Saya tidak habis pikir ketika membaca sebuah berita. Seorang perempuan berinisial SM yang masuk Masjid Al Munawaroh Sentul City sambil membawa anjing dan tanpa melepas alas kaki viral di media sosial. Kini dilaporkan oleh Dewan Kemakmuran Masjid (DKM) atas dugaan pensitaan agama ke Polres Bogor.
Yah, meskipun sudah sesuai dengan koridor hukum. Tidak pakai acara demo sampai berjilid-jilid. Pelaporan tersebut patut disayangkan. Soalnya menurut pengakuan keluarga, SM mempunyai riwayat gangguan kejiwaan.
Saya jadi heran. Logika seperti apa yang dipakai ketika melaporkan orang yang diduga mengalami gangguan jiwa atas dugaan penistaan agama. Kegilaan seperti apa lagi ini.
Kita akhir-akhir seperti mudah tersinggung. Ketika katakanlah simbol-simbol agama diusik. Padahal pemaknaan atas simbol-simbol agama masih debatable.
Lagipula agama tak harus selalu disimbolkan secara kaku berupa hukum syariat, ritus-ritus peribadatan dan tempat ibadah belaka. Tapi bisa juga kok dimaknai dengan senyum, gelak tawa dan kegembiraan. Kegembiraan dalam beragama penting dihadirkan untuk membawa kita menjadi lebih cair dan kembali menemukan watak-watak kemanusiaan yang alami.
Sebab dengan bergembira, kita sama-sama menjadi manusia yang sebenarnya. Yang membutuhkankan tawa, canda, aman, dan nyaman secara bersama.
Tapi anehnya, dengan akses infomasi yang sudah sedemikian terbuka. Masyarakat kita seolah menjadi semakin koservatif ketika menghadapi permasalahan yang berbau agama. Selalu mengkaitkannya dengan dugaan penistaan agama. Apa dengan itu kemudian kita semakin religius? Tidak.
Menjadi konservatif dalam agama tentu bukan sesuatu yang salah. Maksud saya, yang menjadi problem jika posisi ini membuat kita menegasikan orang atau kelompok lain sebagai salah, dan di luar golongannya.
Beragama tidak perlu sepaneng—tegang. Yang santai-santai saja tapi tidak mengurangi esensi. Tengoklah akun-akun garis lucu itu seperti @NUgarislucu, @MuhammadiyahGL. Mungkin sekilas terkesan ‘receh’ dan menggelikan, tetapi punya peran besar terhadap dialog antariman dan melunturkan kecurigaan berbasis pandangan keagamaan.
Menghadirkan kegembiraan inilah yang seharusnya dilakukan setiap orang dan kelompok keagamaan. Sebab hadirnya agama bukanlah membawa ketakutan, tapi justru harus bergembira dan menggembirakan orang lain.
Dalam khazanah Islam, misalnya para sufi mengajarkan laku beragama dengan ilmu tasawuf melalui dzikir dan laku suluk. Untuk menjaga kelembutan hati dan mengolah kepekaan batin agar tidak mudah marah. Melalui laku tasawuf seseorang dilatih menaklukkan diri sendiri, mengendalikan nafsu amarah sehingga mampu bersikap tegas tanpa kekerasan, menaklukkan tanpa kebencian.
Selain itu, para sufi juga menggunakan cara humor untuk menjaga hati agar tidak mudah larut dalam kemarahan. Di dunia sufi, humor tidak saja berfungsi sebagai sarana menertawakan diri sendiri untuk mengikis kesombongan diri, tetapi juga sarana bercermin dan menanamkan nilai kearifan. Dalam hal ini kita bisa melihat kisah-kisah Nasrudin Hoja, Abu Nawas yang bernuansa humor tapi sarat makna.
Melalui laku dan nilai-nilai tasawuf ini ajaran Islam bisa diekspresikan secara arif dan penuh kesejukan tanpa kehilangan ketegasan. Tasawuf juga bisa menjaga muatan spritual dalam beragama sehingga tidak mudah terjebak dalam penjara teks dan berhala simbol. Beragama tanpa kearifan inilah yang memunculkan sikap kering, keras dan kaku yang membuat pemeluk agama menjadi mudah marah, mudah memusuhi dan suka membenci.
Jika agama diekspresikan dengan kemarahan dan kebencian maka agama akan mengalami distorsi dan disfungsi. Bisa dikatakan orang-orang yang mengekspresikan agama dengan sikap marah dan membenci, menebar rasa permusuhan terus menerus dan selalu membuat keresahan itulah yang justru menista agama.
Tak ada agama yang baik kecuali yang dijalankan, diekspresikan secara baik oleh pemeluknya sehingga membawa kemaslahatan dalam kehidupan nyata. Sebaik apapun agama jika dijalankan secara culas, jahat, penuh amarah, dan kebencian, maka agama tersebut akan terlihat jahat dan culas.
Rasulullah pun dalam kisah yang mashyur tentang orang Baduy yang mengencingi pojokan masjid justru melarang reaksi sahabatnya yang berlebihan dan membiarkan si Baduy menuntaskan buang air kecilnya. Baru kemudian menasihatinya dengan bijak. Tanpa marah-marah.
Betapa teladan luar biasa sebenarnya telah diajarkan Rasulullah kepada kita. Maka mari kita berpandangan jernih, dan memecahkan persoalan dengan tanpa memberatkan. Kasus SM dan anjingnya yang masuk masjid, seharusnya sudah kelar di tingkat kekeluargaan dan tempat pencucian karpet terdekat. Tidak lebih dari itu. Yah, kecuali memang kita sudah benar-benar gila.