Mungkin kata “klitih” sudah punya tempat baru di masyarakat. Bahkan mulai diserap untuk menjelaskan perilaku penyerangan dan kekerasan tanpa sebab. Meskipun tetap Jogja yang jadi rumah untuk klitih, arena saya jarang melihat berita penyerangan yang berpola seperti di Jogja.
Definisi klitih sebenarnya jauh dari kata kekerasan. Klitih adalah aktivitas keluyuran “mencari angin”. Biasanya dengan naik motor berkeliling sekitar rumah atau tongkrongan. Namun, para remaja yang sedang puber melakukan aksi kekerasan sembari melakukan kegiatan tadi tadi. Pada akhirnya, kegiatan ini dicap sebagai kegiatan mencari rusuh dan penyerangan orang tak bersalah.
Menurut Suprapto, kriminolog dan dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UGM, kejahatan jalanan berbeda dengan klitih. Seperti yang dilansir Tirto, “kejahatan jalanan itu beda dengan klitih. Jangan menyebut klitih karena klitih sendiri berarti aktivitas positif yang dilakukan untuk mengisi waktu luang. Sayangnya ini kemudian diadaptasi pelajar atau remaja untuk mencari musuh.”
Di tengah warganet lokal, klitih selalu jadi buah bibir. Cukup search kata ini di media sosial atau mesin pencari, pasti kecaman dan hujatan kepada pelaku langsung bertengger di puncak. Yah mungkin hanya orang dengan sudut pandang istimewa atau pelaku sendiri yang akan memuji dan mendukung.
Saya pernah berdiskusi dengan pelaku klitih. Kebetulan memang kawan sendiri. Menurut kawan ini, alasan untuk klitih memang tidak jauh dari mentalitas “nglanangi” di Jogja. Seolah-olah kelaki-lakian seseorang belum sempurna kalau belum berani melakukan kegiatan ini. “Malah buat tantang-tantangan jhe, berani nggak nglitih,” imbuh kawan saya.
Ini yang menarik perhatian saya. Suka tidak suka, memang klitih didominasi laki-laki. Lihat saja foto-foto pelaku di media sosial, pasti laki-laki. Dan ini memang toxic masculinity seturut kearifan lokal.
Laki-laki dilabeli sebagai sosok beringas yang tidak punya takut. Karakter dominan dan keras menjadi jimat laki-laki. Ini sudah mendarah daging dalam kultur budaya kita. Jujur saja hai para pria, kalian pasti pernah dipaksa untuk tidak boleh menangis karena kelamin Anda.
Nilai kelaki-lakian ini diejawantahkan dalam berbagai bentuk. Kalau tidak destruktif sih monggo. Toh memang kita masih hidup di masyarakat patriarkis. Kalau ejawantahnya sebagai mental alpha di tengah koloni, saya pikir ini bisa ditolerir. Yah meskipun akan toxic juga pada akhirnya.
Tapi, kalau sudah merugikan individu lain, inilah tanda bahaya. Apalagi sampai diterima sebagai nilai norma. Pemakluman bahwa laki-laki harus “jantan” lah sumber dari adanya klitih. Mungkin terkesan berlebihan, tapi mari buka mata dan telinga.
Tidak semua orang memiliki akses ke sumber daya yang sama. Tapi, semua punya nilai sama yang harus dipenuhi. Untuk yang hidup dalam masyarakat yang antikekerasan, kejantanan ini bisa diejawantahkan dalam perbuatan non kekerasan pula. Misal dengan menjunjung nilai kepemimpinan patriarkis. Bukan membenarkan, tapi kita bicara dalam konteks klitih ya.
Nah untuk masyarakat yang erat dengan kekerasan, ejawantah dari maskulinitas ini akan dekat dengan kekerasan. Ketika klitih di Jogja masih didominasi oleh geng pelajar, tidak pernah ada kabar dari SMA yang notabene “culun”. Apalagi dari sekolah homogen perempuan, paling banter lebih ke masalah internal.
Masyarakat yang erat dengan kekerasan seringkali juga dalam strata ekonomi menengah kebawah. Misal daerah yang menjadi rumah bagi banyak pelaku kejahatan seperti narkoba sampai curanmor. Dan saya yakin ada korelasi dari ekonomi dan wabah klitih ini. Tapi, sebaiknya kita jangan terlalu jauh. Dan bisa menyepakati bersama bahwa masyarakat pemuja kekerasan adalah sumber kegiatan ini.
Tapi, saya melihat klitih perkara ini berhenti di perkara maskulinitas. Apalagi kalau sudah bicara harga diri, ada mentalitas lain yang ikut menyuburkan. Saya melihat kecenderungan mental chauvinis di dalam wabah klitih ini. Mungkin bukan chauvinis dalam tataran luas seperti Indonesia atau Kraton Jogja. Tapi, chauvinis di dalam lingkup pelaku.
Rasa bangga berlebih terhadap label besar perannya dalam klitih. Contohnya saat klitih antargeng SMA. Mental chauvinis antar sekolah jadi alasan. Melakukan kegiatan ini dipandang sebagai menjaga harga diri sekolah dan geng. Mentalitas nirlogis ini terpelihara sampai fase di mana geng SMA dibubarkan oleh polisi yang tidak efektif itu. Pandemi menuntaskan pembubaran ini.
Tapi, mental chauvinis tetap terjaga. Apalagi bicara terpeliharanya mental tadi di tanah monarki ini. Chauvinis di Jogja merangsek urusan geng kampung, suporter bola, sampai keistimewaan. Nah, ketika sasaran mereka tidak jelas karena bubarnya geng SMA, mental chauvinis ini mulai menyerang masyarakat umum. Semata-mata menjaga pamor pribadi dan koloni mereka.
Maka saya tidak melihat dampak apapun dari pola antiklitih hari ini. Pembubaran geng SMA menyempurnakan kegiatan ini sebagai kekerasan jalanan. Dan upaya seperti edukasi serta “teror” dari warga malah membakar klitih sebagai bentuk rebel.
Jika ingin bebas dari wabah buruk ini, sasarlah sumber penyebabnya. Penangkapan pelaku juga tidak mengurangi wabah kekerasan ini. Sebab, yang disasar hanyalah akibat, tapi bukan penyebab. Dan mungkin masyarakat Jogja akan selalu berurusan dengan masalah ini. Maka biasakan pakai jaket, kalau perlu jaket kulit. Dan selalu siaga, karena kejahatan ini bukanlah kejahatan biasa.
BACA JUGA Klitih kok Naik Scoopy, Ora Mashok, Bos! dan tulisan Prabu Yudianto lainnya.