Sudah empat tahun saya mondar-mandir Solo-Jogja. Setiap perjalanan, pasti saya akan melewati Klaten. Bukan berarti saya punya hubungan emosional yang dalam dengan kabupaten ini, tapi kalau diibaratkan hubungan manusia, saya dan Klaten seperti dua orang yang selalu bertemu di halte, saling kenal muka, tapi tidak pernah benar-benar ngobrol. Kami cukup saling tahu keberadaan masing-masing, dan cukup itu saja.
Kalau ada yang bilang perjalanan motoran antarkota itu penuh kejutan, sepertinya dia belum pernah melintasi Klaten di siang bolong. Jalanan di sini lurus. Terlalu lurus. Lurusnya seperti hidup orang yang tiap hari bangun, kerja, pulang, tidur, terus berulang-ulang. Tidak ada kelokan dramatis yang membuat kita waspada. Tidak ada tanjakan yang bikin mesin menderu-deru heroik.
Dan, tidak ada pula tikungan menantang yang membuat kita merasa seperti pembalap MotoGP. Hanya lurus. Seperti penggaris 30 cm yang dibentangkan dari Delanggu sampai Prambanan.
Masalahnya bukan cuma lurus. Teriknya matahari Klaten ini punya reputasi tersendiri. Mungkin ini salah satu alasan kenapa julukan “Kota Bersinar” masih cocok: sinarnya itu bukan cuma simbolik, tapi nyata dan langsung menusuk kulit. Kadang saya merasa kalau terlalu lama di bawahnya, saya bisa berubah warna jadi kematangan. Entah sudah berapa kali saya menyesali keputusan tidak pakai jaket tebal dan sarung tangan motor, karena sinar itu bisa tembus sampai tulang.
Perjalanan melewati Klaten seperti ujian ketahanan mental
Berkendara di jalan lurus yang panjang di bawah terik matahari itu berbahaya. Otak kita cepat bosan, mata mulai berkhianat, dan kantuk mengintai seperti debt collector. Ada momen di mana angin yang menerpa wajah sudah tak lagi memberi efek segar, malah seperti kipas angin rusak yang cuma menyemburkan hawa panas. Apalagi kalau jalan sedang sepi, itu kombinasi maut. Rasanya seperti diselimuti lagu nina bobo versi alam.
Makanya, saya punya dua senjata utama untuk melawan kantuk saat melintasi Klaten. Pertama, musik. Ini mutlak. Playlist favorit harus siap, entah itu lagu hip-hop yang membuat tangan ingin mengetuk setang motor, atau DnB yang membuat kepala sedikit mengangguk ke atas ke bawah. Tanpa musik, perjalanan Klaten bisa terasa seperti ujian ketahanan mental.
Senjata kedua: boncengan yang cerewet. Ini jauh lebih ampuh daripada musik, apalagi kalau boncengannya teman yang jago storytelling. Sepanjang jalan lurus, dia bisa bercerita mulai dari gosip teman kos sampai teori konspirasi kenapa lampu merah di kota lebih lama dari di desa. Kadang saya sesekali banyak tertawa di jalan Klaten daripada di warung kopi, hanya karena obrolan absurd yang muncul spontan (uhuy).
Tapi kalau sedang sendirian dan baterai HP tinggal diambang 20 persen, ya sudah, pasrah. Saya pernah mencoba fokus menghitung rambu lalu lintas untuk mengusir kantuk. Hasilnya? Tidak efektif. Saya cuma makin sadar bahwa rambu di Klaten itu jaraknya bisa bikin kita menghafalnya di luar kepala. Ada juga ide untuk fokus melihat sawah yang menghampar di kiri kanan, tapi itu justru menambah efek meditasi dan mempercepat proses ngantuk.
Klaten sebenarnya menarik
Sebenarnya, di luar jalannya yang bikin kantuk itu, Klaten punya banyak hal menarik. Ada candi-candi yang sering luput dari perhatian karena kalah pamor sama Prambanan. Ada kuliner khas yang enak kalau sempat mampir. Tapi masalahnya, perjalanan Solo-Jogja lewat Klaten itu jarang sekali saya gunakan untuk mampir. Biasanya saya sedang terburu-buru atau terlalu fokus menghindari kantuk sampai lupa ada alternatif selain “gas terus sampai keluar dari kota ini”.
Saya membayangkan, mungkin ada banyak orang di dunia ini yang punya hubungan serupa dengan Klaten: selalu lewat, jarang berhenti. Klaten seperti aktor figuran dalam film perjalanan hidup kita, dia selalu ada, tapi tidak pernah mendapat sorotan. Dan sayangnya, jalan lurus serta panasnya sering membuat orang lupa kalau di baliknya, ada kehidupan dan cerita yang sebenarnya menarik.
Baca halaman selanjutnya




















