November 2019, saya berkesempatan untuk magang di salah satu lembaga negara independen yang namanya selalu muncul jika ada tayangan bermasalah di televisi. Dari kasus Spongebob yang terkena sanksi sampai dengan blur bagian tubuh girlband di TV. Pokoknya semua adalah salahnya lembaga negara ini. Ya, KPI adalah tempat magang saya ketika itu.
Saking sudah selalu mendapat cap buruk dari masyarakat, kalau kamu mengetikkan namanya di google, akan ada review google yang buruk-buruk. Sebagian besar review-nya tentang kualitas tayangan televisi Indonesia yang dirasa kurang. Bahkan, rating kantornya saja mendapat rating di bawah tiga. Sedikit aneh untuk saya, kan nggak ada hubungannya rating tempat dan kinerja dari lembaga ini. Apa coba salah kantornya wahai rakyat Indonesia?
Sebelum magang, saya juga berpikiran mengapa lembaga negara ini kok hobinya sensor sana sini terus kartun aja kena sanksi. Namun, setelah magang, ada hal-hal baru yang saya tahu yang membuat diri ini malu kok selalu menyalahkan KPI Pusat.
Ketidaktahuan tersebut mungkin juga dialami oleh orang-orang yang meninggalkan review jelek untuk KPI Pusat di Google atau bisa jadi kamu yang sedang membaca ini, Mylov. Hal tersebut tidak mengagetkan buat saya, karena memang masih sedikitnya pengetahuan masyarakat luas tentang jobdesk KPI. Bukan rahasia bila KPI adalah lembaga yang kerap disalahpahami.
Saat magang, saya juga berkesempatan mengikuti sekolah Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS). Lewat pengalaman yang saya dapatkan, saya bisa menyimpulkan, ada beberapa hal yang sering menjadi sumber salah kaprah masyarakat kepada KPI Pusat.
#1 KPI tidak bisa membubarkan suatu acara
Setiap ada acara televisi yang bermasalah, pasti masyarakat meminta KPI untuk membubarkan suatu acara dan digantikan acara yang berkualitas. Masyarakat mengira bahwa KPI adalah dewa yang bisa membubarkan acara sak dek sak nyet. Oh, tidak semudah itu. KPI sama sekali tidak punya kekuatan untuk itu karena kemampuan tersebut tidak dituliskan di undang-undang penyiaran.
KPI hanya mampu untuk menghentikan suatu program secara sementara, ingat ya, sementara. Namun, hal sementara ini bukannya tanpa jera. Jika suatu acara televisi diberi sanksi untuk berhenti sementara selama satu minggu, coba bayangkan berapa kerugian yang diderita lembaga penyiaran karena tidak dapat menayangkan iklan?
Untuk kualitas tayangan, tentu hal tersebut tidak hanya menjadi tanggung jawab KPI. Diakui atau tidak, dunia televisi adalah dunia industri yang mengikuti pasar. Kalau selera masyarakat masih pada suatu hal yang dianggap tidak berkualitas, ya tentu televisi akan terus memproduksi acara seperti itu. Ya bagaimana lembaga penyiaran mau dapat sponsor kalau nggak mengikuti pasar dan nyari rating tinggi?
#2 Sering dikira lembaga penyiaran
Hal ini menjadi salah kaprah yang tidak populer, tapi jika dibiarkan berlarut-larut menjadi tidak baik. Masyarakat luas perlu tahu perbedaan lembaga penyiaran dan KPI itu sendiri.
Lembaga penyiaran itu lembaga penyiaran publik, swasta, komunitas dan berlangganan yang melaksanakan tugas, fungsi dan tanggung jawabnya berpedoman pada undang-undang yang berlaku. Contoh dari lembaga penyiaran seperti TVRI, RCTI, SCTV, RRI, Prambors, dan lain-lain. Nah, sedangkan KPI adalah lembaga negara independen yang tugasnya mengatur hal-hal tentang penyiaran.
Berbeda jauh, kan? Kalau dimisalkan, lembaga penyiaran itu adalah mahasiswa dan tayangan adalah skripsi. Nah, KPI adalah dosennya yang bertugas mengawasi dan membimbing si mahasiswa agar lulus dengan mulus sesuai panduan tugas akhir di perguruan tinggi.
#3 Tukang blur dan sensor
Pasti banyak sekali dari kamu yang mengira bahwa tugas ngeblur dan menyensor tayangan adalah tugas dari KPI Pusat. Padahal, dua hal tersebut terjadi saat praproduksi suatu tayangan. Hal yang mengurusi blur dan sensor duniawi adalah dari pihak internal lembaga penyiarnya.
Eits, blur dan sensor bukannya sama ya artinya? Beda dong. Biar mudah dipahami, blur itu yang biasanya beberapa bagian gambarnya dibuat tidak jelas. Nah, sensor itu biasanya ada bagian yang harus dipotong sebelum ditayangkan secara luas. Jadi, misal nanti ada tayangan yang diblur atau disensor, itu bukan ulah KPI ya. Capek-capek mengawasi siaran, tetap saja jadi kambing hitam.
Namun, menurut saya, masalah ini seharusnya tidak lantas menjadi tanggung jawab dari editor tayangan sendiri. Editor dan lembaga penyiaran tentunya ingin aman dari “surat cinta” KPI Pusat. Bisa jadi, proses melakukan blurring dan censoring adalah sebagai wujud kehati-hatian lembaga penyiaran.
Untuk mengatasi wujud kehati-hatian dari lembaga penyiaran, memang diperlukan ilmu dan komunikasi yang baik antara si pengawas dan yang diawasi. Agar hal ini tidak menimbulkan kisruh di masyarakat, dan akhirnya KPI sendiri yang jadi kambing hitam masyarakat.
Demikian tadi beberapa salah kaprah yang sering terjadi di masyarakat yang harus diluruskan. Saya sebagai anak kuliahan yang program studinya nyerempet tentang dunia penyiaran merasa harus turut andil membagikan apa yang saya tahu. Jadi, sampai kapan KPI akan dikenal sebagai tukang nyensor?
BACA JUGA Mari Berandai-andai jika Seandainya KPI Tidak Pernah Ada dan tulisan Nimatul Faizah lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.