau HMI selalu menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan…” Jadi, intinya HMI suka yang pragmatis-pragmatis begitu. Dan, begitulah yang terjadi di kongres HMI ke-31 di Surabaya saat ini.
Terjadinya kericuhan dalam kongres HMI ke-31 di Gedung Islamic Center, Surabaya dikarenakan terdapat usulan oleh segelintir pihak yang tidak disepakati oleh mayoritas kader HMI dalam forum kongres tersebut.
Ketika usulan tersebut tidak disepakati, akhirnya segelintir pihak tersebut membuat kegaduhan, yang akhirnya memicu kericuhan dalam forum kongres HMI tersebut. Kursi-kursi mulai dilayangkan, kaca-kaca gedung mulai dipecahkan, amarah diri mulai digelontorkan.
Kalau begitu, berarti betul petuah Gus Dur sebelumnya. Ketika dengan cara usulan tidak dapat mencapai tujuan yang diharapkan, maka cara kekerasan, kegaduhan, atau kericuhan menjadi cara yang dihalalkan untuk mencapai tujuan.
Bukannya saya gimana-gimana, ya, tapi kenyataan yang terjadi memang seperti itu. Terlebih, Gus Dur telah memahami pola penghalalan cara oleh para kader HMI untuk mencapai suatu tujuannya.
Lantas bukankah itu cerminan tindakan amoral?
Perihal moral atau amoral itu urusan lain dalam dunia politik, layaknya dalam kongres HMI. Bahkan dalam dunia perpolitikan lain seperti pemilihan presiden mahasiswa, bahkan presiden Indonesia, juga menyisihkan perihal moralitas, yang terpenting tercapai dulu tujuannya.
Layaknya gagasan yang disampaikan oleh Machiavelli bahwa etika tidak lagi diperlukan dalam kekuasaan bila kondisi masyarakat memang tidak beretika. Sebab, hal itu menurutnya akan cukup sia-sia jika dilakukan.
Menurut saya sendiri, tidak beretika dalam dunia politik merupakan sebuah hal yang biasa. Bahkan sudah menjadi budaya di negeri antah berantah ini. Hanya saja, kita sendiri yang terlalu munafik untuk mengakui tindakan kita sendiri, yang selalu mengkampanyekan untuk beretika dalam politik tapi kenyataannya kita sendiri nggak beretika.
Kalau dipikir-pikir sejenak, memang terlihat sedikit lucu karena kemunafikan para politikus dalam dunia politik. Namun, itulah yang terjadi di negeri antar berantah ini. Jadi, biasalaaah!
BACA JUGA Daripada Sering Bertengkar, HMI dan PMII Sebaiknya Kawin Silang Saja dan tulisan Mohammad Maulana Iqbal lainnya.