Beberapa hari yang lalu, saya pernah dengan sangat terpaksa menggunakan toilet sekolah. Ya, benar saya sangat terpaksa menggunakan fasilitas tersebut karena hajat yang sudah tak terbendung.
Hari itu, perut terasa tak nyaman. Saya pikir itu akibat tadi malam terlalu banyak makan makanan pedas. Perut sudah tak nyaman sejak pagi hari sewaktu sampai di sekolah namun saya tetap bertahan di dalam kelas untuk mengikuti pelajaran.
Mencoba konsentrasi pada pelajaran sambil tetap menahan supaya hajat tidak keluar sembarangan merupakan hal yang sulit. Apalagi saat itu pelajaran fisika yang terkenal sulit-dan kenyataannya memang sangat sulit ditambah dengan guru yang kurang ramah. Lengkap sudah penderitaan ini.
Baru setelah pelajaran selesai saya memutuskan untuk berlari keluar kelas menuju tempat pembuangan hajat. Keputusan ini tentunya saya ambil setelah melakukan banyak pertimbangan dan pergolakan batin dalam diri saya pribadi. Iyya benar, untuk sekedar masuk ke toilet siswa di sekolah saya dibutuhkan banyak keberanian, kenekatan, keberuntungan, dan keterpaksaan. Ini semua karena toilet siswa di sekolah saya kurang mendapat perhatian dari para penggunanya.
Kembali ke petualangan saya, akhirnya saya masuk ke salah satu bilik toilet sekolah. Kemudian melakukan hal yang semestinya dilakukan oleh orang normal yang akan buang air besar.
Memang benar anggapan bahwa toilet adalah tempat terbaik untuk memikirkan sesuatu. Baru sekitar satu menit saya berjongkok di sini, pikiran saya sudah liar berkelana mengelilingi luasnya imajinasi seorang manusia yang tak terbatas hingga melupakan kondisi di sekitar saya.
Tak lama kemudian saya menyadari sesuatu. Tepatnya ketika saya memandangi pintu di depan saya. Jancuk, ternyata saya kurang beruntung hari ini. Karena tadi tergesa gesa saya malah masuk ke bilik yang pintunya tak ada grendelnya atau bisa dibilang tak bisa dikunci dari dalam.
Dalam kondisi penuh kewaspadaan saya kok malah kepikiran, siapa ya orang yang sempat sempatnya merusak grendel pintu toilet sekolah? Apa yang diinginkan orang tersebut dari kegiatan merusak grendel pintu? Apakah saya masuk acara prank seperti di YouTube YouTube itu? Ah entahlah, mungkin pelaku ingin pengguna bilik toilet ini untuk membuang hajat sambil melatih sikap siap dan waspada.
Rusaknya grendel pintu telah membuat saya kehilangan fokus untuk merenungkan segala hal yang bisa direnungkan saat di dalam toilet—yang mungkin mampu menghasilkan solusi dari banyak masalah saya sebagai siswa SMA. Huft, sialan!
Pandangan saya beralih ke dinding di sisi samping. Terlihat dari sini sentuhan air seni dari para pengguna bilik toilet ini. Dinding yang berwarna biru cerah secerah langit siang itu kini tercoreng oleh hasil karya air seni berbau pesing tersebut.
Buat laki laki yang kencing berdiri, okelah saya tak akan mengganggu. Tapi, kalian itu mbok sadar, kaliankan sudah diciptakan sempurna supaya bisa kencing sambil berdiri, kalian semua itu punya alatnya, mbok ya digunakan dengan penuh bijaksana. Wong tinggal mengarahkan ke lubang closet itu apa susahnya. Sudah ada closet dan kalian tinggal currr gitu kok malah ditempelin ke tembok. Saya curiga, jangan jangan kalian ceboknya justru digesek-gesek ke tembok itu.
Atau, kalo nggak bisa ngarahin ke lubang closet, kalian bisa kencing dengan gaya jongkok. Dijamin kalian akan menerima kepuasan lebih. Selain itu, Nabi pun mencontohkan kencing gaya jongkok. Bahkan, kata bapak saya, “setiap cipratan kencingmu itu mengandung najis”—jadi usahakan kencing jongkok agar celanamu tidak ketempelan dosa.
Kadang, penjelasan saya tentang kencing jongkok justru jadi pembenaran mereka yang kencing nempel tembok. Dengan dalih aku nempel tembok biar nggak kecipratan—huft, dasar orang +62, pinter ngelesnya. Gini ya, kencing nempel tembok memang bisa meminimalisir celana kena cipratan air seni, tapi pesingnya tembok yang kau kencingi merusak kenyamanan para pengguna toilet. Belum lagi, menambah pekerjaan pegawai kebersihan di sekolah.
Eh loh, kok jadi panjang lebar gini. Saya kan cuma buang air besar. Sudah ah, bekas kencing di tembok memang sulit dihilangkan, tapi perilaku kencing nempel tembok lebih sulit untuk dihilangkan. (*)